Selasa, 20 Januari 2015

Hukuman Mati Mengganggu Hubungan Bilateral?

Hukuman Mati Mengganggu Hubungan Bilateral?

Ludiro Madu  ;   Dosen pada Program Studi Ilmu Hubungan International,
UPN 'Veteran' Yogyakarta
DETIKNEWS,  19 Januari 2015

                                                                                                                       


Pelaksanaan hukuman mati pada Minggu dini hari terhadap 6 orang terpidana narkoba (warganegara Indonesia, Brasil, Belanda, Malawi, Vietnam, dan Nigeria) telah menimbulkan kontroversi internasional. Dua negara, yaitu Belanda dan Brasil, telah menarik pulang duta besar mereka. Tindakan yang sama mungkin akan ditempuh negara-negara lain, termasuk Australia. Akibat selanjutnya adalah potensi terganggunya hubungan bilateral antara Indonesia dengan negara-negara yang warganegaranya akan dieksekusi mati.

Dua hal penting perlu diperhatikan di sini. Pertama, kebijakan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Dalam 10 tahun pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah menghukum mati lebih dari 20 orang. Kenyataan tersebut bukan untuk mencari pembenaran atas kebijakan serupa pada Pemerintahan Joko 'Jokowi' Widodo, namun dalam rangka menunjukkan bahwa kebijakan hukuman mati bukan sesuatu yang baru di Indonesia. Selain itu, pelaksanaan hukuman mati untuk para pengedar narkoba juga berlaku di China, Singapura, Vietnam, Malaysia, dan negara-negara lainnya.

Kedua, penarikan duta besar atau perwakilan asing merupakan praktik biasa dalam diplomasi antar-negara. Tindakan penarikan tersebut merupakan hak sebuah negara untuk memprotes kebijakan negara lain. Namun demikian, kebijakan penarikan itu tidak berarti rusaknya hubungan bilateral kedua negara. Penarikan duta besar itu tidak serta merta mempengaruhi kerjasama bilateral dalam isu-isu lain, misalnya pendidikan dan kebudayaan.

Upaya serius Presiden Brasil Dilma Rousseff dan Raja Belanda Willem Alexander berkomunikasi dengan Presiden Jokowi merupakan upaya untuk melindungi warga negaranya. Namun demikian, kedua negara itu sangat paham bahwa mereka tidak mungkin melakukan intervensi terhadap kebijakan Indonesia, termasuk hukuman mati. Dengan kata lain, hubungan bilateral mencakup hubungan yang kompleks antara dua negara, tidak sekadar masalah hukum.

Gaya (Baru) Diplomasi Indonesia

Satu hal mendasar yang perlu dipahami oleh pemerintahan-pemerintahan di negara lain adalah perubahan pemerintahan di Indonesia. Mereka perlu menyesuaikan diri dengan realitas politik yang berbeda di Indonesia hingga 2019. Perubahan ini berimplikasi perubahan dan kesinambungan kebijakan dan gaya diplomasi Indonesia dalam hubungan internasional. Berbeda dengan Presiden SBY, negara lain harus menyesuaikan diri dengan cara dan gaya Presiden Jokowi. Dalam banyak hal, Jokowi cenderung berbicara lugas dengan kebijakan yang cenderung konkrit dan tegas ketika menyangkut kepentingan Nasional Indonesia.

Banyak dimensi positif dan negatif dari gaya Presiden Jokowi yang bisa diperdebatkan. Dalam hubungan dengan negara lain, pemerintahan Jokowi memang telah membuat gerah negara-negara lain. Protes dari negara sahabat tidak hanya datang dari pemerintah Brasil dan Kerajaan Belanda dalam masalah hukuman mati. Vietnam, Malaysia, Filipina, dan Tiongkok juga dikejutkan oleh kebijakan penangkapan dan penenggelaman kapal-kapal pelaku illegal fishing di wilayah maritim Indonesia. Bahkan Menlu Retno merasa perlu memanggil Dutabesar Australia di Jakarta untuk menanyakan kebijakan Australia mengenai manusia perahu agar tidak mengganggu kedaulatan maritim Indonesia. Hingga saat ini, protes berbagai negara itu tidak dapat melunakkan kebijakan pemerintahan Jokowi demi menjaga dan melindungi kedaulatan nasional Indonesia.

Penegasan Presiden Jokowi mengenai hukuman mati juga disampaikan di halaman facebook-nya (18/1/2015). Bagi Presiden Jokowi, "Perang terhadap mafia narkoba tidak boleh setengah-setengah, karena narkoba benar-benar sudah merusak kehidupan baik kehidupan penggunanya maupun kehidupan keluarga pengguna narkoba." Pemerintah secara jelas menyampaikan sinyal tegas mengenai darurat narkoba di Indonesia.

Komitmen itu sebenarnya berakar pada keseriusan pemerintah dalam menghadirkan negara dalam mengelola berbagai isu domestik dan internationalnya. Hukuman mati dapat dianggap sebagai representasi kehadiran negara dalam memerangi narkoba. Peningkatan peran negara diharapkan tidak berujung pada pembentukan negara kuat yang otoritarian (authoritarian strong state) seperti peran negara di masa Order Baru. Pembentukan negara kuat yang demokratis (democratic strong state) pada masa pemerintahan Jokowi harus tetap menjamin peran masyarakat dalam merumuskan dan menjalankan kebijakannya. Komitmen ini tentu saja tidak mudah dicapai, namun kebijakan ke arah itu harus dilakukan sejak awal pemerintahan Jokowi.

Dalam masalah narkoba ini, pemerintah Indonesia menganggap narkoba sebagai bagian dari kejahatan luar biasa, teroganisir, dan bersifat transnational. Skala ancaman keamanan dan kompleksitas organisasi narkoba telah mendorong pemerintah bertindak keras. Selain narkoba, kejahatan itu juga meliputi perdagangan manusia, sea-piracy, penyelundupan senjata, pencucian uang, terorisme, international economic crime dan cyber crime..

Sifat lintas-batas nasional kejahatan ini juga mendorong Indonesia bekerjasama dengan berbagai negara dan lembaga internasional. Berbagai aturan main internasional dan regional diadopsi Indonesia sebagai bagian dari landasan bagi regulasi nasional. Namun demikian, berbagai faktor itu tidak mereduksi sikap pemerintah dalam mengelola kedaulatan nasionalnya.

Kecenderungan kebijakan keras dan tegas pemerintah Indonesia perlu dibarengi dengan komitmen pemerintah melalui perwakilannya di luar negeri. Menlu Retno Marsudi telah menjelaskan posisi dan alasan pemerintah Indonesia dalam pemberlakuan hukuman mati kepada Pemerintah Brazil dan Belanda. Sosialisasi dan komunikasi ini diharapkan dapat menempatkan hubungan bilateral ke jalur semula.

Potensi hubungan bilateral yang dinamis antara Indonesia dengan negara-negara lain tampaknya perlu diantisipasi oleh berbagai stakeholders dalam politik luar negeri Indonesia. Mereka perlu membiasakan diri dengan kemungkinan naik-turunnya hubungan bilateral mengingat kaitan antara kebijakan domestik dengan hubungan internasional. Prinsip pemerintahan Jokowi sudah sangat jelas dan tegas, yaitu kebijakan domestik (termasuk hukuman mati) tetap merupakan bagian dari kedaulatan nasional yang perlu diperjuangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar