Di
Balik Tragedi Charlie Hebdo
Rahmat Hidayat ; Pengajar Jurusan Sosiologi UNJ;
PhD Sosiologi Lulusan Universite Lumiere Lyon 2 France
|
KORAN
SINDO, 10 Januari 2015
Tragedi
penyerangan majalah satir Charlie Hebdo membuat muslim di Prancis pada
kondisi yang semakin sulit. Penyerangan terhadap majalah tersebut telah
menewaskan 12 orang korban.
Apa pun
alasannya, penyerangan tersebut tak bisa diterima karena dilakukan secara
anarkistis dan melahirkan efek sosial yang sangat dirasakan oleh muslim di
Prancis. Di Prancis satu nyawa hilang siasia dianggap sebagai kecelakaan
besar. Apalagi hingga menewaskan 12 orang sekaligus. Ironisnya, hilangnya
nyawa sia-sia tersebut dilakukan atas nama Islam untuk membela Nabi Muhammad.
Aksi brutal
tersebut juga dikecam oleh Asosiasi Muslim Prancis (le Conseil Francais du
Culte Musulman) yang mengatakan bahwa serangan tersebut merupakan serangan
terhadap demokrasi. Berbagai asosiasi muslim di kota-kota Prancis lain juga
mengeluarkan pernyataan sikap mengecam tindakan biadab tersebut. Pernyataan
sikap tersebut diunggah di website resminya.
Cara ini
dianggap sebagai upaya meredakan suasana dan memberikan jaminan keamanan bagi
muslim di wilayahnya karena asosiasi tersebut memiliki pengaruh dan menjadi
rujukan bagi muslim-muslim di daerah tersebut. Saya kira kecaman serupa juga
dilakukan muslim-muslim lain di Prancis yang berpikir jernih bahwa tragedi
tersebut memberikan dampak jangka panjang bagi kehidupan mereka.
Hari-hari ini
dipastikan tayangan televisi, media on line, hingga koran menayangkan
pemberitaan tragedi Charlie Hebdo. Saya bisa memastikan keluarga-keluarga
muslim di Prancis, khususnya muslimah Indonesia yang menikah dengan muslim
Prancis, memantau terus perkembangan kasus ini di media televisi.
Siapa yang
dirugikan? Tentu saja muslim di Prancis. Saat ini sulit untuk tidak
mengatakan bahwa publik Prancis menjadikan Islam sebagai “musuh bersama”
pascatragedi ini. Inilah perjuangan terberat bagi muslim Prancis yang harus
dirasakan saat ini.
Efek Sosial Jangka Panjang
Kondisi itu
juga kemudian menyebabkan wajah Islam di Prancis semakin akrab dengan
kekerasan dan anarkistis. Akibat itu, ruang gerak warga muslim di Prancis semakin
terbatas dan membuat mereka berada di bawah tekanan publik yang anti-Islam.
Saya bisa merasakan ketakutandankegelisahanmuslimmuslim di Prancis
pascatragedi tersebut.
Pengalaman
studi dan menetap di Prancis selama 3,5 tahun memberikan suasana kebatinan
tersendiri ketika berinteraksi dengan sesama muslim Prancis maupun warga
nonmuslim. Selama tinggal di Prancis, saya membawa keluarga. Istri saya
berhijab dan anak saya sekolah. Jika keluarga saya masih tinggal di Prancis
dalam kondisi mencekam seperti saat ini, pasti secara langsung akan merasakan
dampaknya.
Pengalaman
tersebut yang membuat saya merasa bahwa tragedi Charlie Hebdo adalah tindakan
bodoh dan konyol yang dampaknya dirasakan oleh muslim lain. Selama interaksi
dengan warga muslim maupun nonmuslim, saya berusaha meyakinkan bahwa Islam
(khususnya Islam Indonesia) adalah agama yang rahmatan lil amin yang
menyampaikan pesan-pesan damai dan menghindari kekerasan.
Meski begitu,
faktanya, tragedi Charlie Hebdo semakin melegitimasi bahwa kekerasan selalu
berkaitan dengan Islam. Tafsir inilah yang kemudian semakin melekat dalam
ruang kognitif warga Prancis dan Eropa. Sebagai negara Eropa yang memiliki
komunitas muslim terbanyak, wajar jika muslim di Prancis menjadi referensi
muslim di Eropa. Suasana hari-hari ini sulit membayangkan bagaimana muslim di
Prancis bisa beraktivitas di ruang publik.
Apalagi
mereka yang berhijab maupun menggunakan atribut-atribut lain. Gairah Islam
yang terjadi di masjid-masjid Prancis dipastikan akan lebih sepi dan berada
di bawah bayang-bayang ancaman yang mencoba “balas dendam” dari penyerangan
Charlie Hebdo. Di Lyon, misalnya, tempat saya pernah studi, banyak
masjid-masjid yang menggelar salat Jumat hingga jalan raya karena kapasitas
jamaah tak bisa tertampung di dalam masjid.
Pascatragedi
tersebut, fenomena tersebut akan berkurang jamaahnya. Beberapa masjid di beberapa
kota dikabarkan diancam teror oleh pihak-pihak yang merasa terganggu dengan
penyerangan Charlie Hebdo. Bagi warga Indonesia di Paris dan beberapa
kota-kota lain, mereka sudah dianjurkan oleh KBRI Paris maupun KJRI Marseille
untuk tetap waspada dari ancaman-ancaman yang bisa memberikan bahaya bagi
keselamatan dirinya.
Mereka
dianjurkan tidak keluar rumah jika dianggap tak memiliki keperluan mendesak.
Bagi warga Indonesia, khususnya mahasiswi yang berhijab, memang lebih
berisiko jika berada di ruang publik karena mereka seringkali menjadi sorotan
dari beberapa pihak yang dikenal Islamophobia.
Saya
mengikuti berbagai perkembangan di beberapa media sosial seperti Facebook dan
Twitter, imbauan dari beberapa teman yang sedang studi maupun warga Indonesia
yang tinggal di Prancis untuk mengabarkan berbagai perkembangan terbaru
pascatragedi tersebut.
Meski pusat
lokasinya terjadi di Paris, dampaknya terasa juga di berbagai kota lain. Di
Lyon, Kamis (08/01), terjadi aksi besar-besaran untuk mengecam aksi brutal
tersebut. Aksi tersebut berlangsung di Place de Terraaux yang merupakan salah
satu ruang publik di Lyon.
Teror Publik
Dalam suasana
seperti ini, tentu keselamatan warga Indonesia khususnya dan warga Prancis
secara umum harus diprioritaskan oleh Pemerintah Prancis maupun otoritas
Pemerintah Indonesia di Prancis. Nyawa mereka tanggung jawab pemerintah yang
harus dijamin kepastiannya. Tragedi ini refleksi dari perjuangan muslim Eropa
untuk menebarkan wajah Islam yang damai dan antikekerasan.
Tidak mudah
memang melakukan ini di negaranegara Barat di mana Islam menjadi minoritas.
Apalagi dengan gerakan Islamophobia yang tak pernah surut. Saya mencatat ada
dua hal penting yang harus menjadi perhatian dari tragedi ini. Pertama, kasus
ini bisa menjadi titik balik dari Islam Eropa yang sebenarnya semakin hari
perkembangannya semakin dinamis dan menggairahkan di berbagai negara Eropa.
Titik balik
karena tragedi ini juga memberikan pengaruh bagi muslim-muslim lain di Eropa
seperti Jerman, Belanda, atau Inggris yang dikenal memiliki komunitas muslim
banyak. Termasuk di dalamnya warga muslim Indonesia yang sedang studi,
bekerja, atau menetap di negaranegara tersebut. Serangan balik terhadap
komunitas muslim sangat mungkin terjadi dan dialami oleh pihak-pihak yang tak
berdosa seperti muslimah maupun anak-anak.
Karena itu,
otoritas keamanan di Eropa khususnya bagi komunitas muslim menjadi
keniscayaan untuk lebih waspada dari ancaman-ancaman teror sebagai bentuk
simpati terhadap korban Charlie Hebdo . Di beberapa negara Eropa terdapat
sekolah muslim dan masjid yang tersebar di berbagai kota. Tempat-tempat
inilah yang harus mendapatkan perhatian ekstra dari otoritas setempat.
Kedua, kasus
ini membawa muslim Prancis khususnya dan Eropa umumnya untuk semakin terjal
menghadapi perjuangan mereka menghadapi gerakan-gerakan Islamophobia. Inilah
fase terjadi rekonsolidasi Islamophobia di berbagai pelosok Prancis untuk
mengecam Islam dan perlahan-perlahan meminggirkannya dalam peran
sosial-ekonomi.
Bukti
nyatanya akan dirasakan oleh keluargakeluarga yang anak-anaknya dibullying di
sekolah oleh warga asli Prancis atau mereka dipersulit urusan-urusan
administrasi, catatansipil, hinggaurusanurusan publik lain. Apalagi di
Prancis saat ini masih dililit krisis finansial yang sangat terasa semakin
sulitnya kehidupan.
Sementara
muslim di Prancis sebagian besar adalah imigran dari negara-negara Maghribi
seperti Aljazair, Maroko, maupun Tunisia. Ini akan menyebabkan mereka semakin
sulit menjalani hari-harinya. Dalam konteks yang lebih luas adalah semakin
buruknya citra Islam di Prancis. Wajah Islam di Prancis berada pada titik
nadir terendah. Kita tak bisa membiarkan kasus ini semakin berkepanjangan.
Sambil
menunggu penyelesaian dari pihak Kepolisian Prancis, muslim di Indonesia
harus memberikan dukungan moral kepada muslim Prancis untuk berada pada
barisan terdepan yang mengampanyekan Islam yang damai, ramah, dan jauh dari
perilaku barbar. Selain tentunya mengecam perilaku agresif tersebut.
Dukungan
moral inilah, meski jauh dipisahkan benua, menjadi suntikan moril dari negara
seperti Indonesia yang mayoritas muslim agar muslim di Prancis bisa menjalani
hari-harinya yang saat ini berada pada ancaman ketakutan. Satu hal yang
pasti, tragedi Charlie Hebdo bisa terjadi di mana pun saja. Karena itu, kita
harus semakin waspada kepada pihak-pihak yang akrab dengan teror publik atas
nama memperjuangkan Islam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar