Hukuman
Mati Mengganggu Hubungan Bilateral?
Ludiro Madu ; Dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan
International,
UPN 'Veteran' Yogyakarta
|
DETIKNEWS, 19 Januari 2015
Pelaksanaan
hukuman mati pada Minggu dini hari terhadap 6 orang terpidana narkoba
(warganegara Indonesia, Brasil, Belanda, Malawi, Vietnam, dan Nigeria) telah
menimbulkan kontroversi internasional. Dua negara, yaitu Belanda dan Brasil,
telah menarik pulang duta besar mereka. Tindakan yang sama mungkin akan
ditempuh negara-negara lain, termasuk Australia. Akibat selanjutnya adalah
potensi terganggunya hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara-negara
yang warganegaranya akan dieksekusi mati.
Dua hal
penting perlu diperhatikan di sini. Pertama, kebijakan ini sebenarnya bukan
sesuatu yang baru di Indonesia. Dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono, Indonesia telah menghukum mati lebih dari 20 orang.
Kenyataan tersebut bukan untuk mencari pembenaran atas kebijakan serupa pada
Pemerintahan Joko 'Jokowi' Widodo, namun dalam rangka menunjukkan bahwa
kebijakan hukuman mati bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Selain itu,
pelaksanaan hukuman mati untuk para pengedar narkoba juga berlaku di China,
Singapura, Vietnam, Malaysia, dan negara-negara lainnya.
Kedua,
penarikan duta besar atau perwakilan asing merupakan praktik biasa dalam
diplomasi antar-negara. Tindakan penarikan tersebut merupakan hak sebuah
negara untuk memprotes kebijakan negara lain. Namun demikian, kebijakan
penarikan itu tidak berarti rusaknya hubungan bilateral kedua negara.
Penarikan duta besar itu tidak serta merta mempengaruhi kerjasama bilateral
dalam isu-isu lain, misalnya pendidikan dan kebudayaan.
Upaya serius
Presiden Brasil Dilma Rousseff dan Raja Belanda Willem Alexander
berkomunikasi dengan Presiden Jokowi merupakan upaya untuk melindungi warga
negaranya. Namun demikian, kedua negara itu sangat paham bahwa mereka tidak
mungkin melakukan intervensi terhadap kebijakan Indonesia, termasuk hukuman
mati. Dengan kata lain, hubungan bilateral mencakup hubungan yang kompleks
antara dua negara, tidak sekadar masalah hukum.
Gaya (Baru) Diplomasi Indonesia
Satu hal
mendasar yang perlu dipahami oleh pemerintahan-pemerintahan di negara lain
adalah perubahan pemerintahan di Indonesia. Mereka perlu menyesuaikan diri
dengan realitas politik yang berbeda di Indonesia hingga 2019. Perubahan ini
berimplikasi perubahan dan kesinambungan kebijakan dan gaya diplomasi
Indonesia dalam hubungan internasional. Berbeda dengan Presiden SBY, negara
lain harus menyesuaikan diri dengan cara dan gaya Presiden Jokowi. Dalam
banyak hal, Jokowi cenderung berbicara lugas dengan kebijakan yang cenderung
konkrit dan tegas ketika menyangkut kepentingan Nasional Indonesia.
Banyak
dimensi positif dan negatif dari gaya Presiden Jokowi yang bisa
diperdebatkan. Dalam hubungan dengan negara lain, pemerintahan Jokowi memang
telah membuat gerah negara-negara lain. Protes dari negara sahabat tidak
hanya datang dari pemerintah Brasil dan Kerajaan Belanda dalam masalah
hukuman mati. Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Tiongkok juga dikejutkan oleh
kebijakan penangkapan dan penenggelaman kapal-kapal pelaku illegal fishing di
wilayah maritim Indonesia. Bahkan Menlu Retno merasa perlu memanggil
Dutabesar Australia di Jakarta untuk menanyakan kebijakan Australia mengenai
manusia perahu agar tidak mengganggu kedaulatan maritim Indonesia. Hingga
saat ini, protes berbagai negara itu tidak dapat melunakkan kebijakan pemerintahan
Jokowi demi menjaga dan melindungi kedaulatan nasional Indonesia.
Penegasan
Presiden Jokowi mengenai hukuman mati juga disampaikan di halaman
facebook-nya (18/1/2015). Bagi Presiden Jokowi, "Perang terhadap mafia
narkoba tidak boleh setengah-setengah, karena narkoba benar-benar sudah
merusak kehidupan baik kehidupan penggunanya maupun kehidupan keluarga
pengguna narkoba." Pemerintah secara jelas menyampaikan sinyal tegas
mengenai darurat narkoba di Indonesia.
Komitmen itu
sebenarnya berakar pada keseriusan pemerintah dalam menghadirkan negara dalam
mengelola berbagai isu domestik dan internationalnya. Hukuman mati dapat
dianggap sebagai representasi kehadiran negara dalam memerangi narkoba.
Peningkatan peran negara diharapkan tidak berujung pada pembentukan negara
kuat yang otoritarian (authoritarian
strong state) seperti peran negara di masa Order Baru. Pembentukan negara
kuat yang demokratis (democratic strong
state) pada masa pemerintahan Jokowi harus tetap menjamin peran
masyarakat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Komitmen ini tentu
saja tidak mudah dicapai, namun kebijakan ke arah itu harus dilakukan sejak
awal pemerintahan Jokowi.
Dalam masalah
narkoba ini, pemerintah Indonesia menganggap narkoba sebagai bagian dari
kejahatan luar biasa, teroganisir, dan bersifat transnational. Skala ancaman
keamanan dan kompleksitas organisasi narkoba telah mendorong pemerintah
bertindak keras. Selain narkoba, kejahatan itu juga meliputi perdagangan
manusia, sea-piracy, penyelundupan
senjata, pencucian uang, terorisme, international
economic crime dan cyber crime..
Sifat
lintas-batas nasional kejahatan ini juga mendorong Indonesia bekerjasama
dengan berbagai negara dan lembaga internasional. Berbagai aturan main internasional
dan regional diadopsi Indonesia sebagai bagian dari landasan bagi regulasi
nasional. Namun demikian, berbagai faktor itu tidak mereduksi sikap
pemerintah dalam mengelola kedaulatan nasionalnya.
Kecenderungan
kebijakan keras dan tegas pemerintah Indonesia perlu dibarengi dengan
komitmen pemerintah melalui perwakilannya di luar negeri. Menlu Retno Marsudi
telah menjelaskan posisi dan alasan pemerintah Indonesia dalam pemberlakuan
hukuman mati kepada Pemerintah Brazil dan Belanda. Sosialisasi dan komunikasi
ini diharapkan dapat menempatkan hubungan bilateral ke jalur semula.
Potensi
hubungan bilateral yang dinamis antara Indonesia dengan negara-negara lain
tampaknya perlu diantisipasi oleh berbagai stakeholders dalam politik luar
negeri Indonesia. Mereka perlu membiasakan diri dengan kemungkinan
naik-turunnya hubungan bilateral mengingat kaitan antara kebijakan domestik
dengan hubungan internasional. Prinsip pemerintahan Jokowi sudah sangat jelas
dan tegas, yaitu kebijakan domestik (termasuk hukuman mati) tetap merupakan
bagian dari kedaulatan nasional yang perlu diperjuangkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar