Wacana
Pembubaran FPI
Mirawati Uniang ; Mahasiswa
Universitas Eka Sakti
|
HALUAN,
17 November 2014
Meruncingnya konflik antara Front Pembela Islam (FPI) dengan Plt Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok, ternyata bermuara pada wacana
pembubaran ormas yang digawangi sejumlah habib tersebut. Sebelumnya,
perang antara pejabat negara dan ormas tersebut berlangsung panas, massif dan terbuka di ruang publik (baca:media massa), termasuk
jejaring sosial.
Baik Ahok maupun FPI selalu
melemparkan opini-opini pedas yang menyulut membaranya perseteruan
antar mereka. Sikap dan tutur Ahok yang blak-blakan plus kebijakannya
yang dituding FPI kerap memarginalkan kaum muslim, khususnya warga DKI membuat
FPI menyatakan ‘perang’ terhadap mantan anggota DPRD Bangka Belitung
tersebut.
Alhasil, perseteruan keduanya
yang yang berawal dari ketidaksenangan FPI terhadap Ahok berujung pelaporan
ke pihak kepolisian. FPI melaporkan Ahok ke Polda Metro Jaya.
Sebaliknya, Ahok mengajukan rekomendasi pada Kementerian Dalam Negeri
(Kemendagri) untuk membubarkan FPI. Tak hanya ke kepolisian, perselisihan
itu juga sampai ke Makamah Konstitusi (MK).
Sedikit menoleh ke belakang,
wacana pembubaran FPI bukan cerita baru. Tahun 2012 silam, pro kontra terkait
pembubaran FPI juga sempat mencuat. Kala itu, FPI terlibat masalah dengan
Komunitas Suku Dayak di Kalimantan Tengah. Para tokoh adat Dayak menolak
kedatangan FPI ke daerah mereka.
Kasus yang awalnya berada di
ranah sara (suku, agama, ras dan antar golongan) tersebut mengalami
pergeseran. Terjadi penggiringan opini secara sistematis ke wilayah politik.
Dengan merujuk kepada UU No. 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Masyarakat – saat
itu UU No. 17 belum disahkan – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang kala itu
dijabat Gamawan Fauzi, mengancam akan membekukan kegiatan FPI selaku ormas
jika terus melakukan kekerasan yang berujung anarkhis.
Bahkan kepada media yang
mewawancarainya saat itu, Gamawan mengaku sudah memberikan teguran sebanyak
dua kali kepada FPI. Pertama, terkait insiden di
Silang Monas tahun 2008. Lalu yang kedua, dalam kasus pengerusakan dan
penyerangan Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Untuk yang ketiga
kali, jika masih anarkis, maka pembekuan dapat diberlakukan.
Faktanya, meski menyulut pro kontra tak berkesudahan hingga memunculkan
gerakan penolakan dan dukung (save FPI), nyatanya kasus tersebut menguap begitu saja. Tak ada
penyelesaian konkrit terkait kisruh tersebut. Dan FPI pun kembali berkegiatan
seperti biasa.
FPI versus Ahok
Meletupnya bara perseteruan FPI
dan Ahok tidak terjadi begitu saja. Ibarat kata, tak mungkin ada asap kalau
tidak ada api. Seperti yang kita ketahui, Ahok dikenal sebagai sosok yang fenomenal
sekaligus kontroversial. Saat menjabat Wakil Gubernur DKI mendampingi
Jokowi (sekarang presiden, red), ia sudah berani ‘tampil beda’. Beberapa kali
Ahok terlihat marah dengan suara keras saat rapat dengan SKPD atau pejabat
lainnya. Sepeninggal Jokowi yang nyapres, sifat temperamental Ahok
semakin keliatan. Ia kerap melontarkan gagasan ataupun opini yang menyulut
kemarahan umat Islam. Termasuk salah satu kebijakannya yang melarang warga
DKI melakukan pemotongan hewan kurban di sekolah atau madrasah.
Puncaknya, rencana pelantikan
Ahok menjadi Gubernur DKI, membuat FPI meradang. Untuk yang satu ini, Ahok
ternyata tak hanya berhadapan dengan FPI tapi juga pihak DPRD DKI. Seperti
halnya dengan FPI, Ahok juga terlibat konflik dengan anggota DPRD dari PPP,
Haji Lulung. Anggota DPRD dari Koalisi Merah Putih (KMP) juga tidak
menyetujui Ahok menjadi DKI 1. Terbukti, saat pengesahan oleh
DPRD pada Jum’at (14/11) kemaren, KMP tidah hadir.
Perjalanan
Ahok menjadi DKI satu memang berliku dan penuh tantangan.
Dalam perspektif FPI, Ahok
tidak layak menjabat gubernur DKI. Bukan hanya alasan secara ideologis, tapi
juga soal perkataan Ahok yang tidak mencerminkan sifat dan karakter
seorang pemimpin. Bagi FPI, menolak Ahok menjadi orang nomor satu di ibukota
tersebut merupakan harga mati.
Celakanya, FPI terbentur aturan
perundang-undangan. Menjegal Ahok menjadi gubernur, itu artinya sama saja
dengan melanggar peraturan perundang-undangan. Tapi sepertinya FPI tidak
kehabisan akal. Mereka membawa persoalan ini ke Makamah Konstitusi (MK).
Lalu, kapankah perseteruan dua kubu ini akan berakhir? Akankah FPI
benar-benar dibekukan atau dibubarkan seperti rekomendasi Ahok?
Publik, khususnya warga Jakarta
tentu berharap persiteruan ini akan berakhir damai. Sebab bagaimanapun,
untuk menjalankan roda pemerintahan, Ahok butuh dukungan semua elemen
masyarakat, tak terkecuali FPI.
Membubarkan FPI?
Seperti yang Saya katakan di awal tulisan ini, wacana
pembubaran FPI sudah berlangsung sejak lama. Jauh sebelum adanya permusuhan
Ahok-FPI. Dan tidak mustahil pula, tanpa kasus Ahok pun, akan ada celah untuk
membekukan FPI bagi pihak-pihak yang kontra dan gerah dengan organisasi
masyarakat tersebut.
Di kalangan umat Islam
sendiri, terjadi pembelahan terhadap keberadaan dan eksistensi FPI. Ada
yang pro tapi tidak sedikit pula yang kontra dengan FPI. Mereka yang pro
beralasan, keberadaan FPI sangat dibutuhkan di tengah arus globalisasi dimana
Umat Islam terus menjadi bulan-bulanan. Menurut mereka, harus ada pihak yang
berani menentang kezaliman dan menyuarakan amar ma’ruf nahi mungkar.
Sebaliknya, pihak yang kontra
juga punya alasan menolak keberadaan FPI di tengah umat Islam saat ini. Aksi
FPI yang selama ini identik dengan kekerasan bahkan anarkhis, disinyalir
menjadi alasan penolakan tersebut. FPI sendiri menyadari kondisi ini. Di
beberapa media, FPI turut menyesalkan asumsi dan tudingan sejumlah pihak –
termasuk media – yang melihat keberadaan ormas tersebut dari sisi
negatifnya saja. Menurut FPI dalam beberapa kesempatan, mereka juga
melakukan aksi sosial dan berbaur dengan masyarakat. Namun tidak pernah
diekpos media.
Terlepas dari pro dan kontra di
kalangan umat Islam, pemerintah pun seperti menghadapi simalakama jika ingin membubarkan FPI. Meski secara undang-undang keormasan
sangat dimungkinkan, tapi ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan
pemerintah (baca: Kemendagri) sebelum benar-benar membekukan FPI.
Persoalan lain, akan muncul
gejolak atau gelombang protes tak terkendali di tengah masyarakat. Khususnya
mereka yang mendukung keberadaan FPI. Pertanyaan mendasar dibenak banyak
orang adalah, apakah dengan dibekukannya FPI akan menjamin rasa aman dan
tidak ada lagi tindakan anarkhis dari ormas sejenis atau ormas lainnya? Siapa
yang dapat menggaransi hal tersebut?
Nah, bagi FPI sendiri, ini mungkin momentum untuk menunjukkan
kepada publik – utamanya mereka yang menolak kehadiran ormas tersebut –
bahwa, FPI tidak seangker yang mereka bayangkan. Saatnya FPI berbenah,
tampil lebih soft dan elegan di tengah-tengah masyarakat untuk membela kepentingan
masyarakat luas, khususnya Umat Islam.
Melaksanakan amal
ma’ruf nahi mungkar itu, wajib hukumnya dalam
Ajaran Islam. Tidak ada tawar menawar untuk itu. Namun, Islam dan
Rasulullah tidak pernah mengajarkan melakukan kekerasan dengan
mengatasnamakan agama, lalu berbuat anarkhis.
Tanpa menafikkan kenyataan,
selama ini FPI memang identik dengan aksi kekerasan dan anarkhisme dalam
sepak terjangnya. Tapi sudahlah, seyogianya masyarakat juga pemerintah harus
memberikan kesempatan sekali lagi pada ormas yang lahir empat bulan pasca
runtuhnya rezim Soeharto itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar