Semangat
Kebangsaan Ala Viking
Dedi Mulyadi ; Bupati Purwakarta
|
KORAN
SINDO, 17 November 2014
Padamu
Persib aku berjanji Padamu Persib aku berbakti Padamu Persib aku mengabdi Bagimu
Persib jiwa raga kami,
Yel-yel itu bergema dalam grand final bergengsi Indonesia Super League
(ISL) 2014 antara Persib melawan Persipura di Stadion Jakabaring Palembang.
Yang menarik adalah nilai-nilai kebangsaan yang dulu digelorakan oleh
para pejuang kemerdekaan, kini berubah menjadi sebuah spirit pembelaan
terhadap tim kesayangan. Spirit heroik kebangsaan itu berubah menjadi heroik
kepahlawanan ala Bobotoh Persib yang sebagian besar menyebut dirinya Viking.
Bagi seorang kesatria Viking, kemenangan Persib adalah pertaruhan harkat,
martabat, dan kehormatan diri.
Demi sebuah kehormatan, apa pun dipertaruhkan. Lamun ceuk urang lembur
mah top pati jiwa raga, kadieukeun kahormatan kaula (Kalau kata orang
kampung, ambil jiwa ragaku, kembalikan kehormatanku).
Puluhan ribu orang pergi meninggalkan Tanah Pajajaran, sekarang Tanah
Jawa Barat, ngaleut ngeungkeuy ngabandaleut, ngemat-ngemat nyatang beusi,
henteu nyatang pinang sabab tangkal jambena geus euweuh dituaran dipake maen
rebutan, ari melak henteu, ari nuar beuki... (Berbondong- bondong menggunakan
bus meniti jembatan besi, bukan jembatan pinang sebab pohon pinangnya sudah
habis ditebangi untuk lomba panjat pinang... enggak suka menanam, tapi gemar
menebang).
Itulah ciri kita kini, gerakan menanam pohon di mana-mana, tapi pohon
semakin jarang sebab selesai pencanangan, pohon yang baru saja ditanam habis
dimakan kambing, padahal biaya upacaranya lebih mahal dibanding biaya menanam
pohonnya. Keberangkatan ke Jakabaring dilakukan dengan berbagai cara, ada
yang cukup ongkos ada yang menjual beras, menjual telepon seluler (ponsel),
yang penting bisa sampai ke tempat tujuan.
Kujual baju celana, ini semua demi Persib ..., nu penting mah asal nepi
ka tempat anu dituju, rek lalajo Persib final geus lila hayang juara ...
(Yang penting sampai ke tempat yang dituju, hendak menonton Persib di final
sudah lama ingin jadi juara). Itulah tekad balad Viking sejati.
Gemuruh sorak-sorai histeria dramatik di Jakabaring adalah ekspresi
dari spirit patriotik tanpa batas untuk melakukan pembelaan secara dramatik
terhadap tim kesayangan yang telah memberikan rasa suka dan rasa duka,
membakar seluruh emosi dirinya sebagai garda terdepan, pembela, penjaga
martabat dan kehormatan Persib.
Gelombang spirit bergemuruh secara masif sehingga Viking menjadi
kekuatan sosial yang cukup tangguh dalam membangun rasa solidaritas,
kebersamaan adalah kekuatan yang sulit dikalahkan; yang satu tersakiti, yang
lain menjerit penuh emosi.
Jiwa patriotik sebagai pembela kehormatan sejati melahirkan sifat nekat
tanpa batas, entah berapa banyak sang kesatria yang terjatuh dari atas
kereta, terjatuh dari mobil atau motor, entah berapa yang meninggal, saya
tidak punya data tentang itu. Tetapi, berbagai peristiwa tragis itu tidak
menyurutkan kobaran semangat yang terus membara dalam dada para kesatria
Viking , hujan angin dor dar gelap taya tempat keur ngiuhan, sanajan awak
rancucut nu penting mah Persib meunang... (Hujan angin, petir menyambar-nyambar,
tiada tempat untuk berteduh, sekalipun badan kuyup yang penting Persib
menang).
Andaisaja seluruh emosi kecintaan terhadap Persib yang luar biasa itu
berubah menjadi emosi kebangsaan, betapa hebat bangsa ini memiliki rakyat
yang sangat ideologis, penuh jiwa kesatria, rela berkorban, saling menolong
dengan sesama, dan siap berperang membela bangsanya manakala negara terancam.
Kalau begini, tidak akan ada yang berani merendahkan kepada bangsa kami.
Di pentas yang lain, kegaduhan di Gedung Parlemen yang merupakan dampak
dari grand final pertarungan politik nasional terus berkecamuk. Tetapi,
gemuruhnya hanya ada dalam potret media, pertikaian para kesatrianya tidak
lagi memengaruhi emosi apalagi membangun gegap gempita dan heroisme para
pendukungnya. Realita tersebut menunjukkan bahwa saat ini konsolidasi politik
ideologis tidak lagi mendapat tempat dalam relung batin masyarakat.
Saat ini sangat sulit menggerakkan orang atas nama ideologi dan politik
tanpa diimbangi bekal dan logistik yang cukup. Rapat-rapat akbar tidak bisa
dilaksanakan manakala distribusi logistik tidak turun ke konstituen, sagalana
kudu nyampak (semua harus tertata dan tersedia), kaos yang tinggal pakai, bus
yang tinggal ditumpangi, makanan yang tinggal dimakan, ditambah bekal untuk
anak dan istri yang ditinggalkan di rumah. Pokoknya, maju tak gentar membela
yang bayar... Maju terus pantang mundur, kitu oge mun aya ongkosna (Itu pun
kalau ada ongkosnya).
Ideologi warna-warni menghiasi pentas politik kita, tidak ada lagi
konsistensi dalam sebuah dukungan politik. Hari ini berpakaian Partai A,
besok berpakaian Partai B, lusa berpakaian Partai C. Lumayan, dapat jatah
kaos gratis lima tahun sekali. Seorang konstituen bisa mengoleksi tujuh kaos,
kalau urusan memilih, kumaha aing we... (terserah saya). Mereka berprinsip
kalau tidak oleh saya, mau sama siapa lagi.
Kalau tidak sekarang, kapan lagi. Mumpung ada yang memberi, terima saja
karena kalau sudah jadi, pasti lupa lagi. Sekalipun demikian, tidak semuanya
begitu, masih ada pemilih yang ikhlas dan fanatik. Persoalan inkonsistensi
pilihan bukan hanya pada pemilih. Watak itu juga kini menjadi watak para
kesatria. Pundung saeutik, pindah partai atawa nyieun partai. Geus biasa eta
mah ... (Tersinggung sedikit, pindah partai atau membuat partai baru).
Perubahan karakter pemilih mungkin karena kekecewaan mereka, karena
terlalu lama mereka menanti kepastian janji para kesatria untuk mewujudkan
mimpi indah sebagai bangsa yang makmur dan bermartabat. Janji manis para
pemimpin seringkali kandas menjadi cinta yang bertepuk sebelah tangan,
manakala kursi kekuasaan sudah ada dalam genggaman.
Seluruh konstituen seringkali menuai kehampaan, proses komunikasi yang
sering terputus pascaijab kabul perkawinan politik. Pintu sang suami politik
yang sering terkunci, jarak yang semakin jauh, pertemuan yang semakin jarang
dan hanya dibatasi oleh formalitas bernama kunjungan kerja atau reses, telah
melahirkan gairah ranjang politik yang hambar. Senyum manis, bisikan cinta
yang indah, tatapan penuh kasih, janji hidup bersama dalam suka dan duka kini
semua hilang, dengan satu pertanyaan: Mau dibawa ke mana hubungan kita ...
Konstituen mengalami kesepian melewati malam yang panjang, penuh
kegalauan. Kekecewaan itu melahirkan sikap pilihan politik tanpa cinta dan
rasa. Aku akan menjadi jablay politik, akan kuterima setiap bingkisan dan
amplop dari siapa pun, yang penting hasrat politik kuterpuaskan dari pada aku
harus menderita, sakit hati karena janji yang tak pasti. Sakitnya tuh di sini
di dalam hatiku... Sakitnya tuh di sini janjimu itu palsu. Sikap saling tidak
percaya tercermin juga dari kegundahan para politisi karena visi politik berubah
menjadi transaksi politik.
Waktu sang kesatria datang masyarakat tak mau mendengar apa yang
diucapkan, tapi lebih mengajukan pilihan-pilihan yang harus dipenuhi, masjid
omeaneun, madrasah sumbangeun, majelis taklim banguneun , jalan aspaleun ,
duit bawaeun. Pokona mah riweuh we lah... dengan sebuah garansi dapat suara
pada waktunya. Tetapi, ketika perhitungan dilakukan, seluruh bayangan itu
sirna.
Katanya janjinya seribu suara, eeh ... dapatnya seratus. Masih mending
dapat seratus, kadang ada yang hanya dapat 10 suara, bahkan ada yang tidak
mendapat suara sama sekali termasuk tim sukses dan saksinya pun tidak memilih
saya. Asa ku tega-tega teuing, nyeri nyeri teuing moal bisa diubaran, kajeun
tutumpuran paeh ge teu panasaran... (teganya... teganya... teganya...).
Efek buruk dari semua itu, tidak sedikit kesatria yang memilih untuk
tidak mencintai konstituennya sepenuh hati, malah lebih memilih melakukan
prostitusi politik, beli saja lima tahun sekali, andai kata gagal pun tidak
sakit hati. Aduh aduh, nu milih dianggap jablay ... (jarang dibelai, cukup
lima tahun sekali).
Ini untuk para pemilih politik saatnya kita belajar dari Viking . Hidup
penuh solidaritas, pantang menyerah, dan rela berkorban. Mencintai Persibnya
sepenuh hati. Untuk para kesatria politik, belajarlah dari Persib dan
Persipura, bertanding penuh sportivitas, tak ada kebencian, yang ada hanya
tangis kegembiraan bagi sang pemenang, dan tangis kesedihan bagi yang kalah.
Selesai bertanding persaudaraan tetap terjaga. Betapa bahagianya, kalau
menjadi pemimpin pendukungnya seperti Viking , bisa jadi berpolitik tanpa
biaya. Setelah berkuasa, tinggal memenuhi seluruh janji dan sumpah setia pada
pemilihnya dengan tidak berpindah ke lain hati.
Jadi Bobotoh dan Viking -nya adalah guru politik solidaritas kita, tapi
yang tidak boleh itu Viking dan Bobotoh menjadi alat politik bagi kita karena
akan mencederai sumpah kesatria seorang Viking yang berbunyi: Demi Persib aku
rela untuk mati... Wilujeng kanggo Pak Umuh sareng sadaya bobotoh. Mugia Mang
Ayi Beutik bagja di alam pangbalikan . ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar