Membarui
Mentalitas Hakim
Achmad Fauzi ; Hakim Pengadilan
Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
KORAN
JAKARTA, 14 November 2014
Hukum belum berdaulat. Mentalitas hukum
yang menindas kaum lemah dan
mengimpunitas kelompok elite saatnya
diubah. Caranya, segenap penegak hukum serentak mengubah paradigma
diskriminatif dan parsial ke egaliter imparsial. Suksesi harus dimanfaatkan
sebagai momentum perbaikan mental
hakim dari pemeras ke pelaksana
keadilan.
Memang, alur kerangka berpikir sangat memengaruhi mentalitas yang akan melahirkan kultur. Jika paradigma hukum masih terkontaminasi doktrin kolonial, sampai kapan pun rakyat jelata
selalu menjadi jajahan, sedangkan kaum
borjuis menikmati hak istimewa. Maka, pembaruan mindsetcara memperlakukan
warga negara setara (equality) sangat
urgen agar daulat hukum berdiri secara imparsial atau independen. Revolusi mental struktur hukum saat ini
mendesak dilakukan.
Selain itu, substansi dan budaya
hukum perlu dibenahi. Argumen ini
berangkat dari tesis Lord Denning bahwa betapa pun buruknya substansi hukum, jika revolusi mental hakim berjalan baik,
keadilan akan tegak. Jadi, kunci utama
keberhasilan penegakan hukum terletak pada keparipurnaan mentalitas aparatnya.
Hakim, misalnya, harus bermental juang tinggi menegakkan keadilan. Kendati langit runtuh, demikian bunyi pameo hukum, hakim dituntut tetap berdiri tak tergoyahkan menjalankan tugas penegak hukum.
Dia harus independen dan menanggalkan
segala bentuk intervensi yang
merongrong kemerdekaannya. Pada dimensi inilah hakim acap menghadapi musuh terbesar dari dalam diri, seperti kemaruk, parsial,
pamrih, dan menghamba pada kemilau
dunia. Hakim yang korup, jual beli
perkara, dan melanggar etik karena
gagal membunuh musuh terbesar yang
bersemayam dalam dirinya. Dia gagal
merevolusi mental. Penurunan kualitas moral tersebut tak bisa diselesaikan sekadar menjatuhkan
sanksi tegas.
Naik-turunnya bandul hukuman
disiplin setiap tahun tak bisa menjadi
satu-satunya parameter menentukan integritas hakim secara keseluruhan. Sebab,
lembaga pengawas seperti Komisi
Yudisial maupun Badan Pengawasan MA
bukan malaikat yang mampu mendeteksi
secara akurat satu per satu sepak
terjang hakim. Kegiatan keagamaan di
kantor pengadilan bagus, namun tidak cukup. Harus ada kemauan yang kuat dari
dalam diri hakim untuk mengubah
perilaku.
Mentalitasnya bisa diperbaiki
bila hormat pada nilai-nilai
spiritualitas sehingga merasuk
ke kepribadiannya. Kepeloporan hakim teladan (role model) di setiap
kantor juga baik agar para penegak
hukum memunyai sosok yang bisa
dicontoh. Di samping itu, mencari
hakim masa mendatang jangan sekadar
mengunggulkan keterampilan dalam menerapkan hukum yang bertumpu pada
kemampuan intelektualitas. Perlu juga
keseimbangan ketajaman nurani yang
bersumber dari kesadaran moral dan
dedikasi tinggi terhadap keadilan.
Syarat “bertakwa pada Tuhan Yang Maha
Esa” harus didefinisikan lebih terperinci untuk menjamin bahwa hakim yang diangkat
benar-benar memiliki kualitas
kepribadian dan mental sangat baik.
Hukum tak boleh pandang bulu. Elite
kekuasaan dan kaum jelata berkedudukan sama. Pelanggaran etik dan
pidana oleh hakim tentu menjadi ironi
karena menghambat kedaulatan hukum.
Padahal, negara telah memberi perhatian
khusus dengan menjamin kesejahteraannya.
Bahkan, negara telah menghargai terbaik kepada seluruh aparat peradilan
agar dalam bekeja tidak tergiur nafsu
duniawi yang mengganggu penegakan hukum.
Dalam penaikan gaji, terselip sejuta
harapan dari seluruh masyarakat yang
perlu diresapi. Hakim adalah penjaga
benteng terakhir penegakan hukum
yang diharapkan memiliki perhatian
terhadap ancaman utama bernegara seperti korupsi dan narkotika. Keberpihakan hakim pada penyelamatan uang
negara maupun kondisi keterpurukan sendi bernegara akibat korupsi sangat
dibutuhkan karena pengadilan menjadi
tumpuan terakhir pemberantasan
korupsi.
Para koruptor yang terbukti
memperkaya diri dengan merugikan
negara harus divonis berat agar jera.
Pengawasan terhadap hakim tipikor juga
perlu ditingkatkan karena di daerah
banyak tertangkap KPK. Mereka terlibat
mafia peradilan. Soal pencabutan hak politik sebagai pidana tambahan, hakim tipikor juga perlu memiliki persepsi selaras.
Selama ini, hakim berpendapat sebagai
perwujudan demokrasi, masyarakat diberi keleluasaan menyeleksi sendiri
kelayakan seseorang menduduki jabatan publik.
Namun, jika mengamati konstelasi
politik mutakhir, ketika masih ada beberapa koruptor memiliki akses
menduduki jabatan politik, sudah menjadi
keharusan hukum untuk mencabut hak
politiknya agar negeri ini tidak diurus segerombolan mafia. Ada 48 anggota legislatif
terpilih periode 2014–2019 yang gagal
dilantik karena tersangkut korupsi.
Bahkan, jika merujuk pada data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), dari 560 anggota DPR, 242 di antaranya memiliki rekam jejak buruk. Fakta ini menunjukkan
bahwa bersemainya panji-panji koruptor di lembaga pemerintahan masih sangat
mengancam. Narkoba Kejahatan narkoba juga harus menjadi perhatian hakim karena dampaknya tak kalah mengerikan.
Penyakit ini menyasar kalangan remaja yang notabene generasi produktif. Pada tahun
2013, misalnya, jumlah pengguna
narkotika, psikotropika, dan zat
adiktif di kalangan remaja diperkirakan mencapai 5 juta orang (2,8 persen dari jumlah penduduk). Celakanya,
penyelundupan narkoba dari luar masih
marak. Badan Narkotika Nasional baru
saja mengamankan anggota jaringan
pengedar narkoba di Tanjung Balai, Sumatra
Utara. Mereka menyita 6 kilogram
sabu-sabu yang transaksinya di
tengah laut.
Pintu masuk narkoba kerap
terjadi di perbatasan, termasuk daerah Sebatik dan Nunukan. Langkah-langkah
penegakan hukum secara tegas dalam
upaya memerangi tindak pidana narkoba
sangat mendesak. Vonis ringan terhadap
gembong narkoba selayaknya segera
dievaluasi. Pemerintah telah memberi pandangan umum dalam forum Pertemuan
Tingkat Tinggi Sesi ke-57 Komisi
Antinarkoba (Commission on
Narcotics Drugs-CND) di Wina, Austria (14/3).
Delegasi Indonesia memaparkan
bahwa tantangan yang dihadapi
bangsa-bangsa semakin berat, khususnya
terkait pengawasan produsen dan penyelundupan
obat-obatan terlarang, termasuk langkah-langkah penegakan hukum
secara tegas kepada para pelaku. Karena itu, saatnya hakim melakukan
langkah-langkah besar mendukung
terciptanya kedaulatan hukum agar hukum bisa diandalkan untuk
menyelesaikan persoalan pelik bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar