Soal
Kartu Indonesia Sehat
Hotbonar Sinaga ; Ketua Asosiasi Asuransi dan Jaminan Sosial
Indonesia
(AAJSI) 2009-2012
|
KOMPAS,
18 November 2014
BENARKAH
ada kekisruhan dengan Kartu Indonesia Sehat? Beberapa pihak mengatakan dasar
hukum KIS tidak jelas, tidak kuat, bahkan tidak ada. Ada lagi yang mengatakan
tumpang tindih dengan program Jaminan Kesehatan Nasional yang sedang berjalan
dan kuat dasar hukumnya, yaitu Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional
dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kemudian dipersoalkan
pula dari mana itu anggarannya?
Pertanyaan-pertanyaan
tersebut bukanlah suatu masalah yang tidak dapat dicari jawaban atau
solusinya walau tak dapat dikatakan mudah. Kalau ditanya, benarkah ada
kekisruhan dengan Kartu Indonesia Sehat (KIS)? Jawaban dari penulis singkat
saja: tidak juga!
Sebagai
profesional perasuransian yang sudah memiliki jam terbang lebih dari cukup
dan pengalaman praktik di bidang asuransi kesehatan serta dosen asuransi di
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lebih dari 40 tahun, penulis coba
membahasnya secara obyektif tanpa ada kepentingan apa pun.
Kita
tahu bahwa KIS pertama kali dimunculkan oleh Joko Widodo saat kampanye pemilihan
presiden yang baru lalu, selain kartu ”sakti” lainnya.
Sebagai
presiden terpilih, tentunya beliau harus dan wajib memenuhi janjinya dalam
bentuk komitmen yang akan direalisasi dalam waktu segera. Peluncuran kartu
yang dilaksanakan pada awal November ini menunjukkan pengejawantahan komitmen
itu. Semua pihak yang bertanggung jawab kepada Presiden sesuai ketentuan
perundangan tidak bisa tidak harus mengamankan komitmen tersebut dan
merealisasikannya karena perlu dicatat bahwa latar belakang penerbitan kartu
tersebut bukan semata-mata alat kampanye, melainkan didasari niat awal yang
baik, bahkan dapat dikatakan mulia.
Setiap
niat baik atau ”nawaitu” dari siapa pun yang bermanfaat untuk
kemaslahatan/hajat hidup orang banyak patut kita dukung dan realisasikan.
Dasar hukum
Memang,
dasar hukum KIS dan juga kartu lainnya belum jelas. Apa, sih, sulitnya
membuat dasar hukum supaya lebih mantap dan kuat? Menteri terkait sudah
berinisiatif mempersiapkannya untuk dibicarakan dalam sidang kabinet guna
disetujui Presiden dan segera direalisasikan. Libatkan pihak lain, termasuk
BPJS Kesehatan, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), dan lain-lain. Ini
urusan besar yang harus dirundingkan bersama untuk mencari solusi dan jangan
ditunda-tunda, bukan hanya urusan Kementerian Kesehatan atau Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia saja.
Undang-undang
atau turunan di bawahnya, bahkan termasuk UUD, kan, kita juga yang buat?
Sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung kepada presiden, semua pihak
itu wajib segera menindaklanjuti, termasuk BPJS, DJSN, dan lain-lain. Selain
menteri, patut dicatat bahwa direksi BPJS dan anggota DJSN diangkat oleh dan
bertanggung jawab langsung kepada presiden!
Tumpang tindih
Untuk
sosialisasi dan komunikasi tentang KIS harus segera dirumuskan program jangka
pendeknya plus materinya sehingga mengurangi kesalahpahaman tentang KIS vs
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Mari
kita lihat permasalahannya secara jernih. KIS, seperti telah dijelaskan
pemerintah, tidak tumpang tindih dengan JKN yang harus dilegalisasikan dalam
bentuk regulasi pemerintah (PP). KIS menambah cakupan kepesertaan JKN dari
yang semula hanya 86,4 juta penerima bantuan iuran (PBI) plus penyandang
masalah kesejahteraan sosial (PMKS) yang jumlahnya 1,7 juta (data Badan Pusat
Statistik), yaitu mereka yang cacat, jompo, pensiunan, dan lain-lain yang
tidak masuk dalam PBI.
Jadi,
cakupan kepesertaannya lebih luas dari JKN. Ada pihak yang ”asal bunyi”
mengatakan bahwa cakupan KIS lebih baik karena meliputi pelayanan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Faktanya, dalam UU Sistem Jaminan
Sosial Nasional (UU No 40/2004 Pasal 22) dinyatakan, program jaminan
kesehatan (dalam hal ini JKN) tak hanya meng-”cover” pelayanan penyembuhan,
tetapi juga tiga pelayanan lainnya (promotion, preventive, dan
rehabilitation).
Anggaran
Karena
ada penambahan jumlah kepesertaan sekitar 1,7 juta PMKS, jelas diperlukan
tambahan pendanaan. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan, ditetapkan besarnya iuran bagi PBI adalah Rp
19.225 per orang per bulan yang dibayarkan kepada BPJS Kesehatan.
Dengan
demikian, besarnya tambahan tersebut adalah 1,7 juta dikalikan dengan Rp
19.225 atau Rp 32,68 miliar sebulan atau sekitar Rp 391,2 miliar setahun. Jumlah
ini masih harus ditambah dengan pendanaan lain yang terkait, seperti
pembuatan kartu dan lain-lain yang tidak begitu signifikan jumlahnya.
Bagaimana sumber pendanaannya? Pemerintah harus berhati-hati menetapkannya
walau jumlahnya relatif tidak besar dibandingkan dengan APBN tahun 2015.
Salah
satu alternatifnya adalah dari APBN Perubahan walaupun mungkin, sekali lagi,
proses persetujuannya akan berliku-liku di DPR. Jangan mencari alternatif
yang tidak jelas dasar hukumnya atau bersifat temporer, seperti dari tanggung
jawab sosial korporasi oleh BUMN atau perusahaan (corporate social responsibility/CSR).
Tambahan
yang jumlahnya kurang dari Rp 400 miliar setahun dapat saja ditanggulangi
sementara oleh BPJS Kesehatan. Badan itu tidak perlu khawatir akan bangkrut
karena Pasal 48 UU Sistem Jaminan Sosial Nasional menyatakan, pemerintah
dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya
kesehatan keuangan BPJS. Jadi, apa yang dikhawatirkan? Jawabannya: ”Tidak
ada.”
Semuanya tergantung dari upaya pemerintah yang wajib merealisasikan
komitmen demi kesejahteraan rakyatnya. Semoga niat baik ini akan mendapat
rida dan jalan yang terbaik dari Tuhan Yang Mahakuasa. Amin. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar