Tak
Cukup dengan Kerja Saja
Fadel Muhammad ; Ketua Komisi
XI DPR RI
|
KORAN
TEMPO, 18 November 2014
Pembentukan Kabinet Kerja
Jokowi-Jusuf Kalla layak diapresiasi. Segera setelah dilantik mulai berlari
kencang, dan dunia mengapresiasi langkah Jokowi. Tampak beberapa gebrakan dan
perdebatan, salah satunya tentang kenaikan harga BBM. Kerja keras dan cepat itu
penting dan bagus. Namun harus mempunyai sasaran. Parlemen
berkewajiban mengawal program pemerintah agar selain cepat, juga tepat
sasaran.
Berdasarkan pengamatan saya,
terdapat tiga program penting pemerintah dan parlemen yang harus menjadi
fokus untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia, yaitu pertama,
pengurangan kemiskinan; kedua, pengurangan ketimpangan; ketiga, perluasan
kesempatan kerja.
Program pemerintah tahun 2015
harus melaksanakan UU Nomor 27 Tahun 2014 tentang APBN 2015. Hal yang paling
berat adalah memenuhi amanat Pasal 32 dengan menciptakan program dan kegiatan
agar kemiskinan turun tinggal 9-10 persen, tingkat pengangguran menurun
menjadi sekitar 5,5-5,7 persen, pertumbuhan ekonomi setiap 1 persen harus
dapat menyerap sekitar 250 ribu tenaga kerja. Ketimpangan harus diturunkan.
Saat ini indeks gini nasional 0,413. Ini tentu bukan pekerjaan mudah. Ini
adalah pekerjaan besar yang membutuhkan sinergi antara pemerintah dan
parlemen.
Dalam sepuluh tahun terakhir,
terjadi transformasi ekonomi yang menuju ke arah melebarnya ketimpangan. Ini
konsekuensi terintegrasinya ekonomi Indonesia ke ekonomi global, terutama
pasar uang. Ekonom Prancis, Thomas Pikety, melalui serangkaian risetnya,
menjelaskan bahwa ketimpangan menjadi sesuatu yang tak terhindarkan karena
rate of return on capital jauh lebih besar daripada pertumbuhan ekonomi
sektor riil. Kebijakan liberalisasi yang dipaksakan oleh IMF telah menjadikan
sistem ekonomi kita menjadi sangat kapitalistis, maka tak terhindarkan
ketimpangan yang terus melebar.
Berdasarkan data BPS, indeks
gini meningkat sangat signifikan. Pada 2005, indeks masih di angka 0,363.
Pada 2013, naik menjadi 0,413. Ada delapan provinsi dengan indeks gini di
atas indeks gini nasional. Ini harus diatasi dengan memberikan peranan negara
secara terbatas.
Ketimpangan ini akan menjadi
lebih buruk jika kita tidak mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk.
Hampir dua pertiga provinsi memiliki tingkat pertumbuhan penduduk di atas
rata-rata nasional. Pertumbuhan penduduk nasional saat ini 1,49 persen.
Pengurangan kemiskinan terasa kurang signifikan. Lajunya relatif lambat. Pada
2004, penduduk miskin adalah 16,66 persen dari jumlah penduduk total. Pada
Maret 2013, persentase penduduk miskin turun menjadi 11.37 persen. Dalam
kurun sembilan tahun, kemiskinan hanya turun 5,29 persen atau rata-rata turun
0,59 persen per tahun.
Mesin penggerak ekonomi dan
pencipta lapangan kerja juga mengalami penurunan kinerja. Hal ini tampak pada
menurunnya kontribusi dua sektor ekonomi andalan, yaitu pertanian dan
manufaktur terhadap PDB. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB pada 2014
adalah 14,92 persen dan sektor manufaktur 28,37 persen. Sedangkan pada 2013,
kontribusi sektor pertanian terhadap PDB tinggal 12,27 persen. Untuk sektor manufaktur
kontribusinya tinggal 25,54 persen. Kedua sektor ini yang memiliki kemampuan
menampung tenaga kerja relatif tinggi, sangat berpengaruh terhadap penciptaan
dan perluasan lapangan kerja. Sedangkan kita masih menghadapi tingginya
tingkat pengangguran yang pada 2004 mencapai 9,86 persen dan pada 2013
sebesar 6,83 persen. Dengan kata lain, selama sepuluh tahun, tingkat
pengangguran hanya bisa diturunkan 2,03 persen.
Dengan demikian, agenda penting
yang harus dijalankan pemerintah adalah membuat perencanaan dan pembelanjaan
yang difokuskan pada tiga program utama, yaitu pengurangan kemiskinan,
pengurangan ketimpangan, serta perluasan kesempatan kerja dan berusaha.
Sementara DPR, khususnya Komisi
XI, akan menilai kembali (review)
undang-undang, apakah sudah sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, terutama
apakah sudah menjalankan amanat Pasal 33 dan 34 tentang perekonomian dan
kesejahteraan sosial. UU yang menjadi prioritas antara lain adalah UU
Perbankan dan UU Lalu Lintas Devisa. Kedua UU tersebut sangat liberal dan
kapitalistis. Kita pernah, saat mengalami krisis, dipaksa untuk meminta
bantuan kepada IMF dan lembaga internasional. Pertolongan itu menggerogoti
kemandirian kita. Karena itu, DPR akan proaktif dalam melakukan amendemen UU
agar, bersama pemerintah, Indonesia mampu menjalankan pogram (1) pemerataan,
(2) keadilan di bidang ekonomi bagi seluruh warga negara; serta (3) perluasan
kesempatan kerja dan berusaha.
DPR tentu sepakat dengan
pemerintah untuk mengambil langkah penghematan. Karena itu, DPR sebaiknya
membuat kebijakan anggaran yang mengedepankan segi efektivitas, efisiensi,
ekonomi, relevansi, dan produktivitas dengan mengacu pada financial governance. Untuk
melaksanakan hak konstitusinya, DPR sebaiknya mengawasi dengan menerapkan total quality control, agar apa yang
direncanakan dapat direalisasi secara terukur. Kerja keras dan cepat itu penting
dan harus dihargai, namun harus dengan program dan sasaran yang jelas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar