Selasa, 20 Januari 2015

Jokowi dan Skenario Kapolri

Jokowi dan Skenario Kapolri

Refly Harun  ;   Pengamat dan Pengajar Hukum Tatanegara
DETIKNEWS,  19 Januari 2015

                                                                                                                       


Ketuk palu keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pro dan kontra pengangkatan Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan telah kita ketahui bersama. Pengangkatan Komjen Budi Gunawan tidak dibatalkan, melainkan ditunda hingga ada kejelasan terhadap proses hukum yang bersangkutan.

Bila pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) nantinya membebaskan Komjen Budi Gunawan, masih ada peluang bagi yang bersangkutan untuk diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Namun, bila pengadilan tipikor menyatakannya bersalah dan telah berkekuatan hukum tetap (in kraacht), Presiden Jokowi mesti menyodorkan nama lain sebagai calon Kapolri.

Selama ini, tidak mudah bagi mereka yang sudah dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk lolos dari jerat hukum. Kendati Bareskrim Mabes Polri pernah menyatakan Komjen Budi Gunawan sudah bersih dari kasus rekening gendut yang pernah dituduhkan, tidak berarti hal yang sama pasti berlaku pula terhadap proses di KPK. Kita tahu bahwa KPK selama ini sangat berhati-hati dalam menjadikan seseorang sebagai tersangka.

Bahkan, dalam banyak kesempatan, KPK kerap dikritik karena dinilai lamban dalam penanganan kasus. Banyak pihak yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi hingga saat ini belum ada proses lebih lanjut. Misalnya, terhadap mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, dan beberapa yang lainnya.

Soalnya sederhana, kasus sangat banyak, yang sudah dan bakal jadi tersangka sudah mengantre, tetapi kemampuan KPK memang terbatas. Tidak mungkin semua hal diselesaikan dalam jangka waktu bersamaan. Terlebih sering ada resistensi dari institusi asal terhadap penyidik-penyidik yang dikaryakan ke KPK, baik dari kepolisian maupun kejaksaan. Ibarat pendekar pedang, KPK bisa saja menjadi kelelahan menebas musuh-musuh yang begitu banyak.

Dengan pilihan kebijakan Jokowi untuk menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, mau tidak mau, KPK dituntut untuk segera menyelesaikan kasus ini. Bila tidak, pengangkatan Kapolri definitif akan berlarut-larut karena digantungkan dengan penyelesaian kasus Komjen Budi Gunawan oleh KPK. Padahal kita tahu suatu kasus bisa selesai berbulan-bulan, bahkan bisa dalam hitungan tahun, untuk sampai pada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Akankah selama itu pula tidak akan ada Kapolri definitif dan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menjalankan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri? Kita harus menunggu secepat apa kibasan pedang KPK untuk menyelesaikan kasus ini.

Berbagai Skenario

Terlepas dari berapa lama penyelesaian kasus di KPK, sebenarnya ada beberapa skenario yang bisa dijalankan Jokowi sebelum akhirnya mengambil keputusan yang telah diumumkan pada Jumat, 16 Januari lalu.

Skenario pertama, memberhentikan Jenderal Sutarman dan tetap mengangkat Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri. Skenario ini didukung hampir semua kekuatan politik yang ada. Terbukti dengan persetujuan hampir semua fraksi di DPR terhadap Komjen Budi Gunawan. Padahal, saat uji kelayakan dan kepatutan, yang bersangkutan telah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Namun, menjalankan skenario ini akan membuat Jokowi dimusuhi rakyat, terutama mereka yang bergerak di area pemberantasan korupsi.

Skenario kedua, memberhentikan Jenderal Sutarman dan tetap mengangkat Komjen Budi Gunawan lalu kemudian menonaktifikan (memberhentikan sementara) yang bersangkutan. Skenario ini masih membutuhkan persetujuan DPR. Bila DPR tidak setuju penonaktifan tersebut, Komjen Budi Gunawan tetap akan menjadi Kapolri.

Mereka yang setuju skenario kedua ini kurang membaca secara cermat ketentuan Pasal 11 ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kapolri). Pasal 11 ayat (5) berbunyi, "Dalam keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat." Penjelasan pasal tersebut menyatakan, "Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan mendesak’ ialah suatu keadaan yang secara yuridis mengharuskan Presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah jabatan dan membahayakan keselamatan negara."

Bila Komjen Budi Gunawan diangkat lalu kemudian diberhentikan sementara, tentu harus dipersoalkan sumpah jabatan apa yang dilanggar. Bagaimana mungkin, baru disumpah sudah dinilai melanggar sumpah jabatan. Terlebih perbuatan itu diembel-embeli dengan "membahayakan keselamatan negara." Adakah menjadi tersangka adalah perbuatan melanggar sumpah dan membahayakan keselamatan negara? Sungguh tidak masuk akal untuk menyatakan hal seperti itu.

Skenario ketiga, tidak memberhentikan Jenderal Sutarman dan menunda pelantikan Budi Gunawan. Skenario ini sebenarnya agak ideal mengingat masa pensiun Jenderal Sutarman baru Oktober 2015. Persoalannya, bila memberhentikan Sutarman menjadi aspirasi politik, skenario ini tentu tidak akan menjadi pilihan. Aspirasi politik siapa atau kelompok mana? Tentu Jokowi sendiri yang tahu.

Dari perspektif hukum tatanegara, sah-sah saja Jokowi memilih siapa yang ingin menjadi Kapolri. Kapolri adalah jabatan strategis yang sangat menentukan keberhasilan Jokowi dalam dua hal, yaitu keamanan dan ketertiban masyarakat serta penegakan hukum. Jenderal Sutarman adalah Kapolri warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang belum tentu satu aspirasi dengan Jokowi. Kita pasti belum lupa ketika SBY menarik pencalonan Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai Panglima TNI oleh Presiden Megawati di masa akhir pemerintahannya pada tahun 2004.

Lepas dari Himpitan

Skenario keempat, memberhentikan Jenderal Sutarman dan menunda pelantikan Budi Gunawan. Skenario terakhir inilah yang dipilih Jokowi. Skenario ini bisa dikatakan upaya untuk lepas dari himpitan. Sudah menjadi rahasia umum, elite-elite partai pendukung Jokowi menginginkan Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri. Hebatnya keinginan ini didukung pula oleh partai dan elite-elite partai yang selama ini berseberangan dengan Jokowi. Terbukti dengan persetujuan hampir mutlak DPR terhadap pengusulan Komjen Budi Gunawan.

Dukungan elite-elite parpol pendukung Jokowi terhadap Komjen Budi Gunawan agaknya juga disertai dengan aspirasi untuk segera mencopot Jenderal Sutarman. Padahal, sang jenderal baru akan pensiun Oktober nanti. Inilah yang agaknya menyebabkan Jokowi sulit memilih skenario ketiga.

Namun, Jokowi agaknya sadar pula bahwa mengangkat seorang tersangka menjadi Kapolri akan menjadi gempa politik. Ia akan dibenci oleh para relawan, para pendukungnya sendiri selama Pilpres 2014. Bahkan, rakyat secara keseluruhan juga bisa menjauh. Mereka akan mencap Jokowi sebagai Presiden yang tidak pro terhadap pemberantasan korupsi, lebih parah dari presiden-presiden terdahulu di era reformasi.

Pilihan mencopot Sutarman, bisa jadi menjadi pilihan subyektif sang Presiden untuk meredakan aspirasi elite-elite partai pendukung, ditambah dengan 'penundaan' (bukan 'pembatalan') pengangkatan Komjen Budi Gunawan. Namun, Jokowi juga bisa lepas dari desakan publik untuk tidak menjadikan tersangka sebagai Kapolri.

Politik sering disebut sebagai seni dari berbagai kemungkinan (the art of possibilities). Politik juga tidak berada di ruang hampa dan di atas buku teks. Jokowi baru saja mempraktikkan itu. Pro dan kontra sudah pasti akan mengiringi kebijakan yang diambil. Namun, bagi saya pribadi, satu hal yang harus menjadi garis demarkasi: tidak boleh ada pejabat publik yang diangkat dalam status sebagai tersangka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar