Papua
Butuh Keberpihakan
Ivan Hadar ; Penulis Utama Laporan Pembangunan Manusia
Provinsi Papua dan Papua Barat (2014)
|
KORAN
SINDO, 10 Januari 2015
“Jangan ada
lagi kekerasan”, demikian kata Presiden Jokowi saat peringatan Natal Nasional
di Jayapura, Papua, Sabtu malam, 27 Desember 2014. Jokowi pun mengimbau,
“Agar saudara kita yang masih di dalam hutan, di atas gunung-gunung, marilah
bersama membangun Papua sebagai tanah yang damai.
” Menurutnya,
masalah yang ada di Papua tidak hanya berkaitan dengan ekonomi, sosial, atau
politik, namun terutama adalah tidak ada saling percaya antara rakyat dan
pemimpinnya. Meski agak berbeda, Pater Neles Tebay, koordinator Jaringan
Papua Damai (JPD), mengakui “Papua masih bermasalah”.
Dalam
beberapa tahun terakhir, insiden berdarah di Tanah Papua masih saja terjadi,
terakhir di Kabupaten Painai. Ibarat api dalam sekam, pergolakan di Tanah
Papua menyimpan bara yang setiap saat bisa meletup dengan meminta korban jiwa
jika tidak dilakukan tindakan preventif.
Tebay
merekomendasikan tiga hal demi perdamaian yaitu pengakuan TPN-Papua Barat/
OPM bukanlah sebuah kelompok kriminal bersenjata karena sejatinya memiliki
motivasi dan tujuannya politik; semua khususnya pemerintah dan OPM perlu
mengadakan pertemuan informal guna mengurangi kecurigaan dalam
mengidentifikasi masalah dan menetapkan solusi politik secara bersama; serta
pemerintah perlu mempercepat pembangunan sambil mencari solusi politik dan
berupaya menyembuhkan memori yang terluka.
Kepada
Presiden Jokowi, diusulkan perlunya satu unit kerja di Kantor Presiden yang
bersifat ad hoc, bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan berfungsi
sementara hingga Papua menjadi tanah damai dan pembangunan dilaksanakan tanpa
gangguan. Kenyataannya, kondisi riil Tanah Papua saat ini, dipenuhi oleh
berbagai hal yang kontradiktif.
Di satu sisi,
seperti yang didendangkan Franky Sahilatu sebagai “surga kecil jatuh ke
bumi”, Tanah Papua memiliki tiga modal dasar yang bisa menjadi faktor utama
pembawa kesejahteraan yaitu sumber daya alam (SDA) yang berlimpah, kawasan
ekosistem yang luas dan kaya, serta jumlah penduduk yang relatif sedikit,
sekitar empat juta jiwa.
Modal dasar
tersebut semakin diperkuat dengan ada transfer dana dari pusat berupa
pembagian hasil eksplorasi SDA dan dana otonomi khusus (otsus) yang, sejak
diberlakukan otsus 12 tahun lalu, berjumlah lebih dari Rp30 triliun. Namun,
di sisi lain, potensi modal dasar yang demikian besar tidak membawa hasil
yang sebanding. Persentase kemiskinan di Tanah Papua misalnya masih di atas
20%, jauh di atas rata-rata nasional.
Provinsi
Papua adalah provinsi termiskin di Indonesia. Hal yang sama juga berlaku
terkait indeks pembangunan manusia (IPM). IPM Provinsi Papua menempati
peringkat juru kunci, sementara IPM Provinsi Papua Barat berada pada posisi
ke-29 dari 33 provinsi di Indonesia. Dari kondisi tersebut, yang menjadi
keprihatinan luas adalah kenyataan bahwa mayoritas orang asli Papua (OAP)
sebagai pemilik awal “surga kecil” ini masih berkutat dalam kemiskinan dan “keterbelakangan”.
Usia harapan
hidup, lama pendidikan, dan kondisi kesehatan penduduk asli misalnya jauh
lebih rendah dibandingkan pendatang. Pada saat bersamaan, secara bertahap OAP
pun tergusur dari sentra-sentra ekonomi di kawasan perkotaan. Kondisi kontradiktif
tersebut patut dicemaskan akan terus memunculkan berbagai ekspresi
ketidakpuasan dan konflik yang mengarah pada tuntutan kemerdekaan Tanah
Papua.
Mengaca pada
Aceh, dibutuhkan dialog perdamaian sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik
di Tanah Papua dengan mempertimbangkan berbagai permasalahan yang masih
mengganjal. Secara umum sumber-sumber konflik di Tanah Papua bisa
dikelompokkan dalam empat permasalahan berikut ini (LIPI, 2009). Pertama,
marjinalisasi dan diskriminasi OAP oleh pembangunan ekonomi, konflik politik,
dan migrasi massal ke Tanah Papua sejak 1970.
Kedua,
kegagalan pembangunan terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan
pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga, ada kontradiksi sejarah dan konstruksi
identitas politik antara Papua dan Jakarta. Keempat, pertanggungjawaban atas
kekerasan negara pada masa lalu terhadap warga negara Indonesia di Papua,
terutama terhadap korban, keluarganya, dan warga Indonesia di Papua secara
umum.
Selain itu,
terdapat tiga kepentingan OAP seperti yang diamanatkan oleh UU Otsus yang
selama ini belum sepenuhnya diimplementasikan oleh pemerintah (Ridha, 2011)
yaitu (1) kepentingan substansial, menyangkut hak-hak sipil politik, ekonomi,
sosial, dan budaya; (2) kepentingan formal prosedural terkait pengakuan
konkret terhadap peran lembaga adat dan Majelis Rakyat Papua (MRP) serta
dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi serta Pengadilan HAM; dan (3)
kepentingan psikologis menyangkut pengakuan terhadap eksistensi dan
simbol-simbol budayanya.
Sebenarnya,
dalam UU No 21/2001, yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang 35/2008
terkait Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, telah disebutkan
agar dalam proses pembangunan di dua provinsi tersebut perlu memperhatikan
keberpihakan, pemberdayaan, dan perlindungan terhadap penduduk asli Papua.
Tiga alasan
tersebut menjadi pertimbangan bagi sebuah pendekatan baru dalam mempercepat
proses pembangunan yang membawa kesejahteraan bagi mayoritas OAP yang masih
terpinggirkan, tanpa melupakan penduduk miskin lain. Dalam batasan tertentu,
secara konkret kebijakan pembangunan di Tanah Papua sebenarnya telah
“berpihak” pada OAP.
Selain posisi
gubernur, bupati, dan wali kota yang mengharuskan dijabat oleh penduduk asli,
sistem kuota pun diberlakukan dalam penerimaan pegawai di jajaran
pemerintahan, sekolah, dan universitas. Namun, lebih dari itu, keberpihakan
harus berupa kepekaan terhadap budaya dan zona ekosistem Tanah Papua yang
memengaruhi budaya, mata pencaharian, dan pola hidup penduduk asli Papua.
Banyak pihak
meyakini, berhasil dan tidak pembangunan di Tanah Papua sangat dipengaruhi
oleh kebijakan dan perencanaan pembangunan yang peka terhadap budaya dan
geografi tempat tinggal OAP. Selama ini pertumbuhan perekonomian Tanah Papua
lebih bertumpu pada sektor pertambangan, keuangan, dan usaha padat modal yang
kurang memberikan kontribusi terhadap perluasan lapangan pekerjaan.
Konkretnya,
pertumbuhan ekonomi ternyata tidak membawa dampak positif bagi peningkatan
kesejahteraan mayoritas OAP yang bekerja di sektor pertanian yang selama ini
terbengkalai. Karena itu, menjadi sebuah keniscayaan untuk menyusun
perencanaan pembangunan berbasis budaya, memprioritaskan sektor pertanian
yang menjadi penyumbang lapangan pekerjaan terbesar, serta mengacu kondisi
geografis tepat tinggal OAP.
Keberpihakan
terhadap mayoritas OAP yang masih berada dalam kondisi miskin perlu dilakukan
tanpa melupakan kelompokkelompok sosial lain, termasuk perempuan yang juga
terpinggirkan dalam proses pembangunan. Hal tersebut diyakini akan menjadi
langkah awal agar “surga kecil” yang sedang membara ini bisa kembali damai
dalam kesejahteraan bagi semua. Semoga!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar