Jumat, 07 November 2014

Politik, Etika untuk Mengabdi

Politik, Etika untuk Mengabdi

Yans PD Pattiwaela  ;  Pegiat di Lembaga Kajian Publik Institut Leimena
SINAR HARAPAN, 28 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Pada 28 Oktober 1928, para pemuda mengikrarkan sebuah sumpah sehingga Indonesia yang begitu majemuk dapat bersatu. Hari ini, gaungnya masih terdengar kuat di telinga kita. Sama kuatnya dengan sumpah yang baru saja diucapkan para pejabat negeri ini. Namun ada sebuah pertanyaan, akankah sumpah yang baru dikumandangkan mereka itu dapat terus menggema di hari esok?

Sumpah untuk menjalankan tugas dengan sebaik-baik dan seadil-adilnya, untuk memegang teguh Pancasila dan menegakkan Undang-Undang Dasar 1945, guna menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, rutin terdengar rakyat dan rutin pula ditemukan ingkar.

Ironis bahwa sumpah yang pernah dikumandangkan di hadapan Garuda dan Sang Saka Merah Putih tidak sedikit yang berlalu tanpa penghayatan dan bukti nyata. Rakyat Indonesia akhirnya pesimistis dan bertanya-tanya. Apakah para pemangku jabatan itu mengerti apa yang sesungguhnya mereka emban?

Apakah mereka paham apa artinya berpolitik dan menjadi politikus?
Untuk memahami tentang hal ini dengan lebih jauh, mari kita belajar dari Johannes Leimena,  tokoh Sumpah Pemuda yang juga seorang politikus dan negarawan. Selama 20 tahun berturut-turut ia mengabdi sebagai menteri kabinet dan tujuh kali menjadi pejabat presiden dari 18 kabinet yang berbeda. Walaupun pemimpin kabinet berganti, Om Yo (demikian ia biasa dipanggil), tetap dipilih untuk dapat berkontribusi dalam pemerintahan.

Rekan-rekannya dapat dengan jelas melihat integritas dan motivasi dasar dari Om Yo. Roeslan Abdulgani (Menko Hubungan dengan Rakyat tahun 1956-1957), misalnya, ia menyaksikan bagaimana seorang Leimena menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.

“Bagi beliau politik bukan teknik untuk berkuasa, melainkan etika untuk mengabdi,” ujar Roeslan Abdulgani yang lalu menceritakan pengabdian Om Yo dapat dilihat dari kepeduliannya yang tulus kepada orang-orang di sekitarnya. Ia lalu menceritakan sebuah kejadian kecil yang membekas dalam ingatannya.

Saat itu tanggal 19 Desember 1948 di Yogyakarta. Abdulgani sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit dengan kondisi tangan tertembak. Ia kemudian berpapasan dengan rombongan juru rawat yang ditawan tentara Belanda bersenjata lengkap. Om Yo berada di barisan paling depan dari para tawanan itu.

Ketika melihat Abdulgani di atas dokar dengan kondisi terluka, Om Yo yang sedang dalam kondisi tertawan tiba-tiba berteriak, “Roeslan! Kamu luka-luka? Cepat ambil tetanus! Ambil tetanus!”

Saat itu Abdulgani tidak mengerti apa yang dimaksudnya. Om Yo lalu dibentak tentara yang menawannya itu. Namun, ia tidak menghiraukannya dan terus berteriak, “Lekas tetanus! Lekas tetanus!” Senjata pun ditodongkan kepada Om Yo, tetapi toh masih saja terdengar suaranya, “Kuatkan dirimu!”

Kejadian ini berlangsung di sekitar Jalan Tugu Yogyakarta. Pada sore itu telah terjadi baku tembak antara Indonesia dengan Belanda. Perjumpaan sekilas dengan Om Yo saat krisis itu rupanya kuat melekat di hati Abdulgani. Ia mengatakan, “Beliau dapat gusar mengenai nasib buruk orang lain. Namun, manakala dirinya sendiri menghadapi kesulitan atau bahaya, dia bersikap tenang. Watak demikian itu saya melihatnya secara konsisten dalam karier Om Yo.”

Sementara itu, JE Siregar, rekan satu angkatan Om Yo dalam CSV (cikal bakal Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dan PMKI (Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia) menyatakan, “Ia selalu memihak dan membela yang miskin dan lemah.”

Keberpihakan pada yang lemah ini bukan isapan jempol semata karena buahnya tetap eksis di tengah masyarakat Indonesia sampai sekarang ini, yaitu melalui Bandung Plan (1951). Tahun 1954, istilah ini kemudian dikenal sebagai Leimena Plan yang merupakan cikal bakal dari puskesmas (pusat kesehatan masyarakat). Melalui skema Leimena Plan ini, rumah-rumah sakit besar diharuskan memiliki satelit-satelit berupa poliklinik-poliklinik di daerah pedesaan. Ini adalah sebuah tren yang diciptakan Om Yo agar terjadi pemerataan pelayanan kesehatan.

Om Yo memang berusaha menjadi hati nurani masyarakat. Ia betul-betul berjuang untuk kebaikan bangsa. Dedikasinya yang murni tercermin lewat gaya hidupnya yang sederhana, seperti yang disaksikan Sabam Sirait (politikus PDIP) yang tertulis dalam buku Johannes Leimena Mutiara dari Maluku.

Sikap hidup Dr J Leimena yang lurus dan sederhana, seperti pemimpin-pemimpin kita di awal Republik ini berdiri terlihat dari perabot rumahnya yang sederhana. Dalam hal makan pun beliau tidak bermewah-mewahan. Pernah saya lihat beliau memasak kembali nasi goreng yang belum habis dimakan di pagi hari untuk dimakan kembali pada siang hari.

Hal yang lainnya adalah ketika ia menjual rumahnya di daerah Menteng untuk membeli kembali rumah yang lebih sederhana di tempat lain. Kemudian sikapnya yang tegas dalam memisahkan hal-hal yang menyangkut pribadi untuk tidak memakai fasilitas dinas.

Sikap Om Yo tersebut tidaklah dibuat-buat. Melani Leimena Suharli (Wakil Ketua MPR 2009-2014), putri bungsu Leimena, menyampaikan hal yang senada tentang ayahnya. “Beliau mengajarkan untuk selalu bersikap sederhana di dalam hidup ini.” Pada acara “Johannes Leimena Memorial Lecture” (21 September 2010), Melani mengisahkan bagaimana ketika salah satu kakaknya meminta untuk dibelikan sebuah setelan jas. Sang ayah—yang sedang menjabat sebagai wakil perdana menteri II, orang nomor tiga di RI—malah menyarankan untuk membeli jas itu di pasar loak di Jalan Surabaya untuk mendapatkan harga yang lebih murah. Didikan yang diberikan di dalam keluarganya ini membuka mata Melani bahwa bagi Om Yo, jabatan hanyalah sebuah amanah dan politik bukanlah sarana untuk berkuasa.

Om Yo membuktikan, sumpah yang pernah dikumandangkannya bagi Indonesia ketika usia muda dulu tetap bertahan dan rasa cintanya pada Indonesia tidak luntur. Ia mengabdi kepada negara karena sebuah panggilan suci untuk mengabdi bagi nusa, bangsa, dan negara. Om Yo berpolitik dengan sebaik-baiknya. Saat ini ia dikenang sebagai negarawan dan pahlawan nasional. Cerita akhir apa yang nanti dimiliki para pejabat negeri ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar