Minggu, 02 November 2014

Sekali Lagi “Sepak Bola Gajah”

Sekali Lagi “Sepak Bola Gajah”

Nur Haryanto  ;  Wartawan Tempo
KORAN TEMPO, 31 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Hampir setiap sore, ratusan bocah berlatih sepak bola di kompleks Sekolah Ragunan, Jakarta Selatan. Dimas, 10 tahun, salah satu siswa di sana, berlari ke pinggir lapangan saat peluit panjang dibunyikan pelatih. Sambil mengusap peluh di wajahnya dengan kaus seragam yang terlihat kedodoran, dia mengambil air minum. "Besok kalau sudah besar mau jadi pemain sepak bola, ya?" saya menyapa bocah itu. Dia meringis memperlihatkan giginya sambil menganggukkan kepala, selepas latihan.

Andai saja ada 1.001 anak di Indonesia yang serius berlatih sepak bola, yang terbagi dalam 100 kesebelasan, dari Aceh sampai Papua, ada baiknya diadakan model pertandingan yang seru dan bermanfaat. Turnamen menggunakan sistem setengah kompetisi dan kompetisi penuh hingga bermuara pada pertemuan antarzona. kalau itu terjadi, akan menjadi kompetisi sepanjang tahun yang meriah dan diharapkan bisa menjaring pemain-pemain muda bertalenta untuk mewujudkan mimpi bangsa Indonesia berkiprah dalam Piala Dunia.

Tentu saja tidak sesederhana itu. Maaf, saya hanya larut dalam kegembiraan melihat semangat bocah-bocah Ibu Kota itu berlatih. Soalnya, Minggu, 26 Oktober lalu, ada sebuah keanehan luar biasa di dunia sepak bola kita. Pertandingan antara PSS Sleman dan PSIS Semarang itu telah mencoreng dunia sepak bola.

Jika Anda melihat tayangannya di YouTube, Anda akan geleng-geleng kepala. Sulit dipahami, seorang pemain menggiring bola ke gawang sendiri dan justru dihalang-halangi pemain lawan agar tidak melakukan gol bunuh diri. Pemain depan lawan berganti posisi menjadi pemain belakang tim lawannya. Kekonyolan ini benar-benar tak pantas dilakukan di dunia sepak bola mana pun. Dagelan sepak bola pada akhir kompetisi Divisi Utama itu pun menjadi buah bibir internasional.

Kemungkinan besar, PSS dan PSIS sengaja tidak mau menang agar tidak memimpin Grup 1. Posisi ini berimbas ke pertandingan berikutnya, saat tim yang kalah otomatis tidak akan menghadapi runner-up Grup 2, Pusamania Borneo FC. Artinya, PSS dan PSIS sama-sama menghindari Pusamania.

"Sepak bola gajah" pernah terjadi waktu kesebelasan Indonesia melawan Thailand dalam laga terakhir penyisihan grup Piala Tiger 1998. Skor pada menit-menit terakhir masih imbang 2-2, namun Mursyid Effendi membuat kejutan dengan menyarangkan bola ke gawang sendiri. Asosiasi bola internasional FIFA memberi hukuman kepada tim Merah Putih dengan denda US$ 40 ribu dan Mursyid terkena hukuman seumur hidup. Ia dilarang tampil dalam pertandingan internasional.

Komisi Disiplin PSSI pernah memberi hukuman untuk otak di balik "sepak bola gajah". Dalam laporan majalah Tempo edisi 5 Maret 1994, Komisi Disiplin PSSI menghukum manajer tim Persebaya Surabaya, Agil H. Ali, saat itu. Dia dituduh mengotaki pengaturan skor pertandingan dalam Kompetisi Perserikatan PSSI Wilayah Timur. Agil tidak boleh menjadi ofisial selama setahun dan membayar denda Rp 500 ribu. Adapun pelatih PSIM Yogya, Berce Matulapelwa, diskors enam bulan tapi tak didenda.

"Sepak bola gajah" muncul kembali bulan lalu. Mudah-mudahan, Dimas yang masih belajar sepak bola di Ragunan belum paham benar kasus ini. Seandainya paham, dia akan berpikir seribu kali sebelum memutuskan untuk menjadi pemain sepak bola. Wallahu A'lam Bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar