Ekspektasi
Terlanjur (Terlalu) Tinggi
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 27 Oktober 2014
EKSPEKTASI kita terhadap
pemerintahan baru yang dikomandani Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla memang sangat tinggi. Itu hal yang wajar karena selama kita
mengalami 10 tahun bersama pemerintahan sebelumnya (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono),
banyak mimpi yang belum kesampaian. Dari aspek ekonomi, mimpi terbesar itu
ialah mencapai pertumbuhan ekonomi 7%, atau bahkan lebih. Pada akhir era
Presiden Yudhoyono, pertumbuhan ekonomi bukannya mendekati 7%, melainkan
malah menjauh. Tahun ini prediksi pertumbuhan ekonomi hanya 5,2%.
Mengapa pertumbuhan ekonomi 7% menjadi semacam `angka keramat' (magic number) bagi perekonomian
Indonesia? Jawabannya sederhana, angkatan kerja (labor force) kita rata-rata bertambah sekitar 2 juta per tahun.
Sementara itu, daya serap tenaga kerja baru (new employment absorption) rata-rata ialah antara 250 ribu dan
300 ribu orang untuk setiap 1% pertumbuhan ekonomi. Jadi, untuk bisa menyerap
2 juta orang tenaga kerja baru, diperlukan pertumbuhan ekonomi sekitar 7% per
tahun. Karena itu, jika pertumbuhan ekonomi kurang dari 7%, akan tercipta
lebih banyak pengangguran terbuka (open
unemployment).
Dengan demikian, siapa pun presiden Indonesia, apakah Yudhoyono
(2004-2014) ataukah Jokowi (2014-2019), harus bekerja keras untuk mencapai
`angka keramat' pertumbuhan ekonomi 7% tersebut. Ketika terpilih menjadi
presiden untuk periode kedua, SBY (2014) mencanangkan untuk dapat mencapainya
pada tahun-tahun terakhir pemerintahannya (2013-2014). Kenyataannya
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama periode kedua Presiden Yudhoyono ialah
4,5% (2009), 6,1% (2010), 6,5% (2011), 6,23% (2012), dan 5, 78 % (2013).
Dukungan produk primer
Pertumbuhan ekonomi 2009 memang `hanya' 4,5%, tetapi
sesungguhnya itu sudah tinggi karena negara-negara emerging markets lainnya (Korea Selatan, Hong Kong, Malaysia,
Thailand, dan Singapura) mengalami kontraksi (pertumbuhan ekonominya negatif).
Bahkan Singapura mengalami kontraksi minus 12%. Semua itu disebabkan krisis
subprime mortgage di Amerika Serikat. Negara-negara yang banyak memiliki exposure sektor finansial (terutama
produk derivatif ) serta mengandalkan ekspor manufaktur terkena imbas
terberat. Sebaliknya Indonesia yang memiliki modal banyak produk primer
(kelapa sawit, batu bara, timah, karet, dan lain-lain) terbebas dari dampak
yang berat.
Itulah sebabnya Indonesia kemudian membukukan pertumbuhan
ekonomi di atas 6% pada tiga tahun sesudahnya (2010-2012). Sayangnya, `bulan
madu' itu akhirnya berakhir tatkala perekonomian global mulai melambat. Permintaan
(demand) terhadap komoditas primer mulai berkurang. Harga minyak dunia secara
perlahan menurun dari puncaknya US$147 per barel (musim panas 2007) menjadi
US$100-US$110 per barel pada tahun-tahun sesudahnya. Harga minyak bahkan
anjlok ke level terendah di bawah US$85 per barel pada pekan-pekan belakangan
ini.
Harga minyak mentah (crude
oil) merupakan harga acuan (benchmark)
bagi harga komoditas primer lainnya.Begitu harga minyak turun, hal itu
diikuti penurunan harga komoditas primer lainnya, terutama kelapa sawit dan
batu bara yang menjadi substitusi terkuatnya. Harga kedua komoditas tersebut
kini kurang dari separuh dari harga puncaknya yang tercapai pada saat krisis
2008-2009. Harga batu bara terpukul paling berat karena konsumen terbesarnya,
Tiongkok, berusaha keras untuk menurunkan permintaan mereka agar dapat
mengurangi polusi. Pekan lalu saya berada di Beijing. Ibukota Tiongkok itu
sepanjang hari tertutup oleh kabut polusi yang pekat. Mengurangi penggunaan
energi batu bara dalam proses produksinya merupakan pilihan yang paling masuk
akal.
Tantangan itulah yang bakal dihadapi pemerintahan Presiden
Jokowi. Sungguh tidak mudah baginya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 7%
dalam kondisi harga komoditas primer sedang merosot amat tajam. Indonesia,
sebagaimana Tiongkok, memang cukup diuntungkan pasar domestik yang besar
sehingga berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi.Perekonomian Tiongkok
kini melambat, tetapi dengan kekuatan pasar domestiknya masih akan mampu
tumbuh 7,3% tahun ini. Indonesia, dengan kekuatan kelas menengahnya, bakal
tumbuh 5,2%.
Tahun depan perekonomian global diperkirakan akan sedikit
membaik, dengan lokomotifnya AS yang diperkirakan tumbuh 2,5% dan Tiongkok dengan
pertumbuhan 7,5%. Perekonomian Indonesia diduga juga akan tumbuh lebih baik,
misalnya 5,6%. Namun, untuk menuju ke sana, tidak bakal mudah. Presiden
Jokowi harus mempunyai modal awal kabinet ekonomi yang kuat dan didukung
pasar.
Ada ketidakleluasaan
Sayangnya, sebagaimana terindikasi dari dinamika pembentukan
kabinet dalam seminggu terakhir ini, Presiden Jokowi tidaklah memiliki
keistimewaan (privilege) berupa
keleluasaan dalam memilih timnya. Kuat sekali terasa adanya tekanan dari berbagai
kelompok kepentingan (interest groups
atau pressure groups) yang
mengurangi independensinya. Kelompok (atau bisa juga individu) tersebut
sebenarnya bermaksud baik, yakni memberi masukan kepada Presiden Jokowi, agar
dapat dibentuk kabinet yang bagus, kuat, dan mendapatkan simpati pasar.
Namun, yang terjadi ialah individu dan kelompok tersebut
kadang-kadang tidak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang cukup terhadap
struktur kabinet dan kebutuhan personalianya. Misalnya, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) mestinya harus dipimpin sosok yang memiliki
latar belakang perencanaan (planning)
yang kuat.
Kualifikasi menterinya ialah seseorang yang mengerti pem
bangunan (terutama ekonomi) dengan penguasaan metodologi perencanaan yang
kuat. Sosok itu otomatis mengarah pada seorang lulusan S-3, bukan kualifikasi
yang lain. Sangat riskan jika Bappenas dipimpin sosok dengan kualifikasi yang
lebih rendah. Ada risiko reputasi (reputational
risk) yang besar jika salah memilih menteri, yang seharusnya bisa
dihindari Presiden Jokowi.
Kualifikasi yang sama juga harus disandang menteri pendidikan
tinggi dan riset. Ia harus seorang profesor yang lebih diutamakan berlatar
belakang sains (diusahakan bukan ilmu sosial). Di masa lalu, kita pernah
mempunyai menteri riset dengan kategori `jawara' (champion) pada sosok BJ Habibie. Itu seharusnya bisa menjadi
acuan.
Dalam menyusun kabinet ekonomi, Presiden Jokowi memang tidak
seleluasa seniornya, misalnya mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Megawati (2001) berhasil menggabung talenta-talenta hebat dalam kabinetnya,
yakni pada sosok Boediono, Dorodjarun Kuntjorojakti, dan Kwik Kian Gie,
dengan ketiganya sedang berada di puncak karier dan kedewasaan (maturity).
Mantan Presiden Yudhoyono (2004) berhasil membentuk tim yang
antara lain diisi Sri Mulyani Indrawati, yang di usia 42 tahun sudah
menduduki menteri perencanaan/Kepala Bappenas, kemudian menteri keuangan
(2005-2010). Sri Mulyani ialah the
rising star yang kemudian direkrut Bank Dunia menjadi direktur eksekutif
hingga saat ini.
Ekonom dengan reputasi internasional seperti itu memang tidak
banyak kita miliki. Salah satu di antaranya ialah Profesor Iwan Jaya Azis,
lulusan Cornell University yang sekarang di Asian Development Bank di Manila.
Iwan mestinya cocok dipasang sebagai menko perekonomian.
Harus diakui bahwa Presiden Jokowi memang menghadapi banyak
keterbatasan dalam menyusun kabinetnya. Karena itu, mudah diduga bahwa ia pun
sulit untuk mengoptimalkan semua potensi manusia terbaik dalam timnya. Akibatnya,
amat mungkin pasar tidak terlalu merespons positif. Kalaupun ada respons
positif, alasannya karena akhirnya kabinet sudah dipastikan, tidak menjadi
spekulasi lagi, tampaknya tidak akan banyak.
Rupiah sulit didongkrak ke level tinggi, misalnya 11.900 atau
bahkan 11.800 per dolar AS. Kalaupun ada apresiasi rupiah, dugaan saya hanya
sedikit di bawah 12.000 per dolar AS. Rupiah pekan lalu ditutup pada 12.066
per dolar AS. Bagaimana dengan indeks harga saham gabungan (IHSG)? Sama saja,
tidak akan banyak bergerak. IHSG pekan lalu ditutup di level 5.073, tampaknya
sulit untuk naik ke level 5.200-an. Yang paling realistis ialah sekitar 5.100
saja.
Dapat disimpulkan bahwa ekspektasi tinggi terhadap pemerintahan
Jokowi-JK rasanya belum dapat diakomodasikan dengan baik oleh susunan
kabinet. Namun, bukan berarti tidak ada harapan sama sekali. Dalam 100 hari
ke depan, pasar dan masyarakat akan memantau dan memberi pernilaian, apakah
kabinet Jokowi benar-benar diisi para `petarung' dan pekerja keras sebagaimana
presidennya? Ataukah cuma biasa-biasa saja alias business as usual? Sang waktu yang kelak akan mengujinya.
Jika karakter pekerja keras tersebut dapat didemonstrasikan, ada
harapan bahwa kabinet ini akan menebarkan hawa positif. Rupiah dan IHSG akan
mendaki ke level psikologis baru, misalnya Rp11.700 per dolar AS dan 5.300,
yang kemudian diikuti dengan mengalir masuknya modal asing (capital
inflows).Namun, jika tidak, misalnya kabinet tidak cukup impresif atau
levelnya sekadar standar saja, rupiah akan terus berkutat (struggling) di level lama 12.000-an
per dolar AS, dan IHSG di 5.000-an saja.
Akhirnya, selamat bekerja keras Presiden Jokowi, Wakil Presiden
JK, dan seluruh jajaran kabinetnya. Sungguh tidak mudah memenuhi ekspektasi
masyarakat yang sudah telanjur tinggi (high
expectations) itu. Namun, itu sungguh sebuah kehormatan yang mulia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar