Hukuman
yang “Mematikan”
Siti Marwiyah ; Dekan Fakultas Hukum Universitas dr Soetomo
Surabaya,
Pengurus IKA UII Jatim
|
JAWA
POS, 17 November 2014
WITH
money, you can buy blood, but not life (Dengan uang, Anda bisa membeli
darah, tapi tidak dengan hidup. Adagium itu mengingatkan setiap manusia
supaya selalu menghormati hak hidup, bukan mempermainkannya. Seseorang yang
membunuh orang lain berarti tidak menghormati hak hidup.
Bagaimana kalau yang melakukan perampasan hak hidup itu adalah negara?
Bagaimana jika hakim Mahkamah Agung sekaliber Artidjo Alkostar dalam kasus
pembunuhan berencana terhadap Sisca Yofie menganulir vonis hukuman seumur
hidup menjadi hukuman mati? Tidak cukupkah hukuman seumur hidup yang
dijatuhkan hakim pengadilan di bawahnya sehingga Artidjo masih harus
menggantinya dengan hukuman mati?
Hukuman yang dijatuhkan oleh hakim yang juga mantan dosen Universitas
Islam Indonesia (UII) itu dituntut sejumlah aktivis hak asasi manusia untuk
dibatalkan. Hukuman mati dianggap melanggar HAM. Mereka menilai, hukuman mati
melanggar kesempatan seseorang untuk hidup dan melanjutkan kehidupan.
Selain itu, hukuman mati melanggar hak kesempatan setiap terhukum untuk
memperbaiki kesalahan atau kejahatan yang pernah diperbuatnya. Negara
diposisikan sebagai perampas hak warga negara yang membutuhkan untuk
melanjutkan kehidupan dan mengembangkan dirinya.
Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), misalnya,
menyebut, hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang
paling penting, yaitu hak untuk hidup (right
to life). Hak fundamental (non-derogable
rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi,
atau dibatasi dalam keadaan apa pun, baik itu dalam keadaan darurat, perang,
termasuk bila seseorang menjadi narapidana.
KontraS juga menyebut, penerapan hukuman mati di Indonesia bertentangan
dengan perkembangan peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty International melaporkan, di
antara 195 negara, sebanyak 86 negara menerapkan hukuman mati dan 75 negara
lainnya sudah menghapusnya. Yang terbaru adalah Filipina yang menghapuskan
hukuman mati pada Juni 2006. Negara lain yang dulu menerapkan hukuman mati
dan sekarang menolaknya adalah Belanda. Bahkan, bekas penjajah Indonesia ini
beberapa kali mengampanyekan penolakannya kepada negara lain yang masih
menerapkan hukuman mati.
Selain itu, wilayah yang negaranya paling aktif menghapus praktik
hukuman mati adalah Afrika yang memiliki kultur, sistem politik, dan struktur
sosial yang mirip dengan Indonesia.
Kelompok lain yang lantang menyuarakan penolakan hukuman mati adalah
Vatikan. Dalam Ensiklik Evangelium
Vitae (surat dari mendiang Paus Yohanes Paulus II) disebutkan bahwa umat
Katolik di negara mana pun harus memperjuangkan penghargaan terhadap
kehidupan dengan ikut aktif menentang setiap kebijakan hukuman mati. Setiap
tahun sejak 1997, Komnas HAM PBB juga mengeluarkan resolusi yang menyerukan
agar negara-negara yang belum menghapuskan hukuman mati melakukan moratorium
eksekusi. Resolusi terakhir dilaksanakan pada April 2005 yang didukung 81
anggota PBB. Lagi-lagi, alasannya adalah hanya Tuhan yang berhak mencabut hak
hidup seseorang. Manusia sama sekali tidak berhak mencabut nyawa sesamanya (Rofiudin, 2007).
Mereka juga membenarkan pembelaannya dengan mengacu pada pasal 28A dan
pasal 28 ayat 1 UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Hak
untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan umum, serta hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apa pun (pasal 28 I ayat (1) UUD 1945).
Meski berasalasan seperti itu, Indonesia toh faktanya tetap memberikan
tempat bagi hukuman mati dalam produk hukumnya. Ada sejumlah tindak pidana (straafbaarfeit) yang bisa diancam dan
dijatuhi hukuman mati.
Hakim yang terkenal progresif seperti Artidjo Alkostar pun pantang
surut dengan berbagai kritik yang ditujukan padanya sehubungan dengan hukuman
mati yang dijatuhkannya.
Barangkali yang perlu diingatkan pada pembela jenis hukuman mati adalah
bagaimana hukuman mati yang dijatuhkan dapat berdampak makro terhadap wajah
kehidupan masyarakat. Kalau hukuman mati semakin sering dijatuhkan, sementara
angka kriminalitas tetap tinggi atau sulit dikendalikan, ini tidak lantas
dikonklusi sebagai kegagalan penerapan hukuman mati. Hukuman mati merupakan
instrumen yang digunakan untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban secara
egaliter dan berkeadilan.
Angka terhukum mati di dunia juga sangat tinggi. Diperkirakan, ada 20
ribu orang di seluruh dunia yang sedang menunggu eksekusi. Lebih dari 2.148
orang di 22 negara sudah dieksekusi. Dari angka itu, 94 persen terjadi di
Tiongkok, Iran, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.
Hakim-hakim yang menjatuhkan hukuman mati dapat mengonstruksi putusannya
ini sebagai jenis putusan yang dapat ’’mematikan’’ berbagai bentuk
kecenderungan dalam diri seseorang atau sekelompok orang yang bermaksud
melakukan kriminalitas yang bersifat pemberatan atau merugikan negara.
Kita juga tidak boleh ambigu. Saat kejahatan seperti pembunuhan
berencana, kita menuntut pada negara untuk menghapuskan hukuman mati bagi
pelakunya. Sementara itu, terhadap pelaku tindak pidana korupsi, kita
menuntut para koruptornya dihukum mati.
Sebaliknya, saat para hakim berani menjatuhkan hukuman mati terhadap
pelaku pembunuhan berencana, mereka pun wajib menempatkan posisi koruptor
secara egaliter dalam pertanggungjawaban yuridis. Di antara para koruptor pun
sesekali perlu djatuhi hukuman mati.
Kalau di antara para koruptor itu ada yang dijatuhi hukuman mati,
niscaya citra jagat peradilan di Indonesia akan naik. Dunia peradilan (hakim)
akan ditempatkan masyarakat sebagai instrumen yudisial yang mampu mengurangi
secara drastis perkembangan koruptor. Para penjahat kerah putih tidak akan
berani melakukan korupsi bilamana sanksi maksimal yang menghentikan karirnya
adalah hukuman mati.
Para koruptor di negara ini perlu mendapatkan pelajaran berharga
seperti pelaku pengedaran narkoba, pembunuhan berencana, dan terorisme.
Hukuman mati merupakan pelajaran berharga yang bisa membuatnya memperbarui
sikap dan perilakunya.
Kalau Roscoe Pound menyatakan bahwa ’’law
as a tool of social engineering’’ atau hukum merupakan alat pembaruan
masyarakat, idealitasnya jika hukuman mati ini berlaku egaliter, tindak
kejahatan korupsi tidak akan sampai merajalela seperti sekarang ini. Koruptor
mampu merajalela karena mendapatkan hukuman ringan atau berlapis tanpa
dukungan hukuman mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar