Tantangan
Abad II Muhammadiyah
Benni Setiawan ; Wakil
Sekretaris Majelis Tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah
|
SUARA
MERDEKA, 18 November 2014
“Mengingat
banyak dihuni birokrat, kerja-kerja persyarikatan saat ini lebih banyak
dipenuhi atribut birokrasi”
MUHAMMADIYAH telah memasuki abad
II. Tantangan dakwah abad ini tentu tak kalah rumit dibanding abad I.
Pasalnya, Muhammadiyah tidak lagi berdiri sebagai ormas modern berbasis
sosial kemasyarakatan di Indonesia tapi harus berhadapan dengan berbagai
persoalan serius internasional. Persoalan internasional itu merupakan peluang
bagi Muhammadiyah untuk makin berkiprah untuk umat.
Dengan bekal pengalaman seabad
berorganisasi, Muhammadiyah diharapkan mampu mewarnai jagat pemikiran dan
praksis sosial yang dibawanya sebagai role model. Ia bisa menghadapi masalah
dan tantangan yang mengadang, betapa pun kompleksnya. Optimisme itu —meminjam
istilah Haedar Nashir (2011)— dengan fondasi ideologi reformis dan moderat
yang jadi karakter gerakannya plus pandangan Islam yang berkemajuan dan
berbagai potensi SDM, amal usaha, dan jaringan.
Tantangan Muhammadiyah adalah
mencoba memberikan sesuatu kepada publik internasional dengan modal sosial
yang telah dimiliki. Setidak-tidaknya, dapat berperan dalam tiga hal utama,
yakni ranah politik, ekonomi, dan kultural. Ranah politik merupakan kajian
terhadap pilihan politik Muhammadiyah sejak awal pendiriannya. Seperti saat
Kiai Dahlan ìberkompromiì dengan pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan
cap ìlegalî pendirian sebuah ormas.
Kiai Dahlan perlu membangun
kekuatan di Boedi Oetomo guna memperkuat dukungan agar Muhammadiyah tidak
mendapatkan resistensi dari pemerintah kolonial. Dalam perjalanan
selanjutnya, Muhammadiyah turut serta dalam kancah politik tahun 1955.
Muhammadiyah menjadi anggota aktif Partai Masyumi dengan semboyan “Berpolitik
dengan Masyumi, Berdakwah dengan Muhammadiyah”. Peran kebangsaan dalam bidang
politik pun terus bergulir pada era Orde Baru, tatkala Kiai AR Fachruddin
menerima asas tunggal Pancasila. Pak AR, sapaan ketua terlama PPMuhammadiyah
itu, dengan lobi kuat menelurkan istilah politik helm, yang menjadi cara
untuk mendekatkan diri kepada pemerintah. Melalui ijtihad itu, Muhammadiyah
pun selamat dari “pemberedelan” ala Soeharto.
Ijtihad politik itu kini
memasuki jihad konstitusi. PPMuhammadiyah mengajukan serangkaian uji materi
kepada Mahkamah Konstitusi terkait UU yang tak berpihak kepada umat, seperti
UU Migas. Ranah ekonomi merupakan kajian terhadap sistem ekonomi
Muhammadiyah, ormas pemilik amal usaha terbanyak di dunia. Amal usaha itu
merupakan sistem ekonomi yang tak dimiliki ormas lain. Sistem ekonomi yang
tak bergantung mutlak kepada pemerintah inilah yang menguatkan jejaring ormas
tersebut.
Merunut ke belakang, Kiai Dahlan
sebagai founding father mengajarkan
bahwa ekonomi umat harus dibangun sebagai implementasi teologi al-Maun dan
al- Ashr. Ekonomi umat Muhammadiyah selayaknya kuat untuk menopang sistem ibadat
yang membutuhkan uang. Pasalnya, setelah shalat kita diperintah-Nya membayar
zakat. Itu artinya, umat Muhammadiyah diperintahkan jadi ”orang kaya” supaya
mampu menghidupi diri dan orang lain melalui teologi filantropinya.
Menyesuaikan Waktu Menilik sejarah, pada awal pembentukannya Muhammadiyah
dikomandani para pedagang, yang kemudian menjadi penopang persyarikatan.
Berbekal spirit dan mentalnya,
mereka menjadi lokomotif dakwah dan penyebaran Muhammadiyah ke seluruh
penjuru negeri. Namun kini, etos dagang itu sedikit memudar. Pimpinan
Muhammadiyah lebih banyak jadi birokrat (PNS), dan ini mengundang kritik.
Mitsuo Nakamura misalnya, mengkritik dengan mengatakan bahwa corak awal
persyarikatan itu sedikit memudar karena spirit dagang tak lagi menjadi locus
Muhammadiyah.
Mengingat banyak dihuni
birokrat, kerja-kerja persyarikatan lebih banyak dipenuhi atribut birokrasi
sehingga untuk mengumpulkan pimpinan perlu menyesuaikan waktu mereka. Arti
pentingnya mental pedagang persyarikatan ini perlu mendapat perhatian serius
generasi terkini. Pasalnya, melalui spirit tersebut bangunan sistem ekonomi
persyarikatan dapat kembali tegak.
Muhammadiyah tak perlu
meminta-minta ke pemerintah untuk terus berkarya dalam bidang kemasyarakatan.
Gerakan kultural Muhammadiyah dibangun dari amal usaha dalam bidang
pendidikan. Muhammadiyah menjadi sumber inspirasi dunia dalam menjalankan
ranah itu. Sekolah Muhammadiyah tumbuh dan berkembang dengan corak khasnya.
Sekolah ormas itu yang pada awal
pendiriannya ala Barat kini bermetamorfosis menjadi lembaga unggulan yang tak
bisa dipandang sebelah mata. Namun kini kehadiran sekolah Muhammadiyah
tersaingi sekolah lain, semisal sekolah internasional Gulen Movement sehingga sekolah Muhammadiyah kerap dianggap nomor
dua. Apalagi kini pemerintah menggalakkan sekolah negeri gratis. Banyak orang
tak lagi memercayakan putra-putrinya dididik oleh sekolah Muhammadiyah.
Inilah tantangan dalam bidang kultural (pendidikan) untuk bisa kembali
menampilkan keunggulan di bidang pendidikan mulai tingkat dasar hingga
perguruan tinggi. Selamat Milad Ke-102
Muhammadiyah, jayalah persyarikatan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar