Jokowi
dan Skenario Kapolri
Refly Harun ; Pengamat dan Pengajar Hukum Tatanegara
|
DETIKNEWS, 19 Januari 2015
Ketuk palu
keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atas pro dan kontra pengangkatan
Komisaris Jenderal (Komjen) Budi Gunawan telah kita ketahui bersama.
Pengangkatan Komjen Budi Gunawan tidak dibatalkan, melainkan ditunda hingga
ada kejelasan terhadap proses hukum yang bersangkutan.
Bila
pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) nantinya membebaskan Komjen Budi
Gunawan, masih ada peluang bagi yang bersangkutan untuk diangkat sebagai
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri). Namun, bila pengadilan
tipikor menyatakannya bersalah dan telah berkekuatan hukum tetap (in kraacht), Presiden Jokowi mesti
menyodorkan nama lain sebagai calon Kapolri.
Selama ini,
tidak mudah bagi mereka yang sudah dijadikan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk lolos dari jerat hukum. Kendati Bareskrim
Mabes Polri pernah menyatakan Komjen Budi Gunawan sudah bersih dari kasus
rekening gendut yang pernah dituduhkan, tidak berarti hal yang sama pasti
berlaku pula terhadap proses di KPK. Kita tahu bahwa KPK selama ini sangat
berhati-hati dalam menjadikan seseorang sebagai tersangka.
Bahkan, dalam
banyak kesempatan, KPK kerap dikritik karena dinilai lamban dalam penanganan
kasus. Banyak pihak yang sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi hingga
saat ini belum ada proses lebih lanjut. Misalnya, terhadap mantan Menteri
Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero
Wacik, dan beberapa yang lainnya.
Soalnya
sederhana, kasus sangat banyak, yang sudah dan bakal jadi tersangka sudah
mengantre, tetapi kemampuan KPK memang terbatas. Tidak mungkin semua hal
diselesaikan dalam jangka waktu bersamaan. Terlebih sering ada resistensi
dari institusi asal terhadap penyidik-penyidik yang dikaryakan ke KPK, baik
dari kepolisian maupun kejaksaan. Ibarat pendekar pedang, KPK bisa saja
menjadi kelelahan menebas musuh-musuh yang begitu banyak.
Dengan
pilihan kebijakan Jokowi untuk menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, mau
tidak mau, KPK dituntut untuk segera menyelesaikan kasus ini. Bila tidak,
pengangkatan Kapolri definitif akan berlarut-larut karena digantungkan dengan
penyelesaian kasus Komjen Budi Gunawan oleh KPK. Padahal kita tahu suatu
kasus bisa selesai berbulan-bulan, bahkan bisa dalam hitungan tahun, untuk
sampai pada putusan yang berkekuatan hukum tetap.
Akankah
selama itu pula tidak akan ada Kapolri definitif dan Wakapolri Komjen
Badrodin Haiti menjalankan tugas, wewenang, dan tanggung jawab Kapolri? Kita
harus menunggu secepat apa kibasan pedang KPK untuk menyelesaikan kasus ini.
Berbagai Skenario
Terlepas dari
berapa lama penyelesaian kasus di KPK, sebenarnya ada beberapa skenario yang
bisa dijalankan Jokowi sebelum akhirnya mengambil keputusan yang telah
diumumkan pada Jumat, 16 Januari lalu.
Skenario
pertama, memberhentikan Jenderal Sutarman dan tetap mengangkat Komjen Budi
Gunawan sebagai Kapolri. Skenario ini didukung hampir semua kekuatan politik
yang ada. Terbukti dengan persetujuan hampir semua fraksi di DPR terhadap
Komjen Budi Gunawan. Padahal, saat uji kelayakan dan kepatutan, yang
bersangkutan telah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Namun, menjalankan
skenario ini akan membuat Jokowi dimusuhi rakyat, terutama mereka yang
bergerak di area pemberantasan korupsi.
Skenario
kedua, memberhentikan Jenderal Sutarman dan tetap mengangkat Komjen Budi
Gunawan lalu kemudian menonaktifikan (memberhentikan sementara) yang
bersangkutan. Skenario ini masih membutuhkan persetujuan DPR. Bila DPR tidak
setuju penonaktifan tersebut, Komjen Budi Gunawan tetap akan menjadi Kapolri.
Mereka yang
setuju skenario kedua ini kurang membaca secara cermat ketentuan Pasal 11
ayat (5) UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(UU Kapolri). Pasal 11 ayat (5) berbunyi, "Dalam keadaan mendesak,
Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan mengangkat pelaksana
tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat." Penjelasan pasal tersebut menyatakan, "Yang dimaksud
dengan ‘dalam keadaan mendesak’ ialah suatu keadaan yang secara yuridis
mengharuskan Presiden menghentikan sementara Kapolri karena melanggar sumpah
jabatan dan membahayakan keselamatan negara."
Bila Komjen
Budi Gunawan diangkat lalu kemudian diberhentikan sementara, tentu harus
dipersoalkan sumpah jabatan apa yang dilanggar. Bagaimana mungkin, baru
disumpah sudah dinilai melanggar sumpah jabatan. Terlebih perbuatan itu
diembel-embeli dengan "membahayakan keselamatan negara." Adakah
menjadi tersangka adalah perbuatan melanggar sumpah dan membahayakan
keselamatan negara? Sungguh tidak masuk akal untuk menyatakan hal seperti
itu.
Skenario
ketiga, tidak memberhentikan Jenderal Sutarman dan menunda pelantikan Budi Gunawan.
Skenario ini sebenarnya agak ideal mengingat masa pensiun Jenderal Sutarman
baru Oktober 2015. Persoalannya, bila memberhentikan Sutarman menjadi
aspirasi politik, skenario ini tentu tidak akan menjadi pilihan. Aspirasi
politik siapa atau kelompok mana? Tentu Jokowi sendiri yang tahu.
Dari
perspektif hukum tatanegara, sah-sah saja Jokowi memilih siapa yang ingin
menjadi Kapolri. Kapolri adalah jabatan strategis yang sangat menentukan
keberhasilan Jokowi dalam dua hal, yaitu keamanan dan ketertiban masyarakat
serta penegakan hukum. Jenderal Sutarman adalah Kapolri warisan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang belum tentu satu aspirasi dengan Jokowi.
Kita pasti belum lupa ketika SBY menarik pencalonan Jenderal Ryamizard
Ryacudu sebagai Panglima TNI oleh Presiden Megawati di masa akhir
pemerintahannya pada tahun 2004.
Lepas dari Himpitan
Skenario
keempat, memberhentikan Jenderal Sutarman dan menunda pelantikan Budi
Gunawan. Skenario terakhir inilah yang dipilih Jokowi. Skenario ini bisa
dikatakan upaya untuk lepas dari himpitan. Sudah menjadi rahasia umum,
elite-elite partai pendukung Jokowi menginginkan Komjen Budi Gunawan menjadi
Kapolri. Hebatnya keinginan ini didukung pula oleh partai dan elite-elite
partai yang selama ini berseberangan dengan Jokowi. Terbukti dengan
persetujuan hampir mutlak DPR terhadap pengusulan Komjen Budi Gunawan.
Dukungan
elite-elite parpol pendukung Jokowi terhadap Komjen Budi Gunawan agaknya juga
disertai dengan aspirasi untuk segera mencopot Jenderal Sutarman. Padahal,
sang jenderal baru akan pensiun Oktober nanti. Inilah yang agaknya
menyebabkan Jokowi sulit memilih skenario ketiga.
Namun, Jokowi
agaknya sadar pula bahwa mengangkat seorang tersangka menjadi Kapolri akan
menjadi gempa politik. Ia akan dibenci oleh para relawan, para pendukungnya
sendiri selama Pilpres 2014. Bahkan, rakyat secara keseluruhan juga bisa
menjauh. Mereka akan mencap Jokowi sebagai Presiden yang tidak pro terhadap
pemberantasan korupsi, lebih parah dari presiden-presiden terdahulu di era
reformasi.
Pilihan
mencopot Sutarman, bisa jadi menjadi pilihan subyektif sang Presiden untuk
meredakan aspirasi elite-elite partai pendukung, ditambah dengan 'penundaan'
(bukan 'pembatalan') pengangkatan Komjen Budi Gunawan. Namun, Jokowi juga
bisa lepas dari desakan publik untuk tidak menjadikan tersangka sebagai
Kapolri.
Politik
sering disebut sebagai seni dari berbagai kemungkinan (the art of possibilities). Politik juga tidak berada di ruang
hampa dan di atas buku teks. Jokowi baru saja mempraktikkan itu. Pro dan
kontra sudah pasti akan mengiringi kebijakan yang diambil. Namun, bagi saya
pribadi, satu hal yang harus menjadi garis demarkasi: tidak boleh ada pejabat
publik yang diangkat dalam status sebagai tersangka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar