Kolom
Agama
Achmad Fauzi ; Aktivis
Multikulturalisme
|
KORAN
TEMPO, 13 November 2014
Kisruh pengosongan
kolom agama di kartu tanda penduduk telah keluar dari gelanggang pokok perdebatan
yang sesungguhnya. Sebagian masyarakat mengira wacana yang digulirkan Menteri
Dalam Negeri adalah menghapus kolom agama di KTP. Akibatnya, perdebatan
semakin tidak konstruktif karena menuding pemerintah ateis dan menempatkan
agama sebagai identitas yang tak terlalu penting.
Akar filosofis
pengosongan kolom agama di KTP sejatinya hanya ditujukan kepada penghayat
kepercayaan yang notabene tidak diakui secara resmi oleh negara. Sedangkan
masyarakat yang menganut salah satu dari enam agama yang diakui negara tetap
mencantumkan kolom agama. Kehendak pemerintah
tersebut seharusnya memperoleh dukungan penuh karena berupaya mengembalikan
hak warga negara untuk memilih agama dan keyakinan yang secara konstitusional
dijamin oleh UUD 1945.
Penganut kepercayaan selama ini menjadi tumbal politik pilih
kasih, salah satunya soal pengaturan pencatatan kependudukan yang bias,
terutama soal diskriminasi. Praktek administrasi kependudukan mewajibkan
setiap warga mencantumkan satu dari lima agama yang diakui pemerintah dalam
KTP. Aturan ini jelas menyulitkan penghayat kepercayaan karena dipaksa
berafiliasi kepada agama tertentu yang bertentangan dengan nuraninya.
Keyakinan adalah persoalan pencarian kebenaran sebagai urusan manusia dengan
Tuhan yang tidak bisa direcoki oleh rezim ataupun otoritas mana pun.
Pemaksaan dalam hal agama merupakan sisi gelap demokrasi tuna adab yang harus
disingkirkan.
Sejarah pahit pemaksaan tersebut mengingatkan kita pada
peristiwa pada masa Orde Baru. Dalam bidang
pendidikan, pada 1975, kurikulum pendidikan sekolah dasar dan lanjutan
melarang mata pelajaran agama Konghucu diajarkan di sekolah-sekolah. Umat
Konghucu dipaksa mengikuti pelajaran agama lain. Dalam bidang administrasi
kependudukan, pada 1977, Mendagri mengeluarkan instruksi rahasia untuk
menetapkan peraturan khusus pembuatan kartu keluarga dan KTP. KTP bagi etnis
Cina hanya diberi kode khusus dengan tanda O.
Diskresi pemerintah untuk memutus mata rantai diskriminasi dalam
administrasi kependudukan tersebut menunjukkan bahwa negara memiliki iktikad
baik untuk meniadakan pelembagaan diskriminasi terhadap warga negara
berdasarkan dikotomi agama/kepercayaan. Sebab, Pasal 28 e UUD 1945 dengan
tegas melindungi hak asasi warga negara, terutama hak setiap warga negara
untuk memeluk agama dan menganut kepercayaannya, hak untuk bebas dari
diskriminasi, serta hak untuk berkesamaan kedudukan di hadapan hukum dan
pemerintahan.
Wacana pengosongan
kolom agama pada KTP bagi penghayat kepercayaan sejatinya baru dinilai
sebatas langkah kecil. Sebab, masih banyak persoalan lebih besar yang
dihadapi mereka dalam kaitan dengan layanan birokrasi kependudukan. Penganut
kepercayaan tertentu selama ini tidak bisa mencatatkan perkawinannya karena
agama yang dianut tidak diakui negara. Walhasil, mereka dipaksa pindah
sejenak ke agama lain untuk melegalkan perkawinannya.
Anak-anak penganut aliran kepercayaan yang sedang mengenyam
pendidikan juga kerap dipaksa memilih salah satu mata pelajaran pendidikan
agama di luar keyakinannya. Apa boleh buat, negara
harus menegakkan konstitusi, sehingga setiap warga negara memiliki kedudukan
setara dalam memperoleh hak asasinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar