Sabtu, 15 November 2014

Membarui Mentalitas Hakim

                                    Membarui Mentalitas Hakim

Achmad Fauzi  ;   Hakim Pengadilan  Agama Tarakan, Kalimantan Utara
KORAN JAKARTA,  14 November 2014

                                                                                                                       


Hukum belum berdaulat. Mentalitas hukum  yang menindas kaum  lemah dan mengimpunitas kelompok elite saatnya  diubah. Caranya, segenap penegak hukum serentak mengubah paradigma diskriminatif dan parsial ke egaliter imparsial. Suksesi harus dimanfaatkan sebagai  momentum perbaikan mental hakim  dari pemeras ke pelaksana keadilan.

Memang, alur kerangka berpikir sangat memengaruhi mentalitas yang  akan melahirkan kultur. Jika paradigma  hukum masih terkontaminasi doktrin  kolonial, sampai kapan pun rakyat jelata selalu menjadi jajahan, sedangkan  kaum borjuis menikmati hak istimewa. Maka, pembaruan mindsetcara memperlakukan warga  negara setara (equality)  sangat  urgen agar daulat hukum berdiri secara imparsial atau independen.  Revolusi mental struktur hukum saat ini mendesak dilakukan.

Selain itu, substansi dan  budaya hukum perlu dibenahi.  Argumen ini berangkat dari tesis Lord Denning bahwa betapa  pun buruknya substansi hukum,  jika revolusi mental hakim berjalan baik, keadilan akan tegak.  Jadi, kunci utama keberhasilan  penegakan hukum terletak  pada keparipurnaan mentalitas  aparatnya.  Hakim, misalnya, harus bermental juang tinggi menegakkan  keadilan. Kendati langit runtuh,  demikian bunyi pameo hukum,  hakim dituntut tetap berdiri tak  tergoyahkan menjalankan tugas  penegak hukum.

Dia harus independen dan menanggalkan  segala bentuk intervensi yang  merongrong kemerdekaannya. Pada dimensi inilah hakim acap  menghadapi musuh terbesar dari dalam  diri, seperti kemaruk, parsial, pamrih,  dan menghamba pada kemilau dunia.  Hakim yang korup, jual beli perkara, dan  melanggar etik karena gagal membunuh  musuh terbesar yang bersemayam dalam  dirinya. Dia gagal merevolusi mental. Penurunan kualitas moral tersebut  tak bisa diselesaikan sekadar menjatuhkan sanksi tegas.

Naik-turunnya bandul  hukuman disiplin setiap tahun tak bisa  menjadi satu-satunya parameter menentukan integritas hakim secara keseluruhan. Sebab, lembaga pengawas  seperti Komisi Yudisial maupun Badan  Pengawasan MA bukan malaikat yang  mampu mendeteksi secara akurat satu  per satu sepak terjang hakim.  Kegiatan keagamaan di kantor pengadilan bagus, namun tidak cukup. Harus ada kemauan yang kuat dari dalam  diri hakim untuk mengubah perilaku. 

Mentalitasnya bisa diperbaiki  bila hormat pada nilai-nilai  spiritualitas sehingga merasuk  ke kepribadiannya. Kepeloporan hakim teladan (role model)  di setiap kantor juga baik agar  para penegak hukum memunyai  sosok yang bisa dicontoh.  Di samping itu, mencari hakim masa  mendatang jangan sekadar mengunggulkan keterampilan dalam menerapkan hukum yang bertumpu pada kemampuan intelektualitas. Perlu juga  keseimbangan ketajaman nurani yang  bersumber dari kesadaran moral dan  dedikasi tinggi terhadap keadilan.

Syarat “bertakwa pada Tuhan Yang Maha  Esa” harus didefinisikan lebih terperinci  untuk menjamin bahwa hakim yang diangkat benar-benar memiliki kualitas  kepribadian dan mental sangat baik.  Hukum tak boleh pandang bulu. Elite  kekuasaan dan kaum jelata berkedudukan sama. Pelanggaran etik dan pidana  oleh hakim tentu menjadi ironi karena  menghambat kedaulatan hukum. Padahal, negara telah memberi perhatian  khusus dengan menjamin kesejahteraannya.

Bahkan, negara telah menghargai terbaik kepada seluruh aparat peradilan agar dalam bekeja tidak tergiur  nafsu duniawi yang mengganggu penegakan hukum.  Dalam penaikan gaji, terselip sejuta  harapan dari seluruh masyarakat yang  perlu diresapi. Hakim adalah penjaga  benteng terakhir penegakan hukum  yang diharapkan memiliki perhatian  terhadap ancaman utama bernegara seperti korupsi dan narkotika.  Keberpihakan hakim pada penyelamatan uang negara maupun kondisi keterpurukan sendi bernegara akibat korupsi sangat dibutuhkan karena  pengadilan menjadi tumpuan terakhir  pemberantasan korupsi.

Para koruptor  yang terbukti memperkaya diri dengan  merugikan negara harus divonis berat  agar jera. Pengawasan terhadap hakim  tipikor juga perlu ditingkatkan karena di  daerah banyak tertangkap KPK. Mereka  terlibat mafia peradilan. Soal pencabutan hak politik sebagai  pidana tambahan, hakim tipikor juga  perlu memiliki persepsi selaras. Selama  ini, hakim berpendapat sebagai perwujudan demokrasi, masyarakat diberi keleluasaan menyeleksi sendiri kelayakan seseorang menduduki jabatan publik. 

Namun, jika mengamati konstelasi  politik mutakhir, ketika masih ada beberapa koruptor memiliki akses menduduki jabatan politik, sudah menjadi  keharusan hukum untuk mencabut hak  politiknya agar negeri ini tidak diurus  segerombolan mafia. Ada 48 anggota legislatif terpilih periode 2014–2019 yang  gagal dilantik karena tersangkut korupsi.  Bahkan, jika merujuk pada data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban  Tindak Kekerasan (Kontras), dari 560  anggota DPR, 242 di antaranya memiliki  rekam jejak buruk. Fakta ini menunjukkan bahwa bersemainya panji-panji koruptor di lembaga pemerintahan masih sangat mengancam. Narkoba Kejahatan narkoba juga harus menjadi perhatian hakim  karena dampaknya tak kalah  mengerikan.

Penyakit ini menyasar kalangan remaja yang  notabene generasi produktif. Pada tahun 2013, misalnya,  jumlah pengguna narkotika,  psikotropika, dan zat adiktif di  kalangan remaja diperkirakan  mencapai 5 juta orang (2,8  persen dari jumlah penduduk). Celakanya, penyelundupan narkoba dari luar  masih marak.  Badan Narkotika Nasional baru saja mengamankan  anggota jaringan pengedar narkoba di Tanjung Balai, Sumatra  Utara. Mereka menyita 6 kilogram  sabu-sabu yang transaksinya di  tengah laut.

Pintu masuk narkoba  kerap terjadi di perbatasan, termasuk daerah Sebatik dan Nunukan. Langkah-langkah penegakan  hukum secara tegas dalam upaya  memerangi tindak pidana narkoba sangat mendesak. Vonis ringan  terhadap gembong narkoba selayaknya  segera dievaluasi. Pemerintah telah memberi pandangan umum dalam forum Pertemuan Tingkat Tinggi Sesi ke-57 Komisi  Antinarkoba (Commission on Narcotics Drugs-CND) di Wina, Austria (14/3).

 Delegasi Indonesia memaparkan bahwa  tantangan yang dihadapi bangsa-bangsa  semakin berat, khususnya terkait pengawasan produsen dan penyelundupan  obat-obatan terlarang, termasuk langkah-langkah penegakan hukum secara  tegas kepada para pelaku.  Karena itu, saatnya hakim melakukan langkah-langkah besar mendukung  terciptanya kedaulatan hukum agar hukum bisa diandalkan untuk menyelesaikan persoalan pelik bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar