Senin, 17 November 2014

Nuansa Politis dalam Penistaan Al-Aqsa

                    Nuansa Politis dalam Penistaan Al-Aqsa

Ibnu Burdah  ;   Pemerhati Masalah Timur Tengah dan dunia Islam; Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Wahid Hasyim (Unwahas) Semarang
SUARA MERDEKA, 17 November 2014

                                                                                                                       


“Andai Israel benar-benar hendak menghancurkan Al-Aqsa maka tentu dilakukan dengan cara ’’senyap’’

MASALAH Al-Aqsha atau secara lebih luas Yerussalem Timur adalah persoalan yang sangat sensitif dalam konflik Palestina-Israel. Kedua pihak selama ini tak berani menyentuh isu tersebut mengingat akan memantik reaksi emosional dan cenderung keras, baik dari masyarakat Yahudi, Kristiani, maupun muslim dunia. Mengapa para petinggi Israel tiba-tiba ’’melecehkan’’  Al-Aqsha?

Sebagaimana diberitakan, Moshe Feiglin, Wakil Ketua Knesset dan orang kedua di partai berkuasa, Likud, mendobrak pintu barat masjid itu, lalu masuk bersama sejumlah ekstremis Yahudi dan melakukan perusakan. Pada saat bersamaan, Uri Ariel, Menteri Perumahan Israel menyatakan umat Yahudi bisa masuk ke kompleks itu untuk menjalankan shalat.

Pada sebagian kalangan umat Yahudi, memang benar ada keyakinan bahwa Kuil Sulaiman itu berada di bawah atau di sekitar Masjid Al-Qsha atau Masjid Umar (Kubbah al-Shahra). Namun perlu dicatat bahwa keyakinan itu bukan mainstream di kalangan rakyat Israel.

Mayoritas penduduk Israel sebenarnya sekuler mengingat sebagian besar berasal dari Eropa baik Eropa Barat maupun Timur. Dari kelompok beragama Yahudi di Israel, ada tiga akar pengelompokan, yaitu Ultra Ortodox, Haredim (Orthodox), dan Mifdel. Kelompok Ultra Orthodox adalah kelompok Yahudi asli yang berada di Palestina jauh sebelum datang kelompok Zionis politik yang kemudian mendirikan negara Israel. Mereka mendukung pendirian negara Palestina dan menolak negara Israel.

Kelompok Haredim hampir memiliki pandangan sama dengan kelompok pertama. Mereka adalah kelompok agama terbesar di Israel, hanya mereka datang setelah rangkaian tragedi pogrom dan holocoust di Eropa. Mereka tidak berideologi Zionis tapi tak memiliki pilihan kecuali mengikuti program Zionis manakala bencana kemanusiaan mengancam mereka di Eropa. Kelompok ini hingga sekarang cenderung pasif terhadap institusi negara Israel seperti tidak mau hormat pada bendera resmi Star David, tidak mau memperingati hari pendirian negara Israel tiap 14 Mei, dan seterusnya.

Kelompok ketiga adalah Mifdel. Kelompok inilah yang memiliki akar ìpenyatuan Zionisme dan agama Yahudiî. Secara mainstream, kelompok ini pun tak mendorong untuk merobohkan Masjid Al-Aqsha atau tindakan kriminal lain. Namun, dari sempalan-sempalannya lahir beberapa kelompok garis keras yang memiliki pandangan begitu rasis terhadap Palestina dan menggunakan cara kekerasan seperti kelompok Kach, kelompok Gush Emunim dan sebagainya.

Kelompok ini pula yang melahirkan orang-orang seperti Baruch Goldstein yang membunuh 30-an warga yang shalat Subuh di Masjid Ibrahim Hebron, Ygal Amir yang membunuh PM Yitzhak Rabin, dan seterusnya. Kelompok sempalan-sempalan inilah yang ngotot untuk mendesakkan pandangan bahwa Kuil Solomon berada di bawah Aqsha dan karena itu mereka menuntut restorasi kuil tersebut, yang berarti merusak Aqsha.

Jadi, tindakan penistaan Al-Aqsha, apalagi andai sampai merobohkan adalah tindakan yang tak populer di kalangan luas umat beragama Yahudi di Israel. Ini penting saya sampaikan agar kita memperoleh pemahaman yang lebih baik dan objektif, bukan yang lebih emosional, tentang Israel-Palestina.

Target Politis

Penulis meyakini tindakan petinggi Israel itu bukan menyasar Al-Aqsha. Pertama; andai mereka benar-benar hendak menghancurkan tempat suci itu maka tentu dilakukan dengan cara ìsenyapî tanpa sorot kamera seperti sekarang. Mereka sengaja mendobrak pintu Al-Aqsha dalam kilat dan sorot kamera, dan pengawalan ketat tentara Israel. Petinggi Israel itu pasti sadar jika penistaan Al-Aqsha dilakukan dalam sorot kamera pasti memantik reaksi luas umat Islam. Reaksi dan emosi inilah sepertinya yang mereka inginkan. Jadi,  target mereka sejatinya politis.

Strategi Israel bagi kemerdekaan Palestina adalah mengulur proses perdamaian itu selama mungkin. Tujuannya, supaya Israel memiliki waktu panjang untuk mengubah realitas di lapangan termasuk dalam masalah Al-Aqsha dan Yerussalem Timur. ìMeyahudikanî kawasan itu adalah tema yang mewarnai pemberitaan selama ini sehingga Palestina yang merdeka kelak sangatlah kecil dan tak berdaya.

Kedua; langkah ini juga akan menunda pelaksanaan negosiasi damai yang terus didesakkan pascaperang Gaza. Kondisi setelah perang itu dijadikan momentum banyak pihak untuk kembali mendorong kedua pihak ke meja perundingan. Pemerintahan Netanyahu sejauh ini terus menghindar, atau setidaknya menunda-nunda proses negosiasi damai untuk memperoleh keuntungan dari perubahan realitas di lapangan. Semakin lama tertunda maka keuntungan berada di tangan Israel.

Ketiga; Israel juga makin terancam dengan keberanian langkah Palestina membawa masalah kejahatan perang Gaza ke pengadilan Internasional. Langkah itu memang belum tercapai akibat sedikit perbedaan pandangan tentang waktu antara Hamas dan Fatah. Namun, itu sudah merupakan ancaman serius bagi para tokoh perang Israel. Pasalnya, kehancuran dan korban kemanusiaan perang Gaza luar biasa, dan para penjahat perang itu belum tersentuh hingga sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar