Sabtu, 15 November 2014

Tafsir Transformatif Blusukan

                                 Tafsir Transformatif Blusukan

Wawan Sobari  ;   Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya
KORAN TEMPO,  14 November 2014

                                                                                                                       


Pada awal era pemerintahan Kabinet Kerja, para menteri melakukan blusukan. Melalui kegiatan inspeksi mendadak, misalnya, para petinggi itu turun mendatangi warga di terminal, pelabuhan, pasar, bandara, rumah sakit, instansi pelayanan perizinan, pusat pelatihan olahraga, hingga tempat penampungan calon tenaga kerja migran.

Sejumlah kalangan mengkritik blusukan menteri sebagai upaya pencitraan. Blusukan dituding menjadi instrumen populis para pejabat publik agar mereka dipersepsikan sebagai sosok yang dekat dengan rakyat (populist appearance), lewat aktivitasnya mendatangi kantong-kantong warga.

Selain pengkritik, tak sedikit pula kalangan yang mengapresiasi blusukan sebagai metode sederhana guna mengontrol praktek-praktek diskresi birokrasi bawahan (street level bureaucracy). Para pejabat publik bisa mendengar keluhan dari masyarakat, sekaligus menyaksikan faktanya secara langsung.

Dalam konteks demokrasi, blusukan menjadi relevan saat sebuah rezim yang berkuasa mengklaim pemerintahannya demokratis. Praktek blusukan dinilai selaras dengan prinsip utama demokrasi, yakni kesetaraan (Somerville, 2011). Demokrasi menghendaki tak adanya perbedaan jarak antara pemimpin dan rakyat saat menentukan keputusan publik.

Ketika rakyat tampaknya mengadu kepada pejabat, sebenarnya mereka sedang menyampaikan haknya untuk mendapat perlakuan yang setara dalam segala aspek, misalnya hak sebagai seorang penumpang, pengungsi, pasien, calon TKI, pedagang, petani, nelayan, atau atlet. Dengan mengeluh, rakyat meminta agar setiap satu suaranya diperhitungkan dalam keputusan. Dengan kata lain, blusukan merupakan satu media untuk mengakomodasi dan mensintesis berbagai pandangan mengenai persoalan-persoalan publik.

Saat pemilu presiden 2014 lalu, blusukan menjadi salah satu instrumen populisme moderat yang konsisten dengan demokrasi. Blusukan, yang mempraktekkan interaksi sejajar lewat temu muka langsung antara kandidat dan rakyat, menjadi cara kampanye populer yang menawarkan gagasan dan solusi sederhana terhadap permasalahan warga. Secara tak langsung, warga menjadi sadar akan hak dan suara mereka dalam pemilu, yang bisa dikonversikan menjadi tuntutan dan kebutuhan.

Dalam praktek partisipasi, blusukan secara positif berguna untuk meminimalkan praktek-praktek tiran partisipasi instrumental. Misalnya, pelaksanaan partisipasi seremonial dalam kegiatan-kegiatan perencanaan pembangunan dari tingkat desa. Dalam prakteknya, musyawarah ternyata cenderung hanya menjadi forum curah aspirasi perwakilan warga yang hadir, tanpa ada jaminan diakomodasi saat pembahasan anggaran oleh pihak eksekutif dan legislatif. Karena itu, pertemuan-pertemuan seperti itu dapat lebih banyak menampung suara kalangan elite dan terpelajar ketimbang kebutuhan dan permintaan khalayak pada umumnya (elite capture).

Bertolak belakang dengan partisipasi instrumental, blusukan bisa bermakna transformatif bila memenuhi tiga kriteria partisipasi, sebagaimana dikatakan Chambers (1997). Hal itu adalah tidak membuat jarak dengan warga, menciptakan kesetaraan posisi, dan menanggalkan label keprofesionalan atau belajar dari warga saat berdialog dengan mereka. Bila sudah dijalankan, blusukan transformatif akan menjadi masukan berharga dan meningkatkan kualitas keputusan-keputusan pemerintah.

Pun, dalam praktek-praktek perencanaan partisipatoris, blusukan sebenarnya merupakan insentif positif bagi warga untuk terlibat karena para elite mau berinteraksi secara langsung. Dalam bahasa Jawa dikenal ungkapan diwongke atau diorangkan, yang bermakna penghargaan atau memberi perhatian. Warga terdorong untuk terlibat dan berkontribusi karena merasa suaranya direken atau didengar dan dipertimbangkan oleh para petinggi.

Untuk itu, blusukan akan berkontribusi dalam mendorong kebijakan pembangunan yang lebih akomodatif, karena mampu membuka akses yang setara kepada setiap warga, terutama untuk kaum minoritas dan marginal. Selain itu, blusukan bisa mendorong keaktifan warga untuk terlibat, termasuk kalangan swasta. Bahkan, tak mustahil hal ini akan memunculkan jejaring yang mempersatukan para warga yang secara sukarela mendedikasikan sebagian waktu dan keahliannya untuk kemanfaatan publik.

Namun perlu pula diingat bahwa partisipasi transformatif ala blusukan bisa berpotensi tiran bila hanya mengandalkan keluhan atau aspirasi warga secara parsial. Di sinilah letak pentingnya dukungan data-data makro-sosial-ekonomi masyarakat seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik. Untuk memperbanyak jalur partisipasi, warga bisa pula memanfaatkan laman LAPOR yang dikelola UKP4 untuk menyampaikan pengaduan soal pelayanan dan pembangunan.

Terakhir, guna melembagakan blusukan perlu dilakukan kajian mengenai posisi dan kemungkinan penggunaanya dalam sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah sesuai dengan UU 25/2004. Tujuannya adalah agar blusukan tak sekadar menjadi aksi-aksi sporadis dan kerap dituding bermotif pencitraan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar