Sulitnya
Mencari dan Menemukan Guru Bangsa
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Oktober 2014
“I am a teacher who favors the permanent struggle against every
form of bigotry and against the economic domination of individuals and social
classes.I am a teacher who rejects the present system of capitalism,
responsible for the aberration of misery in the midst of plenty. I am a
teacher full of the spirit of hope, in spite of all the signs to the
contrary.“(Paulo Freire: Pedagogy of Freedom, 1998)
KUTIPAN dari Freire di atas
seolah mene gaskan posisi guru itu teramat penting secara spiritual, tidak
hanya terbatas pada ruang kelas.Guru dalam pandangan Freire harus memiliki
kepekaan yang luar biasa terhadap tatanan sosial sehingga dia bisa
membebaskan para siswanya dari pandangan yang sempit dan gelap. Kata guru
juga seolah ingin menegaskan arti sesungguhnya tentang keteladanan dan
keikhlasan, sesuatu yang sangat sumir dan hampir tak terlihat dari perilaku
para tokoh bangsa akhir-akhir ini.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, guru memang diartikan dengan
beragam makna, dari yang sempit hingga luas.Secara sempit, guru ialah
seseorang yang berprofesi mengajar. Jika mengajar dimaknai secara luas, makna
`guru' juga dapat disimpulkan memiliki arti seseorang atau sesuatu yang
dijadikan pedoman. Tampaknya `guru bangsa' mengacu kepada makna tersebut,
yaitu seseorang yang bisa dijadikan pedoman atau teladan dalam hidup
berbangsa. Pertanyaannya, siapa sosok yang patut kita jadikan guru bangsa
saat ini jika kita tak menemukan keteladanan di dalamnya?
Para penguasa bangsa hari ini
ialah para politikus yang berasal dari beragam partai politik yang jauh dari
menunjukkan keteladanan dalam kehidupan berbangsa. Mereka seolah tak memiliki
padanan moral ketika secara kasatmata rela mempertontonkan kerasukan dalam
mengejar kekuasaan. Jelas sekali para siswa kita sedang memperoleh
keteladanan yang buruk dari para politikus tentang makna kekuasaan yang
mengedepankan nilai-nilai keserakahan dan dendam.
Jika kita masih memercayai
makna guru sebagai sesuatu yang sangat mulia, kebutuhan untuk menemukan sosok
guru bangsa ialah imperatif. Guru bangsa yang kita maksudkan tentunya tak
terlepas dari makna yang mulia, yaitu yang mampu memberi teladan pada
kebaikan akan hajat hidup orang banyak. Guru bangsa yang kita idamkan hari
ini ialah orang dengan kemampuan spiritual luar biasa yang dapat memberikan
harapan akan kehidupan yang lebih baik dan mengantarkan orang lain menuju
kesuksesan secara duniawi dan ukhrowi.
Sulitnya menemukan guru bangsa
juga berkorelasi positif terhadap proses pendidikan yang sudah kita lalui
selama lebih kurang empat dekade. Saya curiga jangan-jangan tujuan pendidikan
kita selama ini menjadi salah satu alasan sulitnya menemukan orang yang
memiliki jiwa keteladanan yang luar biasa. Jika kita survei secara kasar,
hampir setiap siswa yang ditanya soal kesuksesan selalu mengatakan hal-hal
yang bersifat kebendaan. Hal itu tak aneh karena sistem pendidikan di negara
kita terlalu berorientasi kepada hasil yang bersifat fisik. Ijazah atau
kelulusan, kesempatan dalam bekerja, memperoleh kedudukan, ialah di antara
fakta-fakta yang ada di sebagian besar kepala siswa kita.
Pendidikan yang berorientasi
pada hasil hampir dapat dipastikan akan menciptakan manusia-manusia yang
pasif dan kering secara spiritual. Mereka bisa memperoleh kesuksesan, tetapi
sangat boleh jadi tak memperoleh kebahagiaan secara hakiki. Kebahagiaan
hakiki hanya akan diperoleh setiap anak jika proses belajarmengajar dimaknai
dan dijalankan sebagai eksplorasi atas nilai-nilai kehidupan yang mulia.
Dengan mengikuti logika Maslow,
pendidikan yang berorientasi kepada hasil sesungguhnya hanya akan memperoleh
kepuasan tingkat fisiologis semata, tetapi akan sulit untuk memperoleh kasih
sayang dan rasa memiliki yang tinggi terhadap kehidupan ini. Penghargaan yang
tinggi terhadap kehidupan hanya bisa diperoleh dengan memberikan siswa
sebanyak mungkin pengalaman berinteraksi secara langsung kepada lingkungan
sosial tempat mereka berada.
Menurut teori fisiologi, semua
tindakan manusia itu berasal dari usaha yang memenuhi kepuasan dan kebutuhan
organik atau kebutuhan fisik semata. Padahal, kebutuhan siswa tak hanya soal
materi semata, tetapi juga berkaitan dengan pengembangan rasa yang sangat
bersifat personal. Proses pendidikan kita yang terlalu menekankan
perkembangan kognitif jelas berbuah panjang hingga saat ini. Orientasi kepada
hasil yang ditandai dengan nilai ujian seakan harga mati dan selalu tak
berbanding lurus dengan pengembangan kapasitas emosi siswa. Akibatnya
anak-anak memiliki bias pikir dan bias rasa yang tak seimbang, dan itu
menyebabkan perilaku aneh dan menyimpang kerap kita temukan di kalangan
anakanak sekolah, seperti kasus kekerasan.
Ketidakseimbangan
Proses pendidikan yang tak
seimbang antara pikir dan rasa inilah salah satu ujung petaka kemanusiaan di
Indonesia.Adagium tradisi dan budaya yang kerap menyebut masyarakat Indonesia
hidup hormat-menghormati seakan pupus oleh begitu banyaknya penyimpangan
perilaku tak berke adaban seperti tawuran, dan yang lebih parah dinodai pula
dengan prasangka atas nama agama dan suku bangsa.
Jelas sistem pendidikan kita
memerlukan road-map baru dalam
menggagas tema karakter santun, ramah, dan saling menghargai. Mungkin baik
untuk menimbang komposisi kurikulum pendidikan kita yang lebih berorientasi
kognitif ke arah yang ramah afektif dan psikomotorik. Dalam praktiknya,
antara mata ajar sains, sosial sains, humaniora, dan seni-budaya harus
proporsional diajarkan, baik dari aspek durasi maupun substansi. Kurangnya
mata ajar humaniora dan seni-budaya di sekolah, menurut beberapa temuan
riset, rentan menjadikan anakanak berperilaku menyimpang di tengah
masyarakat.
Profesor Antonio Damasio (2006)
menyebutkan hari ini pada sistem pendidikan hampir di seluruh belahan dunia
tumbuh pembedaan yang sangat signifikan antara proses pembelajaran yang
berorientasi kognitif dan emosional. Penyelaman empati dan rasa tak
memperoleh porsi yang jelas dalam struktur pendidikan kita sehingga anak-anak
kita cenderung dididik untuk menjadi semacam robot yang minim rasa. Dalam
pandangan Damasio, durasi dan substansi pendidikan seni-budaya dan humaniora
seharusnya diseimbangkan untuk dan dalam rangka menumbuhkan elan vital
kemanusiaan manusia, yaitu emosi dan spiritualitas yang menyatu dalam pikir
dan perilaku. Minimnya durasi dan substansi proses pembelajaran yang mengasah
rasa inilah yang salah satunya menyebabkan menurunnya moralitas masyarakat
modern.
Menyeimbangkan pikir dan rasa
dalam praktik pasti akan menumbuhkan sifat menghargai satu dengan yang lain,
dan kondisi itu sejalan dengan fakta betapa majemuknya masyarakat Indonesia.
Hans-Peter Becker dalam Unleash
the Secret of Education and Learn How to Raise a Happy Child (2012)
menemukan hal menarik bagaimana kita dapat menuntut anak meraih kesuksesan
secara seimbang, baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Caranya, biarkan anak
belajar sambil mendengarkan musik atau jadikan aktivitas menyanyi menjadi
bagian tak terpisahkan dari proses belajar-mengajar yang terjadi setiap hari,
baik di ruang kelas, sekolah, rumah, atau di mana saja ketika anak ingin
belajar.Kombinasi pikir dan rasa yang efektif akan melahirkan arti dan nilai
(meaning and value) yang
berkelanjutan dalam perilaku siswa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar