Sabtu, 01 November 2014

Ekspektasi Terlanjur (Terlalu) Tinggi

Ekspektasi Terlanjur (Terlalu) Tinggi

A Tony Prasetiantono  ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


EKSPEKTASI kita terhadap pemerintahan baru yang dikomandani Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memang sangat tinggi. Itu hal yang wajar karena selama kita mengalami 10 tahun bersama pemerintahan sebelumnya (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono), banyak mimpi yang belum kesampaian. Dari aspek ekonomi, mimpi terbesar itu ialah mencapai pertumbuhan ekonomi 7%, atau bahkan lebih. Pada akhir era Presiden Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi bukannya mendekati 7%, melainkan malah menjauh. Tahun ini prediksi pertumbuhan ekonomi hanya 5,2%.

Mengapa pertumbuhan ekonomi 7% menjadi semacam `angka keramat' (magic number) bagi perekonomian Indonesia? Jawabannya sederhana, angkatan kerja (labor force) kita rata-rata bertambah sekitar 2 juta per tahun. Sementara itu, daya serap tenaga kerja baru (new employment absorption) rata-rata ialah antara 250 ribu dan 300 ribu orang untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi. Jadi, untuk bisa menyerap 2 juta orang tenaga kerja baru, diperlukan pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per tahun. Karena itu, jika pertumbuhan ekonomi kurang dari 7%, akan tercipta lebih banyak pengangguran terbuka (open unemployment).

Dengan demikian, siapa pun presiden Indonesia, apakah Yudhoyono (2004-2014) ataukah Jokowi (2014-2019), harus bekerja keras untuk mencapai `angka keramat' pertumbuhan ekonomi 7% tersebut. Ketika terpilih menjadi presiden untuk periode kedua, SBY (2014) mencanangkan untuk dapat mencapainya pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya (2013-2014). Kenyataannya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode kedua Presiden Yudhoyono ialah 4,5% (2009), 6,1% (2010), 6,5% (2011), 6,23% (2012), dan 5, 78 % (2013).

Dukungan produk primer

Pertumbuhan ekonomi 2009 memang `hanya' 4,5%, tetapi sesungguhnya itu sudah tinggi karena negara-negara emerging markets lainnya (Korea Selatan, Hong Kong, Malaysia, Thailand, dan Singapura) mengalami kontraksi (pertumbuhan ekonominya negatif). Bahkan Singapura mengalami kontraksi minus 12%. Semua itu disebabkan krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Negara-negara yang banyak memiliki exposure sektor finansial (terutama produk derivatif ) serta mengandalkan ekspor manufaktur terkena imbas terberat. Sebaliknya Indonesia yang memiliki modal banyak produk primer (kelapa sawit, batu bara, timah, karet, dan lain-lain) terbebas dari dampak yang berat.

Itulah sebabnya Indonesia kemudian membukukan pertumbuhan ekonomi di atas 6% pada tiga tahun sesudahnya (2010-2012). Sayangnya, `bulan madu' itu akhirnya berakhir tatkala perekonomian global mulai melambat. Permintaan (demand) terhadap komoditas primer mulai berkurang. Harga minyak dunia secara perlahan menurun dari puncaknya US$147 per barel (musim panas 2007) menjadi US$100-US$110 per barel pada tahun-tahun sesudahnya. Harga minyak bahkan anjlok ke level terendah di bawah US$85 per barel pada pekan-pekan belakangan ini.

Harga minyak mentah (crude oil) merupakan harga acuan (benchmark) bagi harga komoditas primer lainnya.Begitu harga minyak turun, hal itu diikuti penurunan harga komoditas primer lainnya, terutama kelapa sawit dan batu bara yang menjadi substitusi terkuatnya. Harga kedua komoditas tersebut kini kurang dari separuh dari harga puncaknya yang tercapai pada saat krisis 2008-2009. Harga batu bara terpukul paling berat karena konsumen terbesarnya, Tiongkok, berusaha keras untuk menurunkan permintaan mereka agar dapat mengurangi polusi. Pekan lalu saya berada di Beijing. Ibukota Tiongkok itu sepanjang hari tertutup oleh kabut polusi yang pekat. Mengurangi penggunaan energi batu bara dalam proses produksinya merupakan pilihan yang paling masuk akal.

Tantangan itulah yang bakal dihadapi pemerintahan Presiden Jokowi. Sungguh tidak mudah baginya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7% dalam kondisi harga komoditas primer sedang merosot amat tajam. Indonesia, sebagaimana Tiongkok, memang cukup diuntungkan pasar domestik yang besar sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.Perekonomian Tiongkok kini melambat, tetapi dengan kekuatan pasar domestiknya masih akan mampu tumbuh 7,3% tahun ini. Indonesia, dengan kekuatan kelas menengahnya, bakal tumbuh 5,2%.

Tahun depan perekonomian global diperkirakan akan sedikit membaik, dengan lokomotifnya AS yang diperkirakan tumbuh 2,5% dan Tiongkok dengan pertumbuhan 7,5%. Perekonomian Indonesia diduga juga akan tumbuh lebih baik, misalnya 5,6%. Namun, untuk menuju ke sana, tidak bakal mudah. Presiden Jokowi harus mempunyai modal awal kabinet ekonomi yang kuat dan didukung pasar.

Ada ketidakleluasaan

Sayangnya, sebagaimana terindikasi dari dinamika pembentukan kabinet dalam seminggu terakhir ini, Presiden Jokowi tidaklah memiliki keistimewaan (privilege) berupa keleluasaan dalam memilih timnya. Kuat sekali terasa adanya tekanan dari berbagai kelompok kepentingan (interest groups atau pressure groups) yang mengurangi independensinya. Kelompok (atau bisa juga individu) tersebut sebenarnya bermaksud baik, yakni memberi masukan kepada Presiden Jokowi, agar dapat dibentuk kabinet yang bagus, kuat, dan mendapatkan simpati pasar.

Namun, yang terjadi ialah individu dan kelompok tersebut kadang-kadang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap struktur kabinet dan kebutuhan personalianya. Misalnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mestinya harus dipimpin sosok yang memiliki latar belakang perencanaan (planning) yang kuat.

Kualifikasi menterinya ialah seseorang yang mengerti pem bangunan (terutama ekonomi) dengan penguasaan metodologi perencanaan yang kuat. Sosok itu otomatis mengarah pada seorang lulusan S-3, bukan kualifikasi yang lain. Sangat riskan jika Bappenas dipimpin sosok dengan kualifikasi yang lebih rendah. Ada risiko reputasi (reputational risk) yang besar jika salah memilih menteri, yang seharusnya bisa dihindari Presiden Jokowi.

Kualifikasi yang sama juga harus disandang menteri pendidikan tinggi dan riset. Ia harus seorang profesor yang lebih diutamakan berlatar belakang sains (diusahakan bukan ilmu sosial). Di masa lalu, kita pernah mempunyai menteri riset dengan kategori `jawara' (champion) pada sosok BJ Habibie. Itu seharusnya bisa menjadi acuan.

Dalam menyusun kabinet ekonomi, Presiden Jokowi memang tidak seleluasa seniornya, misalnya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri. Megawati (2001) berhasil menggabung talenta-talenta hebat dalam kabinetnya, yakni pada sosok Boediono, Dorodjarun Kuntjorojakti, dan Kwik Kian Gie, dengan ketiganya sedang berada di puncak karier dan kedewasaan (maturity).

Mantan Presiden Yudhoyono (2004) berhasil membentuk tim yang antara lain diisi Sri Mulyani Indrawati, yang di usia 42 tahun sudah menduduki menteri perencanaan/Kepala Bappenas, kemudian menteri keuangan (2005-2010). Sri Mulyani ialah the rising star yang kemudian direkrut Bank Dunia menjadi direktur eksekutif hingga saat ini.

Ekonom dengan reputasi internasional seperti itu memang tidak banyak kita miliki. Salah satu di antaranya ialah Profesor Iwan Jaya Azis, lulusan Cornell University yang sekarang di Asian Development Bank di Manila. Iwan mestinya cocok dipasang sebagai menko perekonomian.

Harus diakui bahwa Presiden Jokowi memang menghadapi banyak keterbatasan dalam menyusun kabinetnya. Karena itu, mudah diduga bahwa ia pun sulit untuk mengoptimalkan semua potensi manusia terbaik dalam timnya. Akibatnya, amat mungkin pasar tidak terlalu merespons positif. Kalaupun ada respons positif, alasannya karena akhirnya kabinet sudah dipastikan, tidak menjadi spekulasi lagi, tampaknya tidak akan banyak.

Rupiah sulit didongkrak ke level tinggi, misalnya 11.900 atau bahkan 11.800 per dolar AS. Kalaupun ada apresiasi rupiah, dugaan saya hanya sedikit di bawah 12.000 per dolar AS. Rupiah pekan lalu ditutup pada 12.066 per dolar AS. Bagaimana dengan indeks harga saham gabungan (IHSG)? Sama saja, tidak akan banyak bergerak. IHSG pekan lalu ditutup di level 5.073, tampaknya sulit untuk naik ke level 5.200-an. Yang paling realistis ialah sekitar 5.100 saja.

Dapat disimpulkan bahwa ekspektasi tinggi terhadap pemerintahan Jokowi-JK rasanya belum dapat diakomodasikan dengan baik oleh susunan kabinet. Namun, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Dalam 100 hari ke depan, pasar dan masyarakat akan memantau dan memberi pernilaian, apakah kabinet Jokowi benar-benar diisi para `petarung' dan pekerja keras sebagaimana presidennya? Ataukah cuma biasa-biasa saja alias business as usual? Sang waktu yang kelak akan mengujinya.

Jika karakter pekerja keras tersebut dapat didemonstrasikan, ada harapan bahwa kabinet ini akan menebarkan hawa positif. Rupiah dan IHSG akan mendaki ke level psikologis baru, misalnya Rp11.700 per dolar AS dan 5.300, yang kemudian diikuti dengan mengalir masuknya modal asing (capital inflows).Namun, jika tidak, misalnya kabinet tidak cukup impresif atau levelnya sekadar standar saja, rupiah akan terus berkutat (struggling) di level lama 12.000-an per dolar AS, dan IHSG di 5.000-an saja.

Akhirnya, selamat bekerja keras Presiden Jokowi, Wakil Presiden JK, dan seluruh jajaran kabinetnya. Sungguh tidak mudah memenuhi ekspektasi masyarakat yang sudah telanjur tinggi (high expectations) itu. Namun, itu sungguh sebuah kehormatan yang mulia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar