Rabu, 19 November 2014

Nilai Norma Hukum Politik Maritim

Nilai Norma Hukum Politik Maritim

Rene L Pattiradjawane  ;   Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 19 November 2014

                                                                                                                       


KITA  merasa janggal ketika Presiden Joko Widodo memerintahkan agar kapal-kapal asing pencuri ikan ditenggelamkan untuk memberikan efek jera. Untuk pertama kali, seorang presiden Indonesia memberikan arahan kebijakan menjaga kedaulatan wilayah lautnya berpikir dan ”akan bertindak” tanpa memperhatikan nilai dan norma hukum nasional serta internasional.

Di sisi lain, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, Indonesia agar keluar dari G-20 karena mengalami kerugian ekspor ikan akibat dikenakan tarif impor di negara tujuan akibat keanggotaan G-20 yang dianggap bagian dari negara maju. Pernyataan ini dibantah Menko Perekonomian Sofyan Djalil yang tidak setuju atas usulan tersebut.

Sekilas kita melihat konsepsi kebijakan maritim yang ingin dijadikan sebagai landasan kerja pemerintahan Presiden Jokowi masih mencari bentuk memadai ketika poros maritim harus dirumuskan dan disinkronisasikan dengan sejumlah persoalan domestik, regional, dan global. Kunjungan kenegaraan Presiden Jokowi menghadiri beberapa konferensi tingkat tinggi menunjukkan ketergantungan Indonesia dalam poros silang hubungan antarnegara ataupun antarbangsa akan mengandalkan maritim sebagai kebijakan dasar luar negeri.

Sama dengan negara-negara lain di dunia, seperti India dan Tiongkok, Indonesia perlu melindungi wilayah intinya demi kepentingan perdagangan, ekonomi, dan sumber daya yang tidak hanya menjangkau wilayah perairan Nusantara, tetapi juga cakupan yang lebih luas ke Samudra Pasifik dan Samudra India. Ini cerminan yang ingin disampaikan mantan Menlu Marty Natalegawa ketika berbicara mengenai Traktat Indo-Pasifik yang tidak bisa dirumuskan para diplomat Indonesia.

Dalam perspektif ini, diplomasi maritim yang dibangun harus bisa mencapai kawasan yang lebih luas, termasuk Pasifik Barat, Laut Asia Tenggara, serta Samudra India bagian tengah dan selatan. Pengjawantahan politik maritim Indonesia di masa pemerintahan Presiden Jokowi harus berjalan seirama, tidak hanya antarkementerian di dalam negeri, tetapi juga mampu mengejawantahkan masa depan lingkungan maritim dengan sejumlah negara di kawasan.

Data yang dikeluarkan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) dalam buku The State of World Fisheries and Aquaculture: Opportunities and challenges (Roma, 2014) menyebutkan, produksi ikan global tahun 2012 mencapai 79,7 juta ton ikan yang ditangkap oleh 18 negara dengan rata-rata 1 juta ton per tahun. Dari jumlah ini, urutan pertama adalah RRT yang menangkap 13,86 juta ton ikan dan urutan kedua adalah Indonesia dengan penangkapan 5,42 juta ton ikan.

Total penangkapan ikan negara-negara ASEAN mencapai 15,38 juta ton ikan, sedangkan total Asia minus Tiongkok mencapai 24,05 juta ton ikan. Adapun total Asia, termasuk RRT, jumlah penangkapan mencapai 37,92 juta ton ikan atau hampir setengah dari total penangkapan dunia. Angka-angka ini harus memberikan perspektif penting bagi Indonesia dalam membangun politik maritim bagi kepentingan nasionalnya.

Setidaknya ada beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan. Pertama, perlu perubahan struktural dan meluas mengatasi kelemahan koordinasi kebijakan luar negeri dalam ambivalensi kementerian-kementerian lain.

Kita tidak bisa lagi dihadapkan pada agenda sektoral yang membingungkan, termasuk persiapan diplomat, seperti dideteksi dalam memo mantan Wakil Menlu Dr Dino Patti Djalal tentang ”First Class, World Class: Modernisasi Kementerian Luar Negeri di Abad-21” belum lama ini.

Faktor kedua, politik maritim Indonesia harus memiliki nilai dan norma hukum nasional dan internasional, tidak bisa kita seenaknya menyatakan ”membakar atau menenggelamkan” kapal-kapal pencuri ikan atas nama kedaulatan nasional.

Melalui perspektif ini, kita bisa merumuskan konsep, modalitas, serta operasionalisasi politik dan diplomasi maritim dalam menghadapi perubahan geostrategi yang drastis dengan memberi bobot dan rumusan pemahaman strategis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar