Tafsir
Transformatif Blusukan
Wawan Sobari ; Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya
|
KORAN
TEMPO, 14 November 2014
Pada awal era pemerintahan Kabinet Kerja, para menteri melakukan
blusukan. Melalui kegiatan inspeksi mendadak, misalnya, para petinggi itu
turun mendatangi warga di terminal, pelabuhan, pasar, bandara, rumah sakit,
instansi pelayanan perizinan, pusat pelatihan olahraga, hingga tempat
penampungan calon tenaga kerja migran.
Sejumlah kalangan mengkritik blusukan menteri sebagai upaya pencitraan.
Blusukan dituding menjadi instrumen populis para pejabat publik agar mereka
dipersepsikan sebagai sosok yang dekat dengan rakyat (populist appearance), lewat aktivitasnya mendatangi
kantong-kantong warga.
Selain pengkritik, tak sedikit pula kalangan yang mengapresiasi
blusukan sebagai metode sederhana guna mengontrol praktek-praktek diskresi
birokrasi bawahan (street level
bureaucracy). Para pejabat publik bisa mendengar keluhan dari masyarakat,
sekaligus menyaksikan faktanya secara langsung.
Dalam konteks demokrasi, blusukan menjadi relevan saat sebuah rezim
yang berkuasa mengklaim pemerintahannya demokratis. Praktek blusukan dinilai
selaras dengan prinsip utama demokrasi, yakni kesetaraan (Somerville, 2011). Demokrasi
menghendaki tak adanya perbedaan jarak antara pemimpin dan rakyat saat
menentukan keputusan publik.
Ketika rakyat tampaknya mengadu kepada pejabat, sebenarnya mereka
sedang menyampaikan haknya untuk mendapat perlakuan yang setara dalam segala
aspek, misalnya hak sebagai seorang penumpang, pengungsi, pasien, calon TKI,
pedagang, petani, nelayan, atau atlet. Dengan mengeluh, rakyat meminta agar
setiap satu suaranya diperhitungkan dalam keputusan. Dengan kata lain,
blusukan merupakan satu media untuk mengakomodasi dan mensintesis berbagai
pandangan mengenai persoalan-persoalan publik.
Saat pemilu presiden 2014 lalu, blusukan menjadi salah satu instrumen
populisme moderat yang konsisten dengan demokrasi. Blusukan, yang
mempraktekkan interaksi sejajar lewat temu muka langsung antara kandidat dan
rakyat, menjadi cara kampanye populer yang menawarkan gagasan dan solusi
sederhana terhadap permasalahan warga. Secara tak langsung, warga menjadi
sadar akan hak dan suara mereka dalam pemilu, yang bisa dikonversikan menjadi
tuntutan dan kebutuhan.
Dalam praktek partisipasi, blusukan secara positif berguna untuk
meminimalkan praktek-praktek tiran partisipasi instrumental. Misalnya,
pelaksanaan partisipasi seremonial dalam kegiatan-kegiatan perencanaan
pembangunan dari tingkat desa. Dalam prakteknya, musyawarah ternyata
cenderung hanya menjadi forum curah aspirasi perwakilan warga yang hadir,
tanpa ada jaminan diakomodasi saat pembahasan anggaran oleh pihak eksekutif
dan legislatif. Karena itu, pertemuan-pertemuan seperti itu dapat lebih
banyak menampung suara kalangan elite dan terpelajar ketimbang kebutuhan dan
permintaan khalayak pada umumnya (elite
capture).
Bertolak belakang dengan partisipasi instrumental, blusukan bisa
bermakna transformatif bila memenuhi tiga kriteria partisipasi, sebagaimana
dikatakan Chambers (1997). Hal itu adalah tidak membuat jarak dengan warga,
menciptakan kesetaraan posisi, dan menanggalkan label keprofesionalan atau
belajar dari warga saat berdialog dengan mereka. Bila sudah dijalankan,
blusukan transformatif akan menjadi masukan berharga dan meningkatkan
kualitas keputusan-keputusan pemerintah.
Pun, dalam praktek-praktek perencanaan partisipatoris, blusukan
sebenarnya merupakan insentif positif bagi warga untuk terlibat karena para
elite mau berinteraksi secara langsung. Dalam bahasa Jawa dikenal ungkapan diwongke atau diorangkan, yang
bermakna penghargaan atau memberi perhatian. Warga terdorong untuk terlibat
dan berkontribusi karena merasa suaranya direken atau didengar dan
dipertimbangkan oleh para petinggi.
Untuk itu, blusukan akan berkontribusi dalam mendorong kebijakan
pembangunan yang lebih akomodatif, karena mampu membuka akses yang setara
kepada setiap warga, terutama untuk kaum minoritas dan marginal. Selain itu,
blusukan bisa mendorong keaktifan warga untuk terlibat, termasuk kalangan
swasta. Bahkan, tak mustahil hal ini akan memunculkan jejaring yang
mempersatukan para warga yang secara sukarela mendedikasikan sebagian waktu
dan keahliannya untuk kemanfaatan publik.
Namun perlu pula diingat bahwa partisipasi transformatif ala blusukan
bisa berpotensi tiran bila hanya mengandalkan keluhan atau aspirasi warga
secara parsial. Di sinilah letak pentingnya dukungan data-data
makro-sosial-ekonomi masyarakat seperti yang dirilis Badan Pusat Statistik.
Untuk memperbanyak jalur partisipasi, warga bisa pula memanfaatkan laman
LAPOR yang dikelola UKP4 untuk menyampaikan pengaduan soal pelayanan dan
pembangunan.
Terakhir, guna melembagakan blusukan perlu dilakukan kajian mengenai
posisi dan kemungkinan penggunaanya dalam sistem perencanaan pembangunan
nasional dan daerah sesuai dengan UU 25/2004. Tujuannya adalah agar blusukan
tak sekadar menjadi aksi-aksi sporadis dan kerap dituding bermotif
pencitraan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar