Karikatur
Trias Kuncahyono ; Penulis kolom “Kredensial” Kompas Minggu
|
KOMPAS, 11 Januari 2015
Tak seorang
pun tahu pasti siapa yang menemukan—yang pertama kali membuat—karikatur. Itu
kalimat pertama artikel ”The History of
Caricature” yang ditulis Douglas Wolk (The New York Times, 2 Desember 2011).
Pernyataan
itu terasa relevan diajukan lagi saat ini setelah terjadi tragedi yang
menimpa mingguan satire Charlie Hebdo, terbitan Paris, Perancis. Hari Rabu
lalu, kantor mingguan itu diserang orang bersenjata, yang secara dingin
menembak mati 12 orang, empat orang di antaranya adalah karikaturis.
Mungkin,
penemunya adalah Leonardo da Vinci. Seniman, penulis, ahli matematika, dan
penemu yang hidup di zaman Renaisans ini lahir pada 15 April 1452, di Vinci,
Italia. Karya-karyanya sangat kondang. Dua di antaranya adalah ”Mona Lisa”
dan ”The Last Supper”.
Benarkah
Leonardo da Vinci? Yang pasti, kata karikatur (bahasa Indonesia) asal mulanya
berasal dari bahasa Italia (caricatura,
kata benda, dan kata kerjanya adalah caricare
yang berarti memuat, memberati, melebih-lebihkan). Kedua kata itu berakar
dari bahasa Latin, carricare. Itu
menurut kamus Merriam-Webster dan baru digunakan dalam bahasa Inggris mulai
tahun 1500-an.
Apabila
seseorang digambar secara karikatural, sang karikaturis akan mengeksploitasi
ciri lahiriah sang tokoh sedemikian rupa untuk menghasilkan efek komik atau
fantastis, aneh sekali. Misalnya, seorang Mick Jagger yang dikenal sebagai
penyanyi berbibir ndower, dibuat
lebih ndower lagi; atau tokoh politik yang suka bohong, digambar dengan
hidung yang panjang seperti pinokio.
Dalam
bukunya, How to Draw Caricatures,
Lenn Redman menulis bahwa esensi dari karikatur adalah pernyataan atau
penggambaran yang dilebih-lebihkan, tetapi distorsi, pemutarbalikan. Ia
menyarankan para karikaturis melebih-lebihkan demi kebenaran dan bukannya
menyangkal kebenaran.
”Pendek kata,
penggambaran wajah seseorang yang terkenal dengan cara melebih-lebihkan ciri
lahiriahnya tujuannya adalah untuk mengkritik, sekaligus mencerminkan
perbuatannya. Bisa, misalnya, wajahnya dibuat seperti wajah binatang,” kata
karikaturis kondang GM Sudarta.
Sekalipun
demikian, orang akan dengan mudah mengenali siapa tokoh yang digambar secara
karikatural itu. Di Perancis, pada awal tahun 1880-an, Charles Philipon yang
sering disebut sebagai ”bapak karikatur politik Perancis” menggambarkan
kepala Raja Perancis Louis-Philippe seperti buah pir. Gambaran Louis-Philippe
seperti itu segera diterima publik sebagai simbol Louis-Philippe dan
rezimnya. Namun, sejak itu diterbitkan undang-undang yang membatasi kebebasan
pers dan akibatnya karikatur politik dilarang.
Karikatur,
karena itu, dikatakan sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, kebebasan
mengemukakan pendapat, yang adalah batu sendi dari demokrasi. Akan tetapi,
menurut Howard LaFranchi, (The
Christian Science Monitor, 9/1/2015), karikatur di Charlie Hebdo, bête et
mechant (bodoh dan ganas). Itu sangat berbeda dengan konsep jurnalisme, yakni
”tidak melukai, mempermalukan, menghina, dan menghabisi pihak lain” meskipun
tetap mengkritik secara tajam.
Tragedi
Charlie Hebdo memang tidak hanya menyisakan satu pertanyaan dengan kesedihan,
tetapi bahkan bertumpuk-tumpuk pertanyaan dengan penuh keprihatinan
menyangkut kebebasan berekspresi, kebebasan mengemukakan pendapat, demokrasi,
terorisme, kesadisan, peradaban, dan tentang nilai-nilai kemanusiaan. Selain
itu, tragedi di Paris itu menegaskan bahwa (ternyata) kekejaman, yakni
kekejaman terhadap kemanusiaan, saat ini masih demikian banyak, terjadi di
mana-mana, dan bisa menimpa siapa saja karena alasan apa pun.
Para
karikaturis, takutkah kalian setelah tragedi Charlie Hebdo? ”Saya tidak
takut,” jawab seorang karikaturis. Oh, ya? ”Ya. Inilah hidup saya. Yang
penting saya tidak berbuat jahat. Saya membela kebenaran,” katanya lagi.
Tentu, tidak
perlu ditanya lagi, ”Apa itu kebenaran?”
●
|
Artikel yang cukup bermanfaat dan menambah Ilmu, Kunjungi juga ya www.biologi.uma.ac.id dan www.uma.ac.id
BalasHapus