Infrastruktur
Papua dan Komitmen Pemerintah
Bambang Darmono ; Kepala
Unit Percepatan
Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B)
|
KORAN
TEMPO, 11 November 2014
Sudah menjadi rahasia umum, tingginya harga-harga barang di
Tanah Papua merupakan akibat dari miskin dan buruknya infrastruktur. Tingkat
kemahalan menjadi lebih ekstrem di wilayah Pegunungan Tengah yang sangat
bergantung pada awan yang menggelayut di wilayah tersebut. Karena semua
diangkut melalui udara, semakin lama awan menggelayut, semakin mahal harga
barang-barang. Ada kalanya harga semen per sak di Papua mencapai Rp 1,7 juta
lebih. Kondisi semacam ini tidak harus terjadi apabila pembangunan infrastruktur
dasar konsisten dilaksanakan.
Benar, pemerintah telah memperhatikan masalah infrastruktur ini
dengan dua Perpres yang mencakupi persoalan infrastruktur. Pada 2007,
diterbitkan Inpres Nomor 5/2007, yang berkaitan dengan percepatan
pembangunan. Dipandang tidak cukup berjalan, dikeluarkan Perpres 65/2011
tentang Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (P4B). Tidak
tanggung-tanggung, Perpres 65/ 2011 dikawal oleh Perpres 66/2011 tentang Unit
Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).
UP4B menyadari bahwa paradigma pembangunan infrastruktur di
tanah Papua adalah membangun benua kecil dalam rangka menciptakan
konektivitas antara kabupaten-kabupaten baru dengan sasaran menciptakan
sentra-sentra aktivitas ekonomi produktif. Dari paradigma itu, perlu dana
otonomi khusus guna menyiapkan SDM di Papua, sedangkan dana untuk
Infrastruktur harus ditopang melalui skema APBN melalui inisiatif presiden.
Dengan demikian, manusia asli Papua akan mendapatkan manfaat langsung dari
pembangunan infrastruktur.
Pada 2012, atas dorongan UP4B, pemerintah menerbitkan Perpres
40/2012 tentang pembangunan ruas-ruas jalan P4B. Apabila ruas-ruas jalan ini
diselesaikan, persoalan jalan di wilayah Pegunungan Tengah dan area
terisolasi di tanah Papua akan terselesaikan dan akan mendorong P4B. Selain
menghubungkan jalan strategis dan jalan nasional, ruas-ruas ini menghubungkan
sentra-sentra ekonomi di kabupaten baru yang terbentuk setelah UU Otonomi
Khusus Papua berlaku.
Dalam hal infrastruktur, konsep dasar membuka keterisolasian
wilayah Pegunungan Tengah telah diletakkan. Kita paham bahwa di Tanah Papua
tersedia sungai-sungai besar yang dapat dilayari sampai pedalaman. Pelabuhan
Sungai Boven Digoel sebagai salah satu contoh, dan Pelabuhan Sungai Asiki di
wilayah yang sama adalah contoh lain. Pelabuhan sungai ini dapat
diintegrasikan dengan pembangunan depo Pertamina guna menjangkau wilayah
Pegunungan Tengah, seperti depo Pertamina yang sedang disiapkan di Mumugu,
Kabupaten Asmat.
Kita juga paham bahwa kondisi geografis dan demografis di
wilayah Pegunungan Tengah membutuhkan biaya mahal dan waktu yang sangat
panjang untuk membangun jaringan distribusi listrik sampai ke kampung-kampung
apabila kita membangun PLTA di salah satu tempat. Sedangkan tersedia ratusan
curug yang dapat dimanfaatkan untuk membangun PLTM atau PLTMH yang sangat
ramah dan cocok dengan kondisi wilayah serta mudah untuk didistribusikan.
Semua hal ini telah disiapkan dan dikaji bersama stakeholder
terkait-yang belum tinggal penyediaan dana dan pelaksanaan. Apalagi dalam
Perpres 40/2013 juga telah ditetapkan bahwa membangun ruas-ruas tertentu
dalam jalan P4B dengan mendayagunakan Satuan Zeni TNI yang terbukti andal,
cepat, dan diterima masyarakat. Komisi I DPRI juga merestui pemanfaatan
Satuan Zeni TNI untuk membuka ruas-ruas P4B ini. Penggunaan Zeni TNI ini
bertujuan meminimalkan pengaruh para kontraktor pendatang yang menjamur di
Tanah Papua.
Sayang, semua konsep dasar yang sangat diterima untuk membuka
wilayah Pegunungan Tengah ini pada 2014 tidak didanai. Akibatnya, Satuan Zeni
TNI yang telah menggelar peralatan untuk membuka wilayah ini harus kembali
sebelum tugasnya dalam Perpres 40/2013 dapat diselesaikan. Padahal,
menyiapkan kondisi psikologis masyarakat agar mudah menerima satuan-satuan
TNI terlibat dalam pembangunan di pedalaman Papua sangatlah sulit.
Andai kata pemerintah serius dan semua itu bisa terwujud, tidak
hanya persoalan harga semen, tapi juga harga BBM dapat dibeli dengan harga
yang ditetapkan pemerintah. Berbagai macam barang kebutuhan pokok bisa lebih
murah, perekonomian rakyat bisa menggeliat, pendidikan akan dapat berjalan,
demikian pula pelayanan kesehatan yang sangat didambakan masyarakat.
Persoalan besarnya adalah inkonsistensi pemerintah dalam mendanai program
yang telah dibuatnya. Semoga pemerintah baru tidak terjebak dalam
inkonsistensi yang sama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar