Sabtu, 08 November 2014

Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama

Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama

Benny Susetyo  ;  Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN, 03 November 2014

                                                
                                                                                                                       


Kementerian Agama (Kemenag) menyiapkan draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Umat Beragama untuk diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. RUU ini diharapkan menjadi turunan dari UUD 1945 yang menjamin kebebasan warga negara dalam memeluk agama dan beribadah sesuai agama dan kepercayaannya.

“Dalam enam bulan ke depan, kami menyiapkan RUU Perlindungan Umat Beragama. Ini merupakan salah satu rekomendasi dari focus group discussion tentang masalah-masalah keagamaan yang diikuti tokoh semua agama, termasuk di luar enam agama resmi,” kata Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta.

Lukman Hakim menjadi satu-satunya menteri Kabinet Indonesia Bersatu II di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang kembali dipilih menduduki jabatan yang sama pada Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Menurut Lukman Hakim, RUU Perlindungan Umat Beragama akan mendorong perbaikan semua peraturan terkait kehidupan umat beragama di Indonesia.
Implikasi RUU ini banyak.

Isu pendirian rumah ibadah, misalnya, perlu peraturan lebih jelas yang disepakati semua pihak. Perlu juga perlindungan kepada mereka yang menganut agama di luar enam agama yang resmi diakui pemerintah. Selama ini, mereka merasakan adanya kebijakan yang diskriminatif.

Kebijakan merancang undang-undang perlindungan umat beragama harus direspons secara hati dan bijaksana karena kerukunan buah dari kearifan secara alamiah tumbuh subur di bumi nusantara ini. Fokus utama undang-undang memperkuat Pasal 29 UUD 1945, negara memberikan jaminan bebas menjalankan ibadah dan memberikan fasilitas rumah ibadah, dan memberikan perlindungan terhadap warga negara menjalankan ibadahnya dengan mentindak pelaku kekerasan yang mengangu jalannya ibadah. Rancangan undang-undang perlindungan beragama bukan mengatur hal sifatnya ritual, upacara keagamaan, tempat pemakaman, adopsi anak, perkawinan, bantuan luar negeri, rumah ibadat, hal ini diatur akan menimbulkan keretakan dalam hidup berbangsa.

Harus diingat bahwa Indonesia adalah negara yang menjadi barometer pluralisme dunia. Karena itu, kekeliruan cara pandang terhadap relasi agama justru akan menjadi bumerang di masa mendatang. Hal ini akan menimbulkan ketegangan baru. RUU yang dipaksakan justru membuat disharmoni relasi dan tidak bersatunya umat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan besar bangsa, seperti korupsi, kemiskinan, dan kebodohan. Kita harus merefleksikan begitu banyak UU. Namun, UU yang dibuat justru tidak mampu menjawab kebutuhan dasar masyarakat dan tidak mampu memecahkan persoalan yang ada.

Bahkan kehadiran aturan baru justru identik dengan permasalahan baru. Inilah yang harus diwaspadai bersama agar keinginan untuk menjaga kerukunan beragama tidak melahirkan situasi kontra produktif yang lain, apalagi bila UU dibuat dengan semangat antiperbedaan.

Keberagamaan Kita
Terkait keberadaan RUU ini, ada baiknya kita merefleksikan situasi dan kondisi keberagamaan itu sendiri. Sejauh ini, begitu banyak korban kekerasan yang mengutuk bahwa negeri ini adalah negara munafik.

Negeri yang begitu pandai menyusun aturan-aturan manis, tapi tidak mampu merealisasikannya di lapangan. Aturan-aturan itu hanya dibuat sebagai pemanis bibir. Kenyataannya, ada sebagian kelompok masyarakat yang berusaha memaksakan kehendaknya sendiri dan negara mengabaikan situasi itu. Para korban pun kesulitan mencari rasa aman, kepada siapa lagi mereka mengadu.

Kekerasan merupakan pengingkaran terhadap martabat kemanusiaan dan wajah bopeng yang merusak peradaban. Negara gagal menjaga rasa aman yang sudah diamanatkan konstitusi dan melindungi masyarakatnya yang membutuhkan pertolongan ketika ia diserang. Buktinya, korban sudah tak lagi percaya pada jaminan-jaminan itu.

Jaminan yang hanya manis di mulut: “Negara memberi jaminan kebebasan beragama dan menjalankan ibadah bagi warga”. Jaminan kebebasan beragama itu melekat pada diri setiap warga dan seharusnya negara sungguh-sungguh memberikan perlindungan tidak peduli siapa pun dia.

Walaupun wacana pluralisme dan toleransi antaragama ini sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik, praktiknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Sekalipun kita menyadari pentingnya slogan Bhinneka Tunggal Ika, praktik di lapangan tak seindah dan semudah pengucapan slogan itu.

Masih banyak persoalan keagamaan di Indonesia yang menghantui dan menghambat terwujudnya solidaritas, soliditas, dan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Minoritas semakin tidak mendapatkan tempat di negeri “Bhinneka Tunggal Ika” ini dengan beragam alasan.

Banyak peristiwa yang bisa dirujuk sebagai contoh tentang dicederainya kemajemukan bangsa ini. Akibatnya, berbagai kepentingan menyusup di balik sensitifnya hubungan agama di Indonesia. Dibutuhkan kebijaksaan dan jiwa negarawan agar dalam mengatur hal sifat alamiah  jangan sampai menimbulkan perpecahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar