Minggu, 11 Januari 2015

2015 : Optimistis

2015 : Optimistis

Arswendo Atmowiloto  ;   Budayawan
KORAN JAKARTA,  10 Januari 2015

                                                                                                                       


Tahun 2015 bisa diawali dan ditandai dengan optimistis. Sikap atau pandangan baik, positif, dalam menghadapi segala hal. Atau dalam bahasa penghiburan, ”bersyukur dalam segala hal untuk semua hal”. Yang memberi tekanan adanya harapan. Harapan akan sesuatu yang lebih baik, nantinya. Atau sebetulnya, juga saat ini ketika menjalani.

Optimistis menjadi perlu saya canangkan sendiri karena beberapa alasan. Yang umum karena keadaan yang memang kurang baik. Baik karena macet atau banjir — yang selanjutnya tak usah terlalu dipikir. Atau situasi sosial politik yang menjungkirbalikkan akal sehat: partai yang beranteman, wakil rakyat yang menjadi bulan-bulanan, dan belum ada perubahan, atau kejadian yang tak bisa dielakkan seperti tanah longsor.

Yang lebih pribadi, misalkan masalah pekerjaan di kantor, urusan di rumah (tangga), hubungan dengan mertua dan para ipar. Sikap optimistis bukan melarikan diri dari kenyataan yang susah, melainkan karena tahu bahwa segala kesusahan akan berakhir dengan baik. Bahwa sebenarnya tak ada jalan buntu. Semua jalan di Jakarta ini pun, yang kelihatan dan tersesan ruwet, memiliki jalan tembus. Atau jalan tikus. Selalu ada jalan khusus, selain jalan tol, atau jalan raya, yang dibuat lebar dan terbuntu dengan parah.

Optimistis adalah kekuatan walau kadang sulit diterjemahkan bagaimana itu mengada. Saya selalu mengingat ibu dalam hal begini, dan selalu saya tuturkan kepada keponakan, atau anak cucu. Ibu menjanda dalam usia 35 tahun, dengan enam anak (dari sembilan yang dilahirkan), masih kecil-kecil, belum lulus sekolah dasar. Suaminya, pegawai negeri, dengan pangkat terakhir IIC, meninggalkan pensiun yang seharga saham sedang anjlok. Ibu memilih tak menikah lagi — kalau saja menikah dengan juragan batik, atau pemilik pom bensin, nasib saya akan berbeda. Ibu juga tak siap bekerja mencari nafkah — meskipun pernah berusaha menjadi penjahit dan membuka warung.

Sungguh ajaib dan mengherankan bagaimana Ibu bisa membesarkan anak-anaknya, mengasuh sampai mereka menikah. Apa yang melatarbelakangi kekuatan itu, saya tak mampu mengurai. Yang bisa saya tangkap: sikap optimistis! Tanpa itu, bagaimana mungkin bisa melewati hari demi hari yang bahkan untuk bisa makan pun susah?

Bagaimana bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan lebih dari itu semua, bagaimana bisa bergaul dengan tetangga, dengan keluarga lain, dalam keadaan papa? Kekuatan apa yang demikian dahsyat, kuat dan menyelamat ini? Optimistis adalah kekuatan walau kadang tidak masuk akal. Atau seperti sia-sia.

Semasa masih menjadi wartawan di daerah Solo, saya pernah menuliskan kehidupan seorang ibu yang menghidupi tiga anakanaknya — ketiganya cacat secara fisik. Sehingga makan, mandi, dan buang hajat harus dibantu. Ibu ini bekerja di pasar sebagai “buruh gendong”. Tidak selalu menggendong barang yang bukan miliknya, melainkan membawakan bawaan pembelanja.

Suaminya meninggalkan karena tak tahan — atau seputar itu. Yang membuat kekaguman adalah bahwa ibu tadi tahu bahwa anak-anaknya mungkin tak bisa sembuh kembali. Tak bisa menjadi normal. Mungkin tak akan membalas budi.

Mungkin membebani seumur hidup. Tapi itu semua tak meredupkan tekadnya mengasuh dan mengasihi. Sampai kemudian, karena diberitakan secara gencar, banyak yang menawarkan bantuan. Menempatkan anak-anak di panti, memberi pekerjaan di pasar, dan pekerjaan serta boleh menempati panti. Ending yang terlalu happy memang.

Tapi optimistis juga berada dalam proses yang terus-menerus. Bukan hanya pada awal, juga bukan pada akhir. Orang Jawa menyebutkan sebagai laku, sebagai perilaku, sebagai bagian dalam proses. Tahun 2015 ini saya ingin menapaki dengan pendekatan itu. Untuk bisa mengenali kekuatan yang membuat pandangan bahwa segala sesuatu baik adanya. Juga ketika melalui dan berada dalam keadaan yang tak diinginkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar