Sabtu, 01 November 2014

Lonceng Kematian PTS

Lonceng Kematian PTS

Junaidi Abdul Munif  ;  Direktur el-Wahid Center Universitas Wahid Hasyim Semarang
MEDIA INDONESIA, 27 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


PADA 2015 akan mulai diberlakukan ASEAN Community (Komunitas ASEAN), sebagai kelanjutan dari organisasi ASEAN yang saat ini masih membatasi diri untuk tidak masuk terlalu jauh ke dalam urusan (kebijakan) dalam dan luar antaranggota ASEAN. Misi dari Komunitas ASEAN (KA) ialah kelanjutan dari tujuan pembentukan ASEAN, yakni untuk memajukan kehidupan ekonomi, politik, dan sosial-budaya di kawasan ASEAN yang menjadi organisasi regional terbaik di dunia.

Ada harapan dan kecemasan untuk menyongsong diberlakukannya KA mulai 31 Desember 2015, yang kesepakatannya ditandatangani di Phnom Penh (Kamboja) pada 2013. Kecemasan itu terkait dengan kesiapan Indonesia yang saat ini masih dianggap mengkhawatirkan, tetapi bisa jadi KA akan melecut kebangkitan Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara ASEAN, terutama dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand. KA merupakan pintu masuk ke urusan ‘perut’ antaranggota ASEAN.

Secara tersurat, hal ini akan membawa dampak positif karena antarnegara regional di kawasan ASEAN bisa saling padu bekerja sama untuk memajukan masyarakat di negara-negara anggota ASEAN. Secara tersirat, ada hal yang perlu diwaspadai ketika antarnegara anggota bias saling melakukan penetrasi ke negara anggota lainnya. Dalam dunia pendidikan, KA memungkinkan  perguruan tinggi (PT) dapat berdiri di negara anggota lainnya.

Inilah yang dikhawatirkan akan mengancam eksistensi perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia. ‘Saingan’ PTS bukan cuma perguruan tinggi negeri (PTN), melainkan juga PT asing dari negara ASEAN lain. Jamak diketahui bersama bahwa pendidikan di Malaysia, Singapura, dan Thailand kini lebih maju bila dibandingkan dengan pendidikan di Indonesia, dan beberapa universitasnya mengungguli peringkat PTN kita. Karena itu, banyak PT di Singapura dan Malaysia menjadi tujuan melanjutkan kuliah anak-anak Indonesia.

Penyelamat

PTS layak disebut sebagai penyelamat pendidikan Indonesia. Mereka telah dan akan menjalankan tugas mencerdaskan anak bangsa. Tugas yang tidak sepenuhnya dapat dipanggul pemerintah dengan mengandalkan PTN. Daya tampung PTN tidak cukup untuk memenuhi keinginan anak didik kita yang ingin melanjutkan kuliah. SNMPTN dan ujian mandiri yang dilaksanakan sebagai penjaringan masuk PTN masih menyisakan siswa yang tak lolos seleksi. Apakah lantas mereka tidak kuliah? PTS menjadi jawaban mereka yang tetap ingin kuliah setelah tak diterima di PTN.

Meski tetap ada dikotomi PTN-PTS yang masih terstigmatisasi di masyarakat, kita boleh bangga pada PTS. Banyak PTS yang unggul atas PTN, baik fasilitas maupun prestasinya. Semua ini tentu membahagiakan, setidaknya mulai menghapuskan stereotip bahwa PTN unggul segalanya atas PTS. Bahkan kini muncul adagium, tempat kuliah hanya menang gengsi saja. Selebihnya tak ada perbedaan yang mencolok antara PTN dan PTS. Toh juga sama-sama tak menjamin bahwa lulusan PTN lebih mudah terserap di dunia kerja.

Anggapan bahwa pemerintah masih menganaktirikan PTS ketimbang kampus pelat merah (baca: PTN) juga mulai terkikis. Banyak PTS mendapatkan suntikan dana dari pemerintah kendati jumlahnya tak sebesar dengan yang diberikan kepada PTN. Keadilan pemerintah itu patut diapresiasi tinggi dan mesti terus dilanjutkan. Komunitas ASEAN ditakutkan akan ‘menghapus’ kesan niat baik pemerintah tersebut.

Banyak PTS berdiri karena komitmen ormas keagamaan untuk melakukan pengabdian ke masyarakat lewat jalur pendidikan. Muhammadiyah, misalnya, memiliki PTS yang menyebar di seluruh Indonesia, bahkan berdiri di kota-kota ‘kelas dua’. NU juga demikian, kendati belum sebanyak PTS Muhammadiyah, tapi juga dapat menjadi contoh niat mulia ormas itu untuk memajukan kehidupan bangsa. Umat kristiani dan Katolik juga berjuang melalui perguruan tinggi yang berafiliasi ke yayasan mereka.

Dengan belajar pengalaman dari pasar bebas, Komunitas ASEAN 2015 akan meletakkan teritorial-geografis sebagai kesatuan tanpa sekat. Untung belum seperti Uni Eropa yang sampai punya mata uang euro untuk negara-negara anggota. Di bidang ekonomi kita telah merasakan bahwa pasar bebas telah menyebabkan produk dalam negeri kalah bersaing. Produk-produk Tiongkok bertebaran dengan harga yang murah. Itu didukung ‘ideologi konsumerisme’ yang berkeyakinan kalau memakai produk asing dianggap dapat menaikkan prestise (gengsi). Semangat tersebut yang mendasari masyarakat berbondong-bondong memborong produk asing seraya menganggap rendah hasil produksi teman sebangsa mereka sendiri.

Dalam pendidikan pun demikian, banyak mahasiswa berjuang untuk dapat melanjutkan jenjang pendidikan ke luar negeri. Dengan informasi bahwa PT asing lebih berkualitas, apalagi didukung pemeringkatan universitas di dunia, di saat universitas dari Indonesia hanya masuk di peringkat 500-an dunia, impian masuk ke universitas asing semakin marak. Andai PT asing dibiarkan masuk ke Indonesia, mungkin mereka akan ‘banting harga’ untuk merebut pasar (calon mahasiswa).

Jika itu terjadi pada pendidikan, akan runyamlah identitas kita sebagai bangsa. Pendidikan dan lembaganya bukan seperti barang produksi yang diam. Pendidikan bergerak karena di situ terdapat manusia-manusia Indonesia yang selain berjuang memperoleh pengetahuan dan keterampilan, juga berjuang untuk menegakkan eksistensi keunikan bangsa Indonesia. Pendidikan menjadi kawah candradimuka untuk menyemaikan kearifan dan nilai-nilai keindonesiaan dan pluralisme yang tak bias digantikan nilai dari bangsa lain.

Nilai keindonesiaan

PTS yang berafiliasi ke ormas dan agama tertentu tak lepas dari paradigma untuk merawat nilai-nilai yang diyakini agama tertentu pula. Nilai-nilai yang sekilas eksklusif tersebut tidak lantas meninggalkan nilai-nilai keindonesiaan sebagai puncak tujuan. Ini berbeda dengan PTN yang heterogen, yang hampir tak bisa dilihat ciri khasnya untuk mengaitkannya dengan suatu falsafah, nilai, dan agama tertentu.

Pemerintah mesti melindungi PTS dari gempuran PT asing.  Perlindungan PTS dapat dilakukan dengan menyusun kebijakan yang  membatasi ‘invasi’ PT asing. Kebijakan itu bukan hanya mencegah PT asing membuka cabang di Indonesia, melainkan juga membatasi tenaga kependidikan asing untuk terlibat terlalu jauh pada dunia pendidikan kita. Mendorong PTS lebih berkualitas agar dapat bersaing dengan PT asing akan menjadi langkah percuma jika paradigma pasar bebas dan konsumerisme itu masih menghinggapi pikiran masyarakat.

Kita berharap 2015 bukanlah lonceng kematian bagi PTS. Dalam hal bertahan hidup dan meningkatkan kualitas, PTS mungkin bias berjalan tanpa mengandalkan pemerintah. Namun, menghadang serbuan PT asing itu tugas pemerintah sepenuhnya. PTS hanya bias menunggu iktikad baik dan nasionalisme pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar