Jumat, 14 November 2014

Politik Kenaikan Harga BBM

Politik Kenaikan Harga BBM

Ali Rif’an  ;  Mahasiswa Pascasarjana UI
KORAN JAKARTA, 12 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tinggal menunggu waktu sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Subsidinya sudah menjadi kanker bangsa dan membuat persediaan anggaran negara lumpuh.

Subsidi lima tahun terakhir telah mencapai 1.300 triliun rupiah. Ini sebuah angka sangat fantastis karena uang untuk kesejahteraan rakyat saja tak sampai 1.000 triliun rupiah. Ketimpangan inilah yang membuat Presiden Jokowi “ngotot” supaya harga minyak dinaikkan.

Subsidi selama ini hanya dinikmati sekelompok kelas menengah. Contoh, rakyat di kampung dan di desa-desa paling banter menghabiskan premium 2 liter per hari, sementara kelas menengah di kota menggunakan mobil sehingga sehari dapat menghabiskan 15-an liter. Dalam konteks inilah, telanjang terlihat subsidi BMM sesungguhnya lebih dinikmati kaum berduit, bukan wong cilik.

Bila subsidi untuk memperbaiki infrastruktur, irigasi, gedung sekolah , ataupun pinjaman usaha kecil menengah (UKM) sangat bagus. Kenaikan BBM sangat rasional. Meski menjadi pil pahit bagi pemerintahan Jokowi-JK, sangat menyehatkan. Apalagi kenaikan diikuti program bantalan sosial untuk warga miskin, seperti Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).

Kartu-kartu itu diharapkan tepat sasaran. Ini sejalan dengan gagasan Jokowi saat kampanye yang ingin mengutamakan pemerataan ketimbang pertumbuhan ekonomi. Meski begitu, di tengah kerasnya dinamika politik belakangan, kebijakan Presiden Jokowi tersebut menuai tantangan dan hambatan bila tak dilakukan secara ekstrahati-hati dan strategi jitu.

Adangan Politik

Ada tantangan kenaikan ini, di antaranya membuat citra Presiden Jokowi turun. Hal itu terlihat dari mulai banyaknya demo penolakan. Sebab, selain tidak semua orang paham alur kenaikan harga BBM, penarikan subsidi sangat berimplikasi pada sektor ekonomi lainnya, seperti biaya transportasi dan harga bahan pokok.

Maka, salah satu strategi mengatasinya adalah dengan mempercepat bantalan sosial berupa dana tunai masyarakat melalui program tiga kartu tadi, supaya 15,5 juta keluarga miskin tidak terlalu terdampak kenaikan. Jika pencairan dana bantalan sosial terlambat dari kenaikan harga BBM, kemungkinan bisa terjadi gejolak.

Kemudian, dari sisi internal, dari partai pengusung utama Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Sejauh ini, partai PDIP belum memberi sikap resmi mendukung atau menolak. Malah, beberapa politisi PDIP secara lantang menolak niat baik pemerintah menaikkan BBM, seperti Effendi Simbolon dan Rieke Diah Pitaloka.

Mereka menyatakan dalam sejarahnya, sebagai partai wong cilik, PDIP menentang keras kenaikan harga selama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Langkah Presiden Jokowi tentu dianggap bertabrakan dengan sikap politik PDIP masa lalu. Apalagi saat menjadi oposan, PDIP pernah walk out dari sidang paripurna pembahasan APBN-P 2012 dan meluncurkan buku putih. Isinya rumusan postur APBN-P 2013 bayangan yang menjelaskan bahwa pemerintahan SBY sebenarnya bisa mencari sumber-sumber lain untuk menutup biaya subsidi BBM.

Fakta seperti itu tentu membuat Jokowi dilematis. Jalan keluarnya, Jokowi harus mampu menyatukan persepsi partai pengusung dan anggota KIH: Partai Kebangkitan Bangsa, Partai NasDem, Partai Hanura, dan Partai Persatuan Pembangunan. Mereka harus duduk bareng dan kompak mendukung keputusan pemerintah menaikkan BBM. Jangan sampai penolakan justru datang dari internal partai koalisi.

PDIP sebagai partai pengusung utama Jokowi sudah seharusnya mendukung kebijakan pemerintah, bukan malah monolaknya. Riak-riak penolakan dari internal PDIP justru akan dimanfaatkan para penumpang gelap untuk mengadu domba Presiden Jokowi dengan sejumlah elite PDIP.

Dari sisi eksternal, tantangan mengadang dari partai oposisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KPM). Beberapa partai oposisi, termasuk Gerindra, telah secara lantang menolak kenaikan BBM. Ini tentu menjadi adangan tersendiri mengingat pengurangan subsidi yang rencananya dilakukan secara bertahap tersebut membutuhkan persetujuan DPR karena berkaitan dengan APBN.

Bila melihat konfigurasi koalisi pendukung pemerintah saat ini, tentu upaya mendapat dukungan parlemen butuh kerja keras. Maklum, koalisi pemerintah terdiri dari KIH bila diakumulasikan hanya memiliki 247 kursi. Sementara kubu oposisi yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera memiliki kekuatan 252 kursi di parlemen. Dengan konfigurasi seperti itu, bisa dipastikan keputusan menaikkan BBM dilakukan secara voting, KIH bisa kalah. Itulah tantangan politik yang tak boleh dianggap sepele oleh Presiden Jokowi.

Karena itu, sebagai solusi, Presiden Jokowi harus mampu menyakinkan partai oposisi agar mau mendukung kebijakannya. Komunikasi politik yang cair harus dibangun antara eksekutif dan legislatif. Jika tetap buntu, Presiden Jokowi dapat melakukan lobi-lobi politik dengan Partai Demokrat yang mengklaim diri netral atau pengimbang.

Dengan 61 kursi, Demokrat memiliki posisi penting dalam menentukan bandul politik di parlemen. Bila perlu, Presiden Jokowi menarik Demokrat menjadi mitra koalisi supaya kebijakan-kebijakan pemerintah mendapat dukungan dari parlemen.

Sebagai presiden yang mendapat dukungan penuh dari rakyat, kita berharap Jokowi tidak ragu untuk segera menaikkan harga BBM. Demi menyelamatkan perekonomian nasional, kebijakan ini, meski sangat berisiko terhadap citra pemerintah, tetap harus diambil. Kita tak ingin masalah subsidi BBM yang menjadi perkara laten bangsa terus menyandera anggaran negara. Sudah saatnya masalah laten dari tahun ke tahun itu dihentikan menjangkiti agar bangsa ini segera tersembuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar