Senin, 17 November 2014

Hukuman yang “Mematikan”

                                   Hukuman yang “Mematikan”

Siti Marwiyah  ;   Dekan Fakultas Hukum Universitas dr Soetomo Surabaya,
Pengurus IKA UII Jatim
JAWA POS,  17 November 2014

                                                                                                                       


WITH money, you can buy blood, but not life (Dengan uang, Anda bisa membeli darah, tapi tidak dengan hidup. Adagium itu mengingatkan setiap manusia supaya selalu menghormati hak hidup, bukan mempermainkannya. Seseorang yang membunuh orang lain berarti tidak menghormati hak hidup.

Bagaimana kalau yang melakukan perampasan hak hidup itu adalah negara? Bagaimana jika hakim Mahkamah Agung sekaliber Artidjo Alkostar dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Sisca Yofie menganulir vonis hukuman seumur hidup menjadi hukuman mati? Tidak cukupkah hukuman seumur hidup yang dijatuhkan hakim pengadilan di bawahnya sehingga Artidjo masih harus menggantinya dengan hukuman mati?

Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yang juga mantan dosen Universitas Islam Indonesia (UII) itu dituntut sejumlah aktivis hak asasi manusia untuk dibatalkan. Hukuman mati dianggap melanggar HAM. Mereka menilai, hukuman mati melanggar kesempatan seseorang untuk hidup dan melanjutkan kehidupan.

Selain itu, hukuman mati melanggar hak kesempatan setiap terhukum untuk memperbaiki kesalahan atau kejahatan yang pernah diperbuatnya. Negara diposisikan sebagai perampas hak warga negara yang membutuhkan untuk melanjutkan kehidupan dan mengembangkan dirinya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya, menyebut, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apa pun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana.

KontraS juga menyebut, penerapan hukuman mati di Indonesia bertentangan dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty International melaporkan, di antara 195 negara, sebanyak 86 negara menerapkan hukuman mati dan 75 negara lainnya sudah menghapusnya. Yang terbaru adalah Filipina yang menghapuskan hukuman mati pada Juni 2006. Negara lain yang dulu menerapkan hukuman mati dan sekarang menolaknya adalah Belanda. Bahkan, bekas penjajah Indonesia ini beberapa kali mengampanyekan penolakannya kepada negara lain yang masih menerapkan hukuman mati.

Selain itu, wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktik hukuman mati adalah Afrika yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia.

Kelompok lain yang lantang menyuarakan penolakan hukuman mati adalah Vatikan. Dalam Ensiklik Evangelium Vitae (surat dari mendiang Paus Yohanes Paulus II) disebutkan bahwa umat Katolik di negara mana pun harus memperjuangkan penghargaan terhadap kehidupan dengan ikut aktif menentang setiap kebijakan hukuman mati. Setiap tahun sejak 1997, Komnas HAM PBB juga mengeluarkan resolusi yang menyerukan agar negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati melakukan moratorium eksekusi. Resolusi terakhir dilaksanakan pada April 2005 yang didukung 81 anggota PBB. Lagi-lagi, alasannya adalah hanya Tuhan yang berhak mencabut hak hidup seseorang. Manusia sama sekali tidak berhak mencabut nyawa sesamanya (Rofiudin, 2007).

Mereka juga membenarkan pembelaannya dengan mengacu pada pasal 28A dan pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun (pasal 28 I ayat (1) UUD 1945).

Meski berasalasan seperti itu, Indonesia toh faktanya tetap memberikan tempat bagi hukuman mati dalam produk hukumnya. Ada sejumlah tindak pidana (straafbaarfeit) yang bisa diancam dan dijatuhi hukuman mati.

Hakim yang terkenal progresif seperti Artidjo Alkostar pun pantang surut dengan berbagai kritik yang ditujukan padanya sehubungan dengan hukuman mati yang dijatuhkannya.

Barangkali yang perlu diingatkan pada pembela jenis hukuman mati adalah bagaimana hukuman mati yang dijatuhkan dapat berdampak makro terhadap wajah kehidupan masyarakat. Kalau hukuman mati semakin sering dijatuhkan, sementara angka kriminalitas tetap tinggi atau sulit dikendalikan, ini tidak lantas dikonklusi sebagai kegagalan penerapan hukuman mati. Hukuman mati merupakan instrumen yang digunakan untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban secara egaliter dan berkeadilan.

Angka terhukum mati di dunia juga sangat tinggi. Diperkirakan, ada 20 ribu orang di seluruh dunia yang sedang menunggu eksekusi. Lebih dari 2.148 orang di 22 negara sudah dieksekusi. Dari angka itu, 94 persen terjadi di Tiongkok, Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.

Hakim-hakim yang menjatuhkan hukuman mati dapat mengonstruksi putusannya ini sebagai jenis putusan yang dapat ’’mematikan’’ berbagai bentuk kecenderungan dalam diri seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud melakukan kriminalitas yang bersifat pemberatan atau merugikan negara.

Kita juga tidak boleh ambigu. Saat kejahatan seperti pembunuhan berencana, kita menuntut pada negara untuk menghapuskan hukuman mati bagi pelakunya. Sementara itu, terhadap pelaku tindak pidana korupsi, kita menuntut para koruptornya dihukum mati.

Sebaliknya, saat para hakim berani menjatuhkan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan berencana, mereka pun wajib menempatkan posisi koruptor secara egaliter dalam pertanggungjawaban yuridis. Di antara para koruptor pun sesekali perlu djatuhi hukuman mati.

Kalau di antara para koruptor itu ada yang dijatuhi hukuman mati, niscaya citra jagat peradilan di Indonesia akan naik. Dunia peradilan (hakim) akan ditempatkan masyarakat sebagai instrumen yudisial yang mampu mengurangi secara drastis perkembangan koruptor. Para penjahat kerah putih tidak akan berani melakukan korupsi bilamana sanksi maksimal yang menghentikan karirnya adalah hukuman mati.

Para koruptor di negara ini perlu mendapatkan pelajaran berharga seperti pelaku pengedaran narkoba, pembunuhan berencana, dan terorisme. Hukuman mati merupakan pelajaran berharga yang bisa membuatnya memperbarui sikap dan perilakunya.

Kalau Roscoe Pound menyatakan bahwa ’’law as a tool of social engineering’’ atau hukum merupakan alat pembaruan masyarakat, idealitasnya jika hukuman mati ini berlaku egaliter, tindak kejahatan korupsi tidak akan sampai merajalela seperti sekarang ini. Koruptor mampu merajalela karena mendapatkan hukuman ringan atau berlapis tanpa dukungan hukuman mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar