Keharusan
Seleksi Hakim MK
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
|
KORAN
SINDO, 10 Januari 2015
Rabu, 7
Januari 2014 pekan ini, dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang baru, I Gede
Palguna dan Suhartoyo, mengucapkan sumpah di hadapan Presiden untuk mulai
bertugas sebagai hakim konstitusi.
Palguna
terpilih menggantikan Hamdan Zulfa sebagai hakim yang diajukan oleh Presiden,
sedangkan Suhartoyo menggantikan Fadlil Sumadi sebagai hakim yang diajukan
oleh Mahkamah Agung (MA). Menurut Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, hakim
konstitusi terdiri atas sembilan orang yang diajukan (nominated) oleh tiga lembaga negara, yakni tiga orang diajukan oleh
presiden, tiga orang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga
orang diajukan oleh MA.
Harus
ditegaskan, menurut konstitusi kesembilan hakim tersebut ”bukan mewakili”,
melainkan hanya diajukan atau diusulkan oleh ketiga lembaga negara tersebut.
Semua hakim konstitusi haruslah independen dan tidak bisa dipengaruhi oleh
lembaga negara yang mengusulkannya. Meskipun ditetapkan dengan keputusan
presiden (kepres), hakim MK tidak bertanggung jawab dan tidak mewakili
presiden, sebab kepres hanya bersifat administratif untuk meresmikan.
Sekarang ada
kemajuan. Terpilihnya hakim I Gede Palguna dilakukan melalui proses seleksi
yang transparan dan partisipatif, sesuai dengan perintah Pasal 19 UU MK. Ini
jauh berbeda dari penetapan hakim-hakim sebelumnya. Pada periode pertama,
saat pertama kali MK dibentuk tahun 2003, pengajuan hakim-hakim MK memang
lebih bersifat langsung diajukan oleh tiga lembaga negara, tidak banyak
melibatkan partisipasi publik karena saat itu memang belum menarik perhatian
publik.
Meski begitu,
mungkin karena masih berimpit atau dekat dengan awal sejarah dan segala
idealisme pembentukan MK, pengusulan hakim-hakim periode pertama yang tanpa
isu dan intrik politik telah melahirkan figur-figur yang baik dan
berintegritas. Di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie hakim-hakim MK periode
pertama mampu meletakkan dasar-dasar MK sebagai pengawal konstitusi yang
kokoh dan disegani.
Namun,
sesudah habisnya masa jabatan periode pertama mulai muncul aspirasi agar
hakim-hakim MK berikutnya diseleksi secara terbuka. Sejak rekrutmen hakim MK
periode kedua, masyarakat mulai mengkritik calon-calon hakim yang berlatar
belakang parpol. Ketika saya mengikuti seleksi sebagai calon hakim MK dari
DPR pada tahun 2008, misalnya, Indonesia
Corruption Watch (ICW) mempersoalkan saya karena saya berasal dari
parpol.
Tetapi ketika
itu saya terus maju karena menurut undang- undang tidak ada syarat calon
hakim MK harus bukan orang parpol. Yang penting kalau sudah menjadi hakim MK
mereka bukan lagi orang parpol atau keluar dari parpol. Ketika itu saya
bilang, saya tak pernah terlibat korupsi. Sebaliknya saya bisa menunjukkan,
banyak orang yang berlatar belakang LSM terlibat korupsi.
Hakim-hakim
periode pertama pun banyak yang mempunyai kaitan dengan parpol. Sebutlah
Roestandi yang menjadi penasihat PPP atau Harjono dan I Gede Palguna yang
duduk di MPR mewakili PDI Perjuangan. Toh, mereka bisa bekerja dengan baik.
Yang menarik adalah perkembangan pengajuan hakimhakim MK yang dari presiden
sejak periode kedua.
Untuk
pengajuan hakim MK pada periode kedua (2008) Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono menerima usulan dari tim seleksi terbuka yang dipimpin oleh Adnan
Buyung Nasution. Namun, untuk pengajuan hakimhakim MK berikutnya Presiden SBY
tidak lagi melakukan seleksi terbuka. Hamdan Zoelva (2010) langsung
ditetapkan oleh Presiden tanpa seleksi terbuka sehingga muncul kritik gencar
dari masyarakat.
Menurut
pengakuan Hamdan, terhadap dirinya sudah dilakukan fit and proper test oleh
tiga menteri terkait, yakni Menko Polhukam, Mensesneg, dan Menkumham. Tetapi
siapa pun tahu, kalaupun ada, tentu itu bukanlah seleksi yang transparan dan
partisipatif, melainkan lebih politis. Untungnya, terlepas dari prosesnya
yang banyak dipersoalkan, pengangkatan Hamdan yang cukup dikritik; ternyata
dia cukup kapabel dan profesional sampai mengakhiri tugasnya.
Namun, ketika
ternyata pada 2013 Presiden SBY masih mengangkat lagi Patrialis Akbar tanpa
seleksi terbuka, maka masyarakat sipil bukan hanya mengkritik, melainkan
langsung memerkarakannya ke PTUN. Terpilihnya Palguna sebagai hakim MK
haruslah kita terima sebagai produk dari satu proses yang transparan dan
partisipatif sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UU MK.
Palguna tidak
ditunjuk secara sepihak, melainkan sudah melalui seleksi terbuka yang
bertahap. Bahwa ada yang mengkritik atas penetapannya karena dia pernah punya
kaitan dengan partai politik adalah biasa di dalam negara demokrasi. Siapa
pun yang ditetapkan oleh presiden pasti akan ada yang mengkritik, tetapi
siapa pun bisa mengkritik lagi terhadap kritik yang mungkin berlebihan.
Kritik bahwa
kalau punya latar belakang parpol cenderung korup tentu harus dikritik balik
karena hal itu tidak faktual dan ngawur. Faktanya, lihat saja, orang-orang
yang dipenjara karena korupsi ternyata bukan hanya mereka yang berlatar
belakang parpol, melainkan juga mereka yang datang dari berbagai latar
belakang profesi dan organisasi seperti parpol, birokrasi, perguruan tinggi,
pengusaha, bahkan dari LSM.
Seleksi untuk
memilih hakim MK harus lebih dikaitkan dengan integritas dan kapabilitas,
bukan dengan latar belakang profesi atau organisasinya. Pada masa-masa
mendatang pembentukan tim seleksi yang independen untuk menyeleksi hakim MK
harus ditradisikan, bukan hanya oleh presiden, tetapi juga oleh DPR dan MA. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar