Tujuh
Samurai Versus Satu Calon Petahana
Indra J Piliang ; Sang
Gerilya Institute
|
KORAN
TEMPO, 13 November 2014
Menjelang Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pada Januari
2015, delapan kandidat ketua umum muncul ke permukaan. Kedelapan kandidat ini
bisa berkurang atau bertambah. Hanya, mengingat waktu yang kian sempit,
tampaknya jumlah itu justru akan berkurang. Apalagi, kedelapan kandidat sudah
mulai bergerilya ke daerah-daerah guna mencari dukungan. Semakin banyak waktu
yang disediakan kandidat untuk menemui pimpinan partai di daerah-daerah, kian
terbangun komitmen yang kuat guna memenangi pertarungan.
Berdasarkan perkembangan di lapangan, terlihat upaya sistematis
untuk mengusung kembali Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Ketua Umum. Upaya ini
tentu sah-sah saja dan tidak melanggar aturan organisasi. Yang dikeluhkan,
adanya situasi yang kurang baik berupa pembatasan pergerakan
kandidat-kandidat diluar calon inkumben (petahana). Meski belum tentu
merupakan bagian dari gerakan politik Slipi, sejumlah nama yang dekat dengan
atau merupakan bagian dari tim sukses calon-calon di luar inkumben mengalami
perlakuan yang tidak simpatik. Beberapa dari mereka dipecat dari kedudukannya
sebagai pengurus partai dengan alasan revitalisasi atau pelanggaran aturan
organisasi.
Aksi lainnya adalah pengumpulan tanda tangan dukungan bagi calon
inkumben yang dilakukan kandidat dengan cara menemui pimpinan partai di
daerah-daerah. Berdasarkan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga Partai Golkar
dan pengalaman dalam munas sebelumnya, sama sekali tidak ada syarat berupa
dukungan daerah-daerah untuk maju sebagai kandidat. Namun, karena Munas
merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dalam tubuh partai, bisa saja aturan
dalam Anggaran Dasar itu diubah peserta Munas. Karena itu, setiap kandidat
idealnya diberi surat dukungan yang sama oleh pemilik suara sehingga tidak
memunculkan sikap diskriminatif.
Delapan kandidat tersebut bisa dikerucutkan menjadi dua blok
besar, yakni blok status quo dan blok anti-status quo. Blok status quo hanya
terdiri atas satu nama, yakni Aburizal Bakrie sebagai calon inkumben. Blok
anti-status quo berada di tangan tujuh kandidat lainnya yang dikenal sebagai
Tujuh Samurai.
Blok-blok ini tentu saja bagian dari dinamika politik yang
terjadi.
Kalau melihat secara obyektif, kepemimpinan ARB memang berhasil
mempertahankan soliditas Partai Golkar. Hampir tidak ada gejolak yang
berarti. Perbedaan pendapat baru mencuat dalam pilpres 2014. Dari sini,
terlepas dari kegagalannya menjadi capres atau cawapres, ARB terlihat
memainkan peran elegan dalam Koalisi Merah Putih (KMP). ARB kurang berhasil
menjaga rivalitas antar-faksi di dalam tubuh Golkar, termasuk menyikapi
persaingan antara tiga ormas pendiri Partai Golkar. Namun ARB justru mampu
menempatkan diri sebagai sosok yang mempertemukan pelbagai kepentingan dalam
tubuh KMP.
Masalahnya, KMP bukanlah Partai Golkar. Model koalisi atau
aliansi dalam politik Indonesia bersifat jangka pendek. Menjelang pemilu dan
pilpres yang diadakan serentak pada 2019, KMP dipastikan kembali ke habitat
aslinya, yakni menonjolkan partai masing-masing. Kecuali memang terdapat
upaya serius untuk mengubah sejumlah hal penting dalam paket undang-undang
dalam bidang politik, misalnya membolehkan keikutsertaan dalam pemilu
legislatif berdasarkan koalisi kepartaian, pemilu legislatif dengan sistem
distrik, penggunaan nomor urut, pengembalian hak recall, atau aliansi dan
koalisi permanen yang digalang untuk mengajukan pasangan capres dan cawapres
sejak jauh-jauh hari.
KMP bisa saja melakukan terobosan-terobosan baru lewat
penguasaan di parlemen, sebagaimana yang terjadi dalam sejumlah sidang
paripurna DPR dan MPR sebelumnya. Penyusunan APBN 2015, misalnya, merupakan
salah satu bentuknya. Di sinilah Golkar memiliki peran besar. Apabila terjadi
penggantian kepemimpinan, arah KMP bisa berubah. Bahkan, Golkar bisa ditarik
keluar dari KMP. Namun bukan hal mudah untuk melakukan itu. Golkar perlu
berhitung dengan keras, keuntungan apa yang mereka dapatkan setelah keluar
dari KMP? Apalagi, watak pemerintah Jokowi benar-benar tak memberi kesempatan
kepada pimpinan partai untuk memasuki kabinet. Mereka wajib meninggalkan
status sebagai pemimpin partai dan hanya menjadi anggota biasa.
Kemampuan kandidat selain ARB untuk menawarkan pemikiran dan
terobosan alternatif masih ditunggu. Romantisme pilpres 2014 perlu
ditinggalkan. Keberadaan Golkar sudah jelas di luar pemerintah. Bukan
mustahil Golkar kembali dikeroyok opini publik apabila memutuskan bergabung
dengan pemerintah di tengah jalan, baik oleh pihak KMP, Koalisi Indonesia
Hebat, maupun masyarakat sipil. Perseteruan tradisional Partai Golkar versus
PDIP menjadi ingatan kolektif apabila kerja sama politik dilakukan di tengah jalan.
Contohnya, kritik politikus PDIP kepada Wakil Presiden Jusuf Kalla soal
rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi bisa jadi nanti
menyerempet ke masalah kehadiran Golkar dalam barisan koalisi pendukung
pemerintah.
Selama belum ada gagasan yang lebih genuine, Tujuh Samurai
bakal kesulitan menghadapi ketangguhan ARB sebagai calon inkumben. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar