Nuansa
Politis dalam Penistaan Al-Aqsa
Ibnu Burdah ; Pemerhati Masalah Timur Tengah dan dunia Islam;
Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Universitas Wahid Hasyim (Unwahas)
Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 17 November 2014
“Andai Israel benar-benar hendak menghancurkan
Al-Aqsa maka tentu dilakukan dengan cara ’’senyap’’
MASALAH
Al-Aqsha atau secara lebih luas Yerussalem Timur adalah persoalan yang sangat
sensitif dalam konflik Palestina-Israel. Kedua pihak selama ini tak berani
menyentuh isu tersebut mengingat akan memantik reaksi emosional dan cenderung
keras, baik dari masyarakat Yahudi, Kristiani, maupun muslim dunia. Mengapa
para petinggi Israel tiba-tiba ’’melecehkan’’
Al-Aqsha?
Sebagaimana
diberitakan, Moshe Feiglin, Wakil Ketua Knesset dan orang kedua di partai
berkuasa, Likud, mendobrak pintu barat masjid itu, lalu masuk bersama
sejumlah ekstremis Yahudi dan melakukan perusakan. Pada saat bersamaan, Uri
Ariel, Menteri Perumahan Israel menyatakan umat Yahudi bisa masuk ke kompleks
itu untuk menjalankan shalat.
Pada
sebagian kalangan umat Yahudi, memang benar ada keyakinan bahwa Kuil Sulaiman
itu berada di bawah atau di sekitar Masjid Al-Qsha atau Masjid Umar (Kubbah
al-Shahra). Namun perlu dicatat bahwa keyakinan itu bukan mainstream di
kalangan rakyat Israel.
Mayoritas
penduduk Israel sebenarnya sekuler mengingat sebagian besar berasal dari
Eropa baik Eropa Barat maupun Timur. Dari kelompok beragama Yahudi di Israel,
ada tiga akar pengelompokan, yaitu Ultra Ortodox, Haredim (Orthodox), dan
Mifdel. Kelompok Ultra Orthodox adalah kelompok Yahudi asli yang berada di
Palestina jauh sebelum datang kelompok Zionis politik yang kemudian
mendirikan negara Israel. Mereka mendukung pendirian negara Palestina dan
menolak negara Israel.
Kelompok
Haredim hampir memiliki pandangan sama dengan kelompok pertama. Mereka adalah
kelompok agama terbesar di Israel, hanya mereka datang setelah rangkaian
tragedi pogrom dan holocoust di Eropa. Mereka tidak berideologi Zionis tapi
tak memiliki pilihan kecuali mengikuti program Zionis manakala bencana
kemanusiaan mengancam mereka di Eropa. Kelompok ini hingga sekarang cenderung
pasif terhadap institusi negara Israel seperti tidak mau hormat pada bendera
resmi Star David, tidak mau memperingati hari pendirian negara Israel tiap 14
Mei, dan seterusnya.
Kelompok
ketiga adalah Mifdel. Kelompok inilah yang memiliki akar ìpenyatuan Zionisme
dan agama Yahudiî. Secara mainstream, kelompok ini pun tak mendorong untuk
merobohkan Masjid Al-Aqsha atau tindakan kriminal lain. Namun, dari
sempalan-sempalannya lahir beberapa kelompok garis keras yang memiliki
pandangan begitu rasis terhadap Palestina dan menggunakan cara kekerasan
seperti kelompok Kach, kelompok Gush Emunim dan sebagainya.
Kelompok
ini pula yang melahirkan orang-orang seperti Baruch Goldstein yang membunuh
30-an warga yang shalat Subuh di Masjid Ibrahim Hebron, Ygal Amir yang
membunuh PM Yitzhak Rabin, dan seterusnya. Kelompok sempalan-sempalan inilah
yang ngotot untuk mendesakkan pandangan bahwa Kuil Solomon berada di bawah
Aqsha dan karena itu mereka menuntut restorasi kuil tersebut, yang berarti
merusak Aqsha.
Jadi,
tindakan penistaan Al-Aqsha, apalagi andai sampai merobohkan adalah tindakan
yang tak populer di kalangan luas umat beragama Yahudi di Israel. Ini penting
saya sampaikan agar kita memperoleh pemahaman yang lebih baik dan objektif,
bukan yang lebih emosional, tentang Israel-Palestina.
Target Politis
Penulis
meyakini tindakan petinggi Israel itu bukan menyasar Al-Aqsha. Pertama; andai
mereka benar-benar hendak menghancurkan tempat suci itu maka tentu dilakukan
dengan cara ìsenyapî tanpa sorot kamera seperti sekarang. Mereka sengaja
mendobrak pintu Al-Aqsha dalam kilat dan sorot kamera, dan pengawalan ketat
tentara Israel. Petinggi Israel itu pasti sadar jika penistaan Al-Aqsha
dilakukan dalam sorot kamera pasti memantik reaksi luas umat Islam. Reaksi
dan emosi inilah sepertinya yang mereka inginkan. Jadi, target mereka sejatinya politis.
Strategi
Israel bagi kemerdekaan Palestina adalah mengulur proses perdamaian itu
selama mungkin. Tujuannya, supaya Israel memiliki waktu panjang untuk
mengubah realitas di lapangan termasuk dalam masalah Al-Aqsha dan Yerussalem
Timur. ìMeyahudikanî kawasan itu adalah tema yang mewarnai pemberitaan selama
ini sehingga Palestina yang merdeka kelak sangatlah kecil dan tak berdaya.
Kedua;
langkah ini juga akan menunda pelaksanaan negosiasi damai yang terus
didesakkan pascaperang Gaza. Kondisi setelah perang itu dijadikan momentum
banyak pihak untuk kembali mendorong kedua pihak ke meja perundingan.
Pemerintahan Netanyahu sejauh ini terus menghindar, atau setidaknya
menunda-nunda proses negosiasi damai untuk memperoleh keuntungan dari
perubahan realitas di lapangan. Semakin lama tertunda maka keuntungan berada
di tangan Israel.
Ketiga; Israel juga makin terancam dengan keberanian langkah Palestina
membawa masalah kejahatan perang Gaza ke pengadilan Internasional. Langkah
itu memang belum tercapai akibat sedikit perbedaan pandangan tentang waktu
antara Hamas dan Fatah. Namun, itu sudah merupakan ancaman serius bagi para
tokoh perang Israel. Pasalnya, kehancuran dan korban kemanusiaan perang Gaza
luar biasa, dan para penjahat perang itu belum tersentuh hingga sekarang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar