Korupsi
dan Politik
Ahmad Taufik ; Dosen STIKOM Bandung, Mantan Kandidat Komisioner KPK
2014
|
KORAN
TEMPO, 14 November 2014
Seorang anggota DPR dari sebuah partai besar memiliki sebidang tanah
yang luas di sebuah tempat di Jawa Timur. Dia memang dikenal sebagai seorang
pengusaha real estate. Di tengah tanahnya ada sebuah jalan kampung kecil.
Sebagai seorang anggota DPR, dia mengusulkan anggaran pembangunan
infrastruktur jalan itu atas nama kepentingan publik. Kemudian, anggaran
sebesar Rp 120 miliar disetujui panitia anggaran DPR.
Akibat persetujuan itu, setidaknya ada dua keuntungan yang diperoleh
anggota DPR dan pengusaha real estate yang memiliki lahan itu. Pertama, dia
memperoleh akses jalan tanpa perlu membangunnya sendiri sebagai pengusaha
real estate. Kedua, harga tanah miliknya melambung sekian kali lipat karena
adanya akses jalan di atas lahan miliknya.
Bisa dibayangkan, hal seperti itu bukan hanya satu, melainkan banyak
peristiwa. Hal ini tak terjangkau petugas pemberantasan korupsi. Smooth legal corruption, korupsi resmi
yang dilakukan secara perlahan-lahan berbalut anggaran untuk kepentingan
publik, tapi sesungguhnya memuat kepentingan pribadi untuk menangguk keuntungan.
Dimulai dari perencanaan, sampai pelaksanaannya, korupsi di sini tak terendus
petugas pemberantas korupsi.
Korupsi dan politik memang berhubungan erat. Contoh tersebut hanyalah
sebagian kecil dari korupsi yang berhubungan dengan (proses) politik. Tak
mengherankan jika ada yang menawarkan rumusan korupsi politik atau political corruption. Menurut Ketua
Muda Pidana Mahkamah Agung, hakim Artidjo Alkostar, political corruption atau korupsi politik adalah kejahatan yang
dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan politik (Alkostar, 2009).
Robert G. Thobaben, dalam buku Issues
in American Political Life (2005), menyatakan secara sempit korupsi
politik mengacu pada tindakan pejabat publik yang tidak jujur dan ilegal,
antara lain menerima suap. Dalam arti luas, korupsi dapat mencakup tindakan
pejabat publik yang tidak ilegal, tapi terjadi secara integral dalam sistem
pemerintahan yang demokratis. Sebagai contoh, pejabat terpilih menerima
sumbangan kampanye besar dari individu kaya atau menerima honor saat memberi
pidato atau kuliah umum untuk kelompok kepentingan.
Korupsi politik yang dikemukakan Thobaben tersebut memuat elemen pokok
bahwa pelaku perbuatan yang tidak jujur dan melawan hukum adalah pemegang
kekuasaan politik atau pejabat publik. Korupsi politik merupakan spesies dari
genus korupsi yang umum. Lebih tinggi lagi, korupsi politik ada yang disebut top hat crime, korupsi politik yang
dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan politik tertinggi, seperti
presiden, kepala negara, ketua atau anggota parlemen, dan pejabat tinggi
pemerintahan. Korupsi politik memiliki dampak merusak yang lebih dahsyat
dibanding korupsi biasa.
Para pelaku korupsi politik, yang mempunyai kekuasaan politik dengan
segala kewenangan, kesempatan, dan sarana dapat memperlancar dan memiliki
modus operandi dalam memperkaya atau menguntungkan diri sendiri, orang lain,
atau korporasi. Yang dirisaukan banyak orang, pemegang kekuasaan politik itu
bisa mengubah aturan untuk melemahkan upaya pemberantasan/penindakan korupsi.
Misalnya, dalam UU MD3 atau rencana revisi UU KPK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar