Rabu, 19 November 2014

Kerja, Kerja, dan Kerja

Kerja, Kerja, dan Kerja

Nurul Lathifah  ; Ibu rumah tangga; Konsultan Psikologi LPPT Persona
SUARA MERDEKA, 18 November 2014

                                                                                                                       


Belakangan, ada kata yang sedang populer yang menandai loyalitas, yaitu ”kerja, kerja, dan kerja”. Pengulangan sebanyak tiga kali tersebut tidak berangkat dari ruang ide yang hampa. Berkelindan dengan pengalaman pada masa lalu, anjuran kerja sebanyak tiga kali bermakna anjuran untuk fokus bekerja, tak terkecuali bagi perempuan.

Praktis, kaum perempuan diberi harapan untuk sigap, profesional, dan memiliki progres yang signifikan dalam pekerjaannya. Kabar baiknya, produktivitas kerja memiliki kemungkinan untuk naik beberapa kali lipat. Hal ini kemudian memberikan kemanfaatan bagi publik sehingga kian dapat dilayani, dinaungi, dan difasilitasi. Kerja, kerja, dan kerja, seolah merepresentasikan budaya kerja yang selalu ingin menampilkan progresivitas.

Ini merupakan sebuah budaya kerja yang potensial untuk menghasilkan profesionalitas dalam makna yang sebenarnya. Meski demikian, secara fair akan tetap ada efek negatif dari seruan, ”kerja, kerja, dan kerja”, terutama bagi perempuan. Dalam perspektif humanis, perempuan dan laki-laki memiliki motivasi yang mendasari sikap dan tindakannya, sehingga, seruan kerja, kerja, dan kerja harus memiliki dasar motivasi yang kuat dan memberikan gairah dalam kehidupan.

Jika saja anjuran kerja tersebut disikapi secara datar tanpa bingkai makna, dapat saja kaum perempuan yang bekerja sebagai PNS mengalami perasaan tidak nyaman, atau bahkan tertekan. Pandangan psikologi pertumbuhan mengemukakan bahwa seseorang dapat mencapai kebahagiaan dengan memaknai aktivitasnya secara positif. Bahkan, aktivitas yang sangat payah nan melelahkan pun akan menjadi ringan dan membahagiakan ketika pelakunya mampu membingkai aktivitasnya dengan makna yang positif, baik, dan menggairahkan.

Fromm (1996) mengungkapkan bahwa manusia dapat menemukan kebahagiaan dengan dua hal, yakni mencintai dan bekerja. Dua poin tersebut sesungguhnya merupakan pasangan kausalitas yang saling memengaruhi satu sama lain. Ketika seorang perempuan memiliki orang yang ia cintai, maka ia akan melakukan aktivitasnya dengan sungguh-sungguh. Selain itu, ia memiliki harapan untuk mencapai prestasi dan membahagiakan orang yang ia cintai.

Bermula dari inilah, anjuran untuk kerja, kerja, dan kerja seharusnya berpulang pada motivasi untuk berprestasi dan membahagiakan keluarga. Karena, keluarga adalah orang yang paling berhak atas cinta dan kasih sayang. Hal ini menjadi ironis, ketika ditemukan kasus perselingkuhan yang dilakukan oleh oknum PNS. Pada titik itulah, salah kaprah anjuran kerja, kerja, dan kerja menjadi hal fatal yang sangat memprihatinkan.

Keluarga Harmonis 

Anjuran kerja semestinya berangkat dari anjuran untuk mencintai dan mengasihi keluarga. Sebab, keluarga ialah unit terkecil negara yang akan menentukan kualitas bangsa. Jika perempuan yang bekerja mampu memberikan kasih sayang kepada keluarga dan memberikan waktu terbaik, maka akan hadir perasaan puas dan kemantapan diri. Hal ini berpengaruh pada ketenteraman lahir batin saat bekerja. Muaranya, perempuan akan mudah untuk fokus dan melibatkan dirinya secara penuh.

Dalam anjuran kerja yang sangat ketat, perempuan seringkali mengalami tekanan. Pekerjaan rumah tangga yang harus ia selesaikan sebelum masuk kantor bukanlah persoalan ringan. Dalam posisi inilah, seringkali hubungan harmonis keluarga semakin terkikis. Perempuan yang bekerja merasa dirinya terlalu banyak dibebani hal yang memberatkan. Spontan, rasa marah dan jengkel pun meluap. Spintas, hal ini tampak sepele dan wajar. Tapi, ternyata hal ini menimbulkan iklim psikologis yang buruk di dalam keluarga. Anak-anak yang merasa ”disalahkan” meski tidak melawan, nyatanya menyimpan perasaan kesal, dan tabungan kekesalan itu bisa saja dilampiaskan di sekolah. Pelan tapi pasti, fenomena ini memberikan kontribusi bagi peningkatan angka kenakalan remaja dewasa ini. Perempuan ibarat sekolah.

Jika dirinya baik, maka akan baik pula generasi di bawah asuhannya. Dengan demikian, perempuan yang bekerja perlu menyadari akan hal ini. Kebersamaan dengan keluarga merupakan energi yang seharusnya menjadi sumber penggerak motivasi pagi perempuan yang memutuskan untuk terjun ke dunia kerja. Jika bekerja hanya sebagai pertaruhan gengsi semata, perempuan berarti telah membuka pintu bagi karamnya keharmonisan dalam keluarga.

Meski demikian, banyak sosok wanita yang bekerja justru mengukir sejarah keluarga harmonis dengan sangat kentara. Mereka yang bekerja dengan produktif, dan dapat berselaras dengan ritme ”kerja, kerja, dan kerja” adalah perempuan-perempuan yang terlebih dahulu mencintai dan mencurahkan waktu untuk keluarga. Sebab, jika dirinya sudah sukses dalam menjalankan peran sebagai ibu, ia pun akan lebih mudah untuk menjalankan peran sebagai pekerja. Tentunya, perempuan tersebut lebih istimewa, sebab dalam kerangka aktivitas kerja, ia dilingkupi tradisi keibuan dan feminisme, sehingga dirinya tidak hanya bekerja dengan sikap profesional yang terjaga, tapi juga sikap-sikap terbaik yang menyejukkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar