2015
: Optimistis
Arswendo Atmowiloto ; Budayawan
|
KORAN
JAKARTA, 10 Januari 2015
Tahun 2015
bisa diawali dan ditandai dengan optimistis. Sikap atau pandangan baik,
positif, dalam menghadapi segala hal. Atau dalam bahasa penghiburan, ”bersyukur
dalam segala hal untuk semua hal”. Yang memberi tekanan adanya harapan.
Harapan akan sesuatu yang lebih baik, nantinya. Atau sebetulnya, juga saat
ini ketika menjalani.
Optimistis
menjadi perlu saya canangkan sendiri karena beberapa alasan. Yang umum karena
keadaan yang memang kurang baik. Baik karena macet atau banjir — yang
selanjutnya tak usah terlalu dipikir. Atau situasi sosial politik yang
menjungkirbalikkan akal sehat: partai yang beranteman, wakil rakyat yang
menjadi bulan-bulanan, dan belum ada perubahan, atau kejadian yang tak bisa
dielakkan seperti tanah longsor.
Yang lebih
pribadi, misalkan masalah pekerjaan di kantor, urusan di rumah (tangga),
hubungan dengan mertua dan para ipar. Sikap optimistis bukan melarikan diri
dari kenyataan yang susah, melainkan karena tahu bahwa segala kesusahan akan
berakhir dengan baik. Bahwa sebenarnya tak ada jalan buntu. Semua jalan di
Jakarta ini pun, yang kelihatan dan tersesan ruwet, memiliki jalan tembus.
Atau jalan tikus. Selalu ada jalan khusus, selain jalan tol, atau jalan raya,
yang dibuat lebar dan terbuntu dengan parah.
Optimistis
adalah kekuatan walau kadang sulit diterjemahkan bagaimana itu mengada. Saya
selalu mengingat ibu dalam hal begini, dan selalu saya tuturkan kepada
keponakan, atau anak cucu. Ibu menjanda dalam usia 35 tahun, dengan enam anak
(dari sembilan yang dilahirkan), masih kecil-kecil, belum lulus sekolah
dasar. Suaminya, pegawai negeri, dengan pangkat terakhir IIC, meninggalkan
pensiun yang seharga saham sedang anjlok. Ibu memilih tak menikah lagi —
kalau saja menikah dengan juragan batik, atau pemilik pom bensin, nasib saya
akan berbeda. Ibu juga tak siap bekerja mencari nafkah — meskipun pernah
berusaha menjadi penjahit dan membuka warung.
Sungguh ajaib
dan mengherankan bagaimana Ibu bisa membesarkan anak-anaknya, mengasuh sampai
mereka menikah. Apa yang melatarbelakangi kekuatan itu, saya tak mampu
mengurai. Yang bisa saya tangkap: sikap optimistis! Tanpa itu, bagaimana
mungkin bisa melewati hari demi hari yang bahkan untuk bisa makan pun susah?
Bagaimana
bisa menyekolahkan anak-anaknya, dan lebih dari itu semua, bagaimana bisa
bergaul dengan tetangga, dengan keluarga lain, dalam keadaan papa? Kekuatan
apa yang demikian dahsyat, kuat dan menyelamat ini? Optimistis adalah kekuatan
walau kadang tidak masuk akal. Atau seperti sia-sia.
Semasa masih
menjadi wartawan di daerah Solo, saya pernah menuliskan kehidupan seorang ibu
yang menghidupi tiga anakanaknya — ketiganya cacat secara fisik. Sehingga
makan, mandi, dan buang hajat harus dibantu. Ibu ini bekerja di pasar sebagai
“buruh gendong”. Tidak selalu menggendong barang yang bukan miliknya,
melainkan membawakan bawaan pembelanja.
Suaminya
meninggalkan karena tak tahan — atau seputar itu. Yang membuat kekaguman
adalah bahwa ibu tadi tahu bahwa anak-anaknya mungkin tak bisa sembuh
kembali. Tak bisa menjadi normal. Mungkin tak akan membalas budi.
Mungkin
membebani seumur hidup. Tapi itu semua tak meredupkan tekadnya mengasuh dan
mengasihi. Sampai kemudian, karena diberitakan secara gencar, banyak yang
menawarkan bantuan. Menempatkan anak-anak di panti, memberi pekerjaan di
pasar, dan pekerjaan serta boleh menempati panti. Ending yang terlalu happy
memang.
Tapi
optimistis juga berada dalam proses yang terus-menerus. Bukan hanya pada
awal, juga bukan pada akhir. Orang Jawa menyebutkan sebagai laku, sebagai
perilaku, sebagai bagian dalam proses. Tahun 2015 ini saya ingin menapaki
dengan pendekatan itu. Untuk bisa mengenali kekuatan yang membuat pandangan
bahwa segala sesuatu baik adanya. Juga ketika melalui dan berada dalam
keadaan yang tak diinginkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar