Jumat, 07 November 2014

PR Bidang Pendidikan

PR Bidang Pendidikan

Jc Tukiman Taruna  ;  Wakil Ketua Dewan Pendidikan
Provinsi Jawa Tengah (2012-2016)
KORAN JAKARTA, 04 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Kini, terjadi “pemisahan” antara Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Selama ini, jenjang dasar, menengah, dan tinggi sudah menjadi nomenklatur sangat mengakar. Puluhan tahun, perhatian dunia pendidikan lebih dipusatkan ke tema-tema berikut sebagai upaya atau atas nama peningkatan mutu.

Perbaikan secara terus-menerus guna menjamin seluruh komponen pendidikan mengejar standar mutu yang ditetapkan. Konsekuensinya, institusi pendidikan selalu terdorong memperbarui proses demi tuntutan dan kebutuhan “pelanggan”. Kemudian muncul seloroh “ganti pejabat, ganti kebijakan”.

Menentukan standar mutu dari berbagai komponen seperti kualitas materi kurikulum, evaluasi (ujian), dan proses pembelajaran. Kemudian muncul delapan standar nasional pendidikan (SNP). Konsekuensinya antara lain, tercipta kompetisi (sehat dan tidak sehat) menyangkut upaya mengejar mutu, persis seperti perusahaan mengejar sertifikat ISO. Dunia pendidikan tidak ada bedanya dengan perusahaan.

Satuan pendidikan (sekolah) dilabeli agen perubahan kultur. Sekolah harus berhasil membentuk budaya organisasi yang antara lain menghargai mutu sebagai orientasi semua komponen organisasi. Dampaknya, terjadi berbagai rekayasa guna mempertahankan dan meningkatkan mutu. Sering kali yang diutamakan adalah rekayasa meningkatkan mutu hasil. Sementara mutu proses diabaikan.

Proses pembelajaran dari hari ke hari sering (boleh) diabaikan, tetapi menjelang ujian disodorkanlah “kultur” baru seperti try out, pra-ujian silang, doa massal, termasuk dengan orang tua.

Terus mengubah organisasi, mengingat institusi pendidikan sudah bergeser menjadi semiperusahaan. Ini membuat sekolah-sekolah berlomba mengiklankan diri untuk merebut pasar.

Gambaran semiperusahaan membuat keeping closed to the customer. Siswa dan mahasiswa umumnya dari “pelanggan lama” tempat kedua orang tuanya menempuh pendidikan. Sekolah terus berupaya menjaga hubungan ini

Konsep negara-bangsa sering terganggu. HAR Tilaar dalam buku Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi (1997) menguraikan visi, misi, program aksi pendidikan dan pelatihan menuju 2020. Dia sangat menekankan pentingnya pemaknaan tunggal negara bangsa dalam pengembangan identitas bangsa Indonesia.

Ada sejumlah prasyarat seperti (a) pentingnya mentransformasi global lewat sikap akomodatif dan memanfaatkan peluang untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa. Selanjutnya, (b) pentingnya mengembangkan nilai-nilai demokrasi yang semakin memberdayakan masyarakat agar menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara.

Berikutnya, (c) terus mengembangkan nilai-nilai luhur berbangsa-bernegara dan responsif terhadap peradaban dunia modern. Terakhir (d) pengembangan manusia sebagai bangsa agar siap ,menghadapi pergaulan dunia. Apakah dua kementerian pedidikan dapat mewujudkan prasyarat-prasyarat tersebut?

Teladan

Mutiara Ki Hadjar Dewantara harus tetap digelorakan. Sejumlah pemimpin bangsa telah berhasil mengemban amanat pendidikan ing madya mangun karsa (terus memotivasi) dan tutwuri handayani (mendukung dari belakang). Sayang, mereka belum ing ngarsa sung tuladha karena memberi contoh memang tidak mudah.

Syukurlah, kebiasaan blusukan dengan semangat kerja, kerja, dan kerja ala Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla telah dicanangkan. Semoga memberi semangat baru pengabdian kepada bangsa dan negara. Tiga mutiara Ki Hadjar Dewantara sebagai satu kesatuan semangat, termasuk dalam pendidikan nasional.

Menjelang wajib belajar 12 tahun, belum diketahui menggunakan Kurikulum 2013 (K 2013) yang masih banyak dipertanyakan. Alasannya implementasinya terkesan mempersiapkan sebanyak mungkin “tentara upahan” lewat berbagai pelatihan masif. Pelatihan guru-guru hanya mengejar target dan memang perlu perubahan kurikulum.

Dengan delapan kali ganti kurikulum, pendidikan nasional senantiasa berbasis pemerintah dan sekolah. Artinya, ada kurun tertentu kurikulum bukan saja ditentukan pemerintah, namun juga demi mengabdi kepentingan pemerintah. Pada bagian lain, ada kurikulum ditentukan satuan pendidikan masing-masing.

Kurikulum pemerintah menjawab rasa ingin tahu siswa dengan serba otoriter. Maka dianggap wajar ketika segala aturan, indikator ketercapaian dan lain-lain ditentukan pemerintah.

Rencana penerapan wajar 12 tahun, kurikulumnya perlu jelas, ikut model pemerintah atau sekolah? Apabila dipakai K 2013, siapkah diubah bandul pendulumnya?

Pekerjaan Rumah

Program wajar dikdas sembilan tahun masih menyisakan beberapa pekerjaan rumah (PR). Di antaranya, menyangkut 300.000 anak (dari 30 juta anak jenjang SD/MI), dan 180.000 anak (dari 12 juta murid SMP/MTs) putus sekolah. Jadi, dari 42 juta anak usia 7-15, sekurangnya ada 480.000 atau 1,14 persen yang putus sekolah.

Kemudian, siswa SD/MI putus sekolah, terutama di kelas II dan III. Sebesar 60 persennya membantu bekerja orangtua. Lalu target partisipasi murni (APM) SD/SDLB/MI/ dan Paket A sebesar 95,75 persen (2012). Target tahun lalu sebesar 95,8 persen , dan tahun ini 96 persen.

APM untuk tingkat SMP/SMPLB/MTs/ dan Paket B sebesar 78,8 persen (2012). Tahun 2013 diharapkan menjadi 80 persen dan tahun ini 81,9 persen. Ada 19 kabupaten/kota dengan perolehan APM tingakt SD dan sederajat masih di bawah 75 persen. Sementara ada 23 kabupaten/kota dengan APM level SMP dan sederajat di bawah 75 persen.

Rata-rata lama sekolah anak (dengan posisi dalam Indeks Pembangunan Manusia/IPM, 121) berada pada angka 5,8. Ini sederajad dengan rata-rata di Kamboja. Sedang di Vietnam 5,5 (peringkat IPM, 127).

Saat ini rata-rata jumlah SD sebanyak 160 siswa dan SMP 300 siswa. Artinya dilihat dari daya tampungnya, gedung SD dan SMP sederajat sudah cukup. Jumlah SMP/SMPLB/MTs ada 35.492 unit dengan daya tampung 13 juta siswa.

Harus ada terobosan untuk wajib belajar 12 tahun agar pekerjaan-pekeraan rumah wajar 9 tahun tadi terselesaikan. Indonesia perlu belajar dari pencapaian IPM Brunei Darussalam dan Filipina. Kemudian menjadikan wajar 12 tahun benar-benar mampu meningkatkan rata-rata lama sekolah anak-anak. Seperti program pendidikan Filipina yang lebih tinggi dari rata-rata lama sekolah anak Brunei. Padahal dari sisi capaian IPM Filipina pada ranking 114 dan Brunai sangat fantastis, di level 30.

Terobosan lin, satu tahun ke depan, Kementerian Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah hendaknya fokus semata-mata ke birokrat pendidikan. Mereka harus membenahi cara pandang, pikir, dan mentalitas kerja birokrat pendidikan di seluruh jenjang. Mereka harus paham betul makna, maksud, dan tujuan wajar 12 tahun.

Mereka benar-benar mampu menyusun cetak biru wajar 12 tahun. Sebaiknya jangan melibatkan ahli-ahli pendidikan dari perguruan tinggi, tapi biar para birokrat itu bergelut menyusun perencanaan. Dalam satuan pendidikan setahun ke depan ini biarlah berjalan seperti sekarang. Artinya, jangan ada perubahan apa pun.

Apabila cetak biru wajar 12 tahun telah tersusun, para gubernur dan bupati/wali kota diminta mempelajari bangunan wajar 12 tahun dan mendukung legislasi serta anggaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar