Senin, 17 November 2014

Semangat Kebangsaan Ala Viking

                             Semangat Kebangsaan Ala Viking

Dedi Mulyadi  ;   Bupati Purwakarta
KORAN SINDO,  17 November 2014

                                                                                                                       


Padamu Persib aku berjanji Padamu Persib aku berbakti Padamu Persib aku mengabdi Bagimu Persib jiwa raga kami,

Yel-yel itu bergema dalam grand final bergengsi Indonesia Super League (ISL) 2014 antara Persib melawan Persipura di Stadion Jakabaring Palembang.

Yang menarik adalah nilai-nilai kebangsaan yang dulu digelorakan oleh para pejuang kemerdekaan, kini berubah menjadi sebuah spirit pembelaan terhadap tim kesayangan. Spirit heroik kebangsaan itu berubah menjadi heroik kepahlawanan ala Bobotoh Persib yang sebagian besar menyebut dirinya Viking. Bagi seorang kesatria Viking, kemenangan Persib adalah pertaruhan harkat, martabat, dan kehormatan diri.

Demi sebuah kehormatan, apa pun dipertaruhkan. Lamun ceuk urang lembur mah top pati jiwa raga, kadieukeun kahormatan kaula (Kalau kata orang kampung, ambil jiwa ragaku, kembalikan kehormatanku).

Puluhan ribu orang pergi meninggalkan Tanah Pajajaran, sekarang Tanah Jawa Barat, ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut, ngemat-ngemat nyatang beusi, henteu nyatang pinang sabab tangkal jambena geus euweuh dituaran dipake maen rebutan, ari melak henteu, ari nuar beuki... (Berbondong- bondong menggunakan bus meniti jembatan besi, bukan jembatan pinang sebab pohon pinangnya sudah habis ditebangi untuk lomba panjat pinang... enggak suka menanam, tapi gemar menebang).

Itulah ciri kita kini, gerakan menanam pohon di mana-mana, tapi pohon semakin jarang sebab selesai pencanangan, pohon yang baru saja ditanam habis dimakan kambing, padahal biaya upacaranya lebih mahal dibanding biaya menanam pohonnya. Keberangkatan ke Jakabaring dilakukan dengan berbagai cara, ada yang cukup ongkos ada yang menjual beras, menjual telepon seluler (ponsel), yang penting bisa sampai ke tempat tujuan.

Kujual baju celana, ini semua demi Persib ..., nu penting mah asal nepi ka tempat anu dituju, rek lalajo Persib final geus lila hayang juara ... (Yang penting sampai ke tempat yang dituju, hendak menonton Persib di final sudah lama ingin jadi juara). Itulah tekad balad Viking sejati.

Gemuruh sorak-sorai histeria dramatik di Jakabaring adalah ekspresi dari spirit patriotik tanpa batas untuk melakukan pembelaan secara dramatik terhadap tim kesayangan yang telah memberikan rasa suka dan rasa duka, membakar seluruh emosi dirinya sebagai garda terdepan, pembela, penjaga martabat dan kehormatan Persib.

Gelombang spirit bergemuruh secara masif sehingga Viking menjadi kekuatan sosial yang cukup tangguh dalam membangun rasa solidaritas, kebersamaan adalah kekuatan yang sulit dikalahkan; yang satu tersakiti, yang lain menjerit penuh emosi.

Jiwa patriotik sebagai pembela kehormatan sejati melahirkan sifat nekat tanpa batas, entah berapa banyak sang kesatria yang terjatuh dari atas kereta, terjatuh dari mobil atau motor, entah berapa yang meninggal, saya tidak punya data tentang itu. Tetapi, berbagai peristiwa tragis itu tidak menyurutkan kobaran semangat yang terus membara dalam dada para kesatria Viking , hujan angin dor dar gelap taya tempat keur ngiuhan, sanajan awak rancucut nu penting mah Persib meunang... (Hujan angin, petir menyambar-nyambar, tiada tempat untuk berteduh, sekalipun badan kuyup yang penting Persib menang).

Andaisaja seluruh emosi kecintaan terhadap Persib yang luar biasa itu berubah menjadi emosi kebangsaan, betapa hebat bangsa ini memiliki rakyat yang sangat ideologis, penuh jiwa kesatria, rela berkorban, saling menolong dengan sesama, dan siap berperang membela bangsanya manakala negara terancam. Kalau begini, tidak akan ada yang berani merendahkan kepada bangsa kami.

Di pentas yang lain, kegaduhan di Gedung Parlemen yang merupakan dampak dari grand final pertarungan politik nasional terus berkecamuk. Tetapi, gemuruhnya hanya ada dalam potret media, pertikaian para kesatrianya tidak lagi memengaruhi emosi apalagi membangun gegap gempita dan heroisme para pendukungnya. Realita tersebut menunjukkan bahwa saat ini konsolidasi politik ideologis tidak lagi mendapat tempat dalam relung batin masyarakat.

Saat ini sangat sulit menggerakkan orang atas nama ideologi dan politik tanpa diimbangi bekal dan logistik yang cukup. Rapat-rapat akbar tidak bisa dilaksanakan manakala distribusi logistik tidak turun ke konstituen, sagalana kudu nyampak (semua harus tertata dan tersedia), kaos yang tinggal pakai, bus yang tinggal ditumpangi, makanan yang tinggal dimakan, ditambah bekal untuk anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Pokoknya, maju tak gentar membela yang bayar... Maju terus pantang mundur, kitu oge mun aya ongkosna (Itu pun kalau ada ongkosnya).

Ideologi warna-warni menghiasi pentas politik kita, tidak ada lagi konsistensi dalam sebuah dukungan politik. Hari ini berpakaian Partai A, besok berpakaian Partai B, lusa berpakaian Partai C. Lumayan, dapat jatah kaos gratis lima tahun sekali. Seorang konstituen bisa mengoleksi tujuh kaos, kalau urusan memilih, kumaha aing we... (terserah saya). Mereka berprinsip kalau tidak oleh saya, mau sama siapa lagi.

Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Mumpung ada yang memberi, terima saja karena kalau sudah jadi, pasti lupa lagi. Sekalipun demikian, tidak semuanya begitu, masih ada pemilih yang ikhlas dan fanatik. Persoalan inkonsistensi pilihan bukan hanya pada pemilih. Watak itu juga kini menjadi watak para kesatria. Pundung saeutik, pindah partai atawa nyieun partai. Geus biasa eta mah ... (Tersinggung sedikit, pindah partai atau membuat partai baru).

Perubahan karakter pemilih mungkin karena kekecewaan mereka, karena terlalu lama mereka menanti kepastian janji para kesatria untuk mewujudkan mimpi indah sebagai bangsa yang makmur dan bermartabat. Janji manis para pemimpin seringkali kandas menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan, manakala kursi kekuasaan sudah ada dalam genggaman.

Seluruh konstituen seringkali menuai kehampaan, proses komunikasi yang sering terputus pascaijab kabul perkawinan politik. Pintu sang suami politik yang sering terkunci, jarak yang semakin jauh, pertemuan yang semakin jarang dan hanya dibatasi oleh formalitas bernama kunjungan kerja atau reses, telah melahirkan gairah ranjang politik yang hambar. Senyum manis, bisikan cinta yang indah, tatapan penuh kasih, janji hidup bersama dalam suka dan duka kini semua hilang, dengan satu pertanyaan: Mau dibawa ke mana hubungan kita ...

Konstituen mengalami kesepian melewati malam yang panjang, penuh kegalauan. Kekecewaan itu melahirkan sikap pilihan politik tanpa cinta dan rasa. Aku akan menjadi jablay politik, akan kuterima setiap bingkisan dan amplop dari siapa pun, yang penting hasrat politik kuterpuaskan dari pada aku harus menderita, sakit hati karena janji yang tak pasti. Sakitnya tuh di sini di dalam hatiku... Sakitnya tuh di sini janjimu itu palsu. Sikap saling tidak percaya tercermin juga dari kegundahan para politisi karena visi politik berubah menjadi transaksi politik.

Waktu sang kesatria datang masyarakat tak mau mendengar apa yang diucapkan, tapi lebih mengajukan pilihan-pilihan yang harus dipenuhi, masjid omeaneun, madrasah sumbangeun, majelis taklim banguneun , jalan aspaleun , duit bawaeun. Pokona mah riweuh we lah... dengan sebuah garansi dapat suara pada waktunya. Tetapi, ketika perhitungan dilakukan, seluruh bayangan itu sirna.

Katanya janjinya seribu suara, eeh ... dapatnya seratus. Masih mending dapat seratus, kadang ada yang hanya dapat 10 suara, bahkan ada yang tidak mendapat suara sama sekali termasuk tim sukses dan saksinya pun tidak memilih saya. Asa ku tega-tega teuing, nyeri nyeri teuing moal bisa diubaran, kajeun tutumpuran paeh ge teu panasaran... (teganya... teganya... teganya...).

Efek buruk dari semua itu, tidak sedikit kesatria yang memilih untuk tidak mencintai konstituennya sepenuh hati, malah lebih memilih melakukan prostitusi politik, beli saja lima tahun sekali, andai kata gagal pun tidak sakit hati. Aduh aduh, nu milih dianggap jablay ... (jarang dibelai, cukup lima tahun sekali).

Ini untuk para pemilih politik saatnya kita belajar dari Viking . Hidup penuh solidaritas, pantang menyerah, dan rela berkorban. Mencintai Persibnya sepenuh hati. Untuk para kesatria politik, belajarlah dari Persib dan Persipura, bertanding penuh sportivitas, tak ada kebencian, yang ada hanya tangis kegembiraan bagi sang pemenang, dan tangis kesedihan bagi yang kalah.

Selesai bertanding persaudaraan tetap terjaga. Betapa bahagianya, kalau menjadi pemimpin pendukungnya seperti Viking , bisa jadi berpolitik tanpa biaya. Setelah berkuasa, tinggal memenuhi seluruh janji dan sumpah setia pada pemilihnya dengan tidak berpindah ke lain hati.

Jadi Bobotoh dan Viking -nya adalah guru politik solidaritas kita, tapi yang tidak boleh itu Viking dan Bobotoh menjadi alat politik bagi kita karena akan mencederai sumpah kesatria seorang Viking yang berbunyi: Demi Persib aku rela untuk mati... Wilujeng kanggo Pak Umuh sareng sadaya bobotoh. Mugia Mang Ayi Beutik bagja di alam pangbalikan .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar