Politik
Kenaikan Harga BBM
Ali Rif’an ; Mahasiswa
Pascasarjana UI
|
KORAN
JAKARTA, 12 November 2014
Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tinggal menunggu waktu
sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Subsidinya sudah
menjadi kanker bangsa dan membuat persediaan anggaran negara lumpuh.
Subsidi lima tahun terakhir telah mencapai 1.300 triliun rupiah.
Ini sebuah angka sangat fantastis karena uang untuk kesejahteraan rakyat saja
tak sampai 1.000 triliun rupiah. Ketimpangan inilah yang membuat Presiden
Jokowi “ngotot” supaya harga minyak dinaikkan.
Subsidi selama ini hanya dinikmati sekelompok kelas menengah.
Contoh, rakyat di kampung dan di desa-desa paling banter menghabiskan premium
2 liter per hari, sementara kelas menengah di kota menggunakan mobil sehingga
sehari dapat menghabiskan 15-an liter. Dalam konteks inilah, telanjang
terlihat subsidi BMM sesungguhnya lebih dinikmati kaum berduit, bukan wong
cilik.
Bila subsidi untuk memperbaiki infrastruktur, irigasi, gedung
sekolah , ataupun pinjaman usaha kecil menengah (UKM) sangat bagus. Kenaikan
BBM sangat rasional. Meski menjadi pil pahit bagi pemerintahan Jokowi-JK,
sangat menyehatkan. Apalagi kenaikan diikuti program bantalan sosial untuk
warga miskin, seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar
(KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Kartu-kartu itu diharapkan tepat sasaran. Ini sejalan dengan
gagasan Jokowi saat kampanye yang ingin mengutamakan pemerataan ketimbang
pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, di tengah kerasnya dinamika politik
belakangan, kebijakan Presiden Jokowi tersebut menuai tantangan dan hambatan
bila tak dilakukan secara ekstrahati-hati dan strategi jitu.
Adangan Politik
Ada tantangan kenaikan ini, di antaranya membuat citra Presiden
Jokowi turun. Hal itu terlihat dari mulai banyaknya demo penolakan. Sebab,
selain tidak semua orang paham alur kenaikan harga BBM, penarikan subsidi
sangat berimplikasi pada sektor ekonomi lainnya, seperti biaya transportasi
dan harga bahan pokok.
Maka, salah satu strategi mengatasinya adalah dengan mempercepat
bantalan sosial berupa dana tunai masyarakat melalui program tiga kartu tadi,
supaya 15,5 juta keluarga miskin tidak terlalu terdampak kenaikan. Jika
pencairan dana bantalan sosial terlambat dari kenaikan harga BBM, kemungkinan
bisa terjadi gejolak.
Kemudian, dari sisi internal, dari partai pengusung utama
Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sejauh ini, partai PDIP belum memberi sikap
resmi mendukung atau menolak. Malah, beberapa politisi PDIP secara lantang
menolak niat baik pemerintah menaikkan BBM, seperti Effendi Simbolon dan
Rieke Diah Pitaloka.
Mereka menyatakan dalam sejarahnya, sebagai partai wong cilik,
PDIP menentang keras kenaikan harga selama pemerintahan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Langkah Presiden Jokowi tentu dianggap bertabrakan dengan
sikap politik PDIP masa lalu. Apalagi saat menjadi oposan, PDIP pernah walk
out dari sidang paripurna pembahasan APBN-P 2012 dan meluncurkan buku putih.
Isinya rumusan postur APBN-P 2013 bayangan yang menjelaskan bahwa
pemerintahan SBY sebenarnya bisa mencari sumber-sumber lain untuk menutup
biaya subsidi BBM.
Fakta seperti itu tentu membuat Jokowi dilematis. Jalan
keluarnya, Jokowi harus mampu menyatukan persepsi partai pengusung dan
anggota KIH: Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, dan
Partai Persatuan Pembangunan. Mereka harus duduk bareng dan kompak mendukung
keputusan pemerintah menaikkan BBM. Jangan sampai penolakan justru datang
dari internal partai koalisi.
PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi sudah seharusnya
mendukung kebijakan pemerintah, bukan malah monolaknya. Riak-riak penolakan
dari internal PDIP justru akan dimanfaatkan para penumpang gelap untuk mengadu
domba Presiden Jokowi dengan sejumlah elite PDIP.
Dari sisi eksternal, tantangan mengadang dari partai oposisi
yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KPM). Beberapa partai oposisi,
termasuk Gerindra, telah secara lantang menolak kenaikan BBM. Ini tentu
menjadi adangan tersendiri mengingat pengurangan subsidi yang rencananya
dilakukan secara bertahap tersebut membutuhkan persetujuan DPR karena
berkaitan dengan APBN.
Bila melihat konfigurasi koalisi pendukung pemerintah saat ini,
tentu upaya mendapat dukungan parlemen butuh kerja keras. Maklum, koalisi
pemerintah terdiri dari KIH bila diakumulasikan hanya memiliki 247 kursi.
Sementara kubu oposisi yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Gerindra,
Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera memiliki kekuatan 252 kursi
di parlemen. Dengan konfigurasi seperti itu, bisa dipastikan keputusan
menaikkan BBM dilakukan secara voting, KIH bisa kalah. Itulah tantangan
politik yang tak boleh dianggap sepele oleh Presiden Jokowi.
Karena itu, sebagai solusi, Presiden Jokowi harus mampu
menyakinkan partai oposisi agar mau mendukung kebijakannya. Komunikasi
politik yang cair harus dibangun antara eksekutif dan legislatif. Jika tetap
buntu, Presiden Jokowi dapat melakukan lobi-lobi politik dengan Partai Demokrat
yang mengklaim diri netral atau pengimbang.
Dengan 61 kursi, Demokrat memiliki posisi penting dalam
menentukan bandul politik di parlemen. Bila perlu, Presiden Jokowi menarik
Demokrat menjadi mitra koalisi supaya kebijakan-kebijakan pemerintah mendapat
dukungan dari parlemen.
Sebagai presiden yang mendapat dukungan penuh dari rakyat, kita
berharap Jokowi tidak ragu untuk segera menaikkan harga BBM. Demi
menyelamatkan perekonomian nasional, kebijakan ini, meski sangat berisiko
terhadap citra pemerintah, tetap harus diambil. Kita tak ingin masalah
subsidi BBM yang menjadi perkara laten bangsa terus menyandera anggaran
negara. Sudah saatnya masalah laten dari tahun ke tahun itu dihentikan
menjangkiti agar bangsa ini segera tersembuhkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar