Kerja,
Kerja, dan Kerja
Nurul Lathifah ; Ibu rumah
tangga; Konsultan Psikologi LPPT Persona
|
SUARA
MERDEKA, 18 November 2014
Belakangan, ada kata yang sedang
populer yang menandai loyalitas, yaitu ”kerja, kerja, dan kerja”. Pengulangan
sebanyak tiga kali tersebut tidak berangkat dari ruang ide yang hampa.
Berkelindan dengan pengalaman pada masa lalu, anjuran kerja sebanyak tiga
kali bermakna anjuran untuk fokus bekerja, tak terkecuali bagi perempuan.
Praktis, kaum perempuan diberi
harapan untuk sigap, profesional, dan memiliki progres yang signifikan dalam
pekerjaannya. Kabar baiknya, produktivitas kerja memiliki kemungkinan untuk
naik beberapa kali lipat. Hal ini kemudian memberikan kemanfaatan bagi publik
sehingga kian dapat dilayani, dinaungi, dan difasilitasi. Kerja, kerja, dan
kerja, seolah merepresentasikan budaya kerja yang selalu ingin menampilkan
progresivitas.
Ini merupakan sebuah budaya
kerja yang potensial untuk menghasilkan profesionalitas dalam makna yang
sebenarnya. Meski demikian, secara fair akan tetap ada efek negatif dari
seruan, ”kerja, kerja, dan kerja”, terutama bagi perempuan. Dalam perspektif
humanis, perempuan dan laki-laki memiliki motivasi yang mendasari sikap dan
tindakannya, sehingga, seruan kerja, kerja, dan kerja harus memiliki dasar
motivasi yang kuat dan memberikan gairah dalam kehidupan.
Jika saja anjuran kerja tersebut
disikapi secara datar tanpa bingkai makna, dapat saja kaum perempuan yang
bekerja sebagai PNS mengalami perasaan tidak nyaman, atau bahkan tertekan.
Pandangan psikologi pertumbuhan mengemukakan bahwa seseorang dapat mencapai
kebahagiaan dengan memaknai aktivitasnya secara positif. Bahkan, aktivitas
yang sangat payah nan melelahkan pun akan menjadi ringan dan membahagiakan
ketika pelakunya mampu membingkai aktivitasnya dengan makna yang positif,
baik, dan menggairahkan.
Fromm (1996) mengungkapkan bahwa
manusia dapat menemukan kebahagiaan dengan dua hal, yakni mencintai dan
bekerja. Dua poin tersebut sesungguhnya merupakan pasangan kausalitas yang
saling memengaruhi satu sama lain. Ketika seorang perempuan memiliki orang
yang ia cintai, maka ia akan melakukan aktivitasnya dengan sungguh-sungguh.
Selain itu, ia memiliki harapan untuk mencapai prestasi dan membahagiakan
orang yang ia cintai.
Bermula dari inilah, anjuran
untuk kerja, kerja, dan kerja seharusnya berpulang pada motivasi untuk
berprestasi dan membahagiakan keluarga. Karena, keluarga adalah orang yang
paling berhak atas cinta dan kasih sayang. Hal ini menjadi ironis, ketika
ditemukan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh oknum PNS. Pada titik
itulah, salah kaprah anjuran kerja, kerja, dan kerja menjadi hal fatal yang
sangat memprihatinkan.
Keluarga Harmonis
Anjuran kerja
semestinya berangkat dari anjuran untuk mencintai dan mengasihi keluarga.
Sebab, keluarga ialah unit terkecil negara yang akan menentukan kualitas
bangsa. Jika perempuan yang bekerja mampu memberikan kasih sayang kepada
keluarga dan memberikan waktu terbaik, maka akan hadir perasaan puas dan
kemantapan diri. Hal ini berpengaruh pada ketenteraman lahir batin saat
bekerja. Muaranya, perempuan akan mudah untuk fokus dan melibatkan dirinya
secara penuh.
Dalam anjuran kerja yang sangat
ketat, perempuan seringkali mengalami tekanan. Pekerjaan rumah tangga yang
harus ia selesaikan sebelum masuk kantor bukanlah persoalan ringan. Dalam
posisi inilah, seringkali hubungan harmonis keluarga semakin terkikis.
Perempuan yang bekerja merasa dirinya terlalu banyak dibebani hal yang
memberatkan. Spontan, rasa marah dan jengkel pun meluap. Spintas, hal ini
tampak sepele dan wajar. Tapi, ternyata hal ini menimbulkan iklim psikologis
yang buruk di dalam keluarga. Anak-anak yang merasa ”disalahkan” meski tidak
melawan, nyatanya menyimpan perasaan kesal, dan tabungan kekesalan itu bisa
saja dilampiaskan di sekolah. Pelan tapi pasti, fenomena ini memberikan
kontribusi bagi peningkatan angka kenakalan remaja dewasa ini. Perempuan
ibarat sekolah.
Jika dirinya baik, maka akan
baik pula generasi di bawah asuhannya. Dengan demikian, perempuan yang
bekerja perlu menyadari akan hal ini. Kebersamaan dengan keluarga merupakan
energi yang seharusnya menjadi sumber penggerak motivasi pagi perempuan yang
memutuskan untuk terjun ke dunia kerja. Jika bekerja hanya sebagai pertaruhan
gengsi semata, perempuan berarti telah membuka pintu bagi karamnya
keharmonisan dalam keluarga.
Meski demikian, banyak sosok
wanita yang bekerja justru mengukir sejarah keluarga harmonis dengan sangat
kentara. Mereka yang bekerja dengan produktif, dan dapat berselaras dengan
ritme ”kerja, kerja, dan kerja” adalah perempuan-perempuan yang terlebih
dahulu mencintai dan mencurahkan waktu untuk keluarga. Sebab, jika dirinya
sudah sukses dalam menjalankan peran sebagai ibu, ia pun akan lebih mudah
untuk menjalankan peran sebagai pekerja. Tentunya, perempuan tersebut lebih
istimewa, sebab dalam kerangka aktivitas kerja, ia dilingkupi tradisi keibuan
dan feminisme, sehingga dirinya tidak hanya bekerja dengan sikap profesional
yang terjaga, tapi juga sikap-sikap terbaik yang menyejukkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar