Jumat, 07 November 2014

Defisit Demokrasi Perwakilan

Defisit Demokrasi Perwakilan

Arif Novianto  ;  Peneliti Politik di Bulaksumur Empat, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Sidang paripurna Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang berlangsung pada 26 September 2014 kembali mencuatkan pertanyaan besar tentang keberpihakan wakil rakyat serta relevansi demokrasi perwakilan.

Itu karena berdasarkan opini publik, mayoritas rakyat Indonesia menyetujui pilkada langsung. Alhasil, mereka merasa dikhianati wakilnya di parlemen. Intrik politik serta mekanisme voting di sidang paripurna telah memutuskan pilkada melalui DPRD, artinya bertolak belakang dengan kehendak mayoritas rakyat.

Ini berarti rakyat dalam konteks demokrasi liberal di Indonesia sekarang ini tidak lagi berkuasa sebagaimana seharusnya. Melalui sistem demokrasi keterwakilan, rakyat harus menyerahkan aspirasi dan sikap politiknya kepada yang namanya wakil rakyat. Sebelumnya, pemilu digunakan untuk menentukan para wakil rakyat ini. Keadaan tersebut membuat suara rakyat terfilterisasi menjadi hanya sebagai tuntutan kepada wakil rakyat agar mendengarkan aspirasi mereka.

Ketika para wakil rakyat tidak memenuhi aspirasi dari rakyat yang memilihnya menjadi wakil di pemilu, dalam sistem demokrasi liberal ini, rakyat tidak dapat serta-merta mencabut dukungan suaranya. Artinya, suara dari rakyat tidak dapat ditarik kembali atau rakyat tidak memiliki kedaulatan untuk mengganti para wakilnya yang tidak selaras dengan aspirasi mereka.

Sebenarnya, rakyat dapat menurunkan wakilnya tersebut jika mampu bersatu untuk berdemonstrasi, namun keadaan tersebut sulit terjadi.

Para wakil rakyat mungkin dapat berdalih, mereka juga tidak serta-merta memenuhi semua aspirasi rakyat karena yang memilihnya ada banyak dan tak diketahui secara pasti siapa saja. Di sinilah konteks dari ideologi dan partai politik (paprol) menjadi penting. Melalui payung ideologi inilah, harusnya rakyat dengan wakilnya mampu bergerak bersama untuk memperjuangkan sikap politik mereka. Namun, ideologi dalam konteks demokrasi sekarang sudah hampir tak ada, yang muncul adalah pragmatisme dan oportunisme.

Ketidakberpihakan para wakil rakyat kepada rakyat yang memilihnya ini dipengaruhi biaya politik yang mahal dan logika modal. Dalam demokrasi liberal, para bangsawan dan orang kaya telah berada 1.000 langkah terdepan untuk memenangi pemilu dibandingkan rakyat kecil. Kesetaraan dalam bidang politik untuk dapat dipilih dan memilih akibatnya terdistorsi oleh ketimpangan kekuatan ekonomi.

Hal tersebutlah yang ditakuti Soekarno dari demokrasi liberal. Artinya, para orang kaya dapat menggunakan kekuatan uangnya guna membentuk opini publik melalui media massa, bahkan untuk membeli suara rakyat agar memilihnya. Sementara itu, pengetahuan dan kesadaran politik dari rakyat yang masih rendah (sebagian besar) membuatnya mudah dipengaruhi. Akhirnya, rakyat ini kemudian menentukan wakilnya tidak secara murni, tetapi telah dipengaruhi arus informasi serta kekuatan uang. Hal tersebutlah yang membuat rakyat sering salah dalam menentukan wakil. Dalam logika tersebut, bagi wakil rakyat, modal menjadi aspek tertinggi terpilihnya mereka dibandingkan suara rakyat.

Keadaan tersebutlah yang membuat ada kecenderungan para wakil rakyat dalam setiap tindakannya lebih berdasarkan uang atau keuntungan, demi pengembalian modal politik dibandingkan kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Modal adalah nomor satu, sedangkan keberpihakan kepada rakyat nomor kesekian. Akan tetapi, tidak semua wakil rakyat bertindak demikian. Ada beberapa wakil rakyat yang tidak menomorsatukan modal karena terpilihnya ia tidak karena faktor itu.

Kita dapat melihat perdebatan antara dua filsuf, yaitu Plato dengan Aristoteles, mengenai kecenderungan aspirasi rakyat dengan wakilnya. Bagi Plato, aspirasi rakyat tidak penting karena elite atau penguasa sebagai wakil rakyat memiliki pengetahuan yang jauh melampaui pengetahuan rakyat kebanyakan. Karena itu, mereka lebih mampu membuat keputusan yang lebih baik dibandingkan rakyat yang cenderung kurang berpengetahuan luas.

Berbeda dengan Plato, Aristoteles menganggap, aspirasi rakyat itu penting. Kebijaksanaan (wisdom) rakyat lebih superior ketimbang sekelompok kecil penguasa. Rakyat juga orang yang harus menerima setiap keputusan dari pemerintah maka di sanalah mereka pasti tahu dan dapat berpendapat sesuai keinginannya.

Pendapat dari Aristoteles dalam hal ini lebih relevan dibandingkan Plato. Hal yang terpenting dari pendapat Aristoteles agar terjadi adalah kesadaran politik dari rakyat sehingga memunculkan keterlibatan politik dari rakyat. Itulah sebenarnya esensi utama demokrasi.

Namun, menciptakan kesadaran rakyat bukanlah proses sekejap mata. Diperlukan pembukaan ruang partisipasi politik bagi rakyat untuk membimbingnya mencapai kesadaran, seperti dengan memberikan ruang kepada rakyat untuk aktif memilih langsung, menyokong, juga mengkritik pemimpinnya. Jadi, wacana dedemokratisasi untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD tak lagi dipilih secara langsung oleh rakyat adalah bentuk penutupan ruang partisipasi politik rakyat. Artinya, itu turut memundurkan demokrasi.

Alhasil, kesadaran politik dari rakyat inilah yang akan membuatnya berpijak kepada ideologi sebagai pengikat, bertindak untuk memilih wakil rakyat yang benar-benar seideologi dengan mereka dan dapat menghancurkan mitos demokrasi perwakilan selama ini yang dianggap sebagai sebuah sistem politik modern yang terbaik.

Ketika demokrasi perwakilan tetap berjalan dengan demokrasi liberal dan kapitalisme, sudah pasti itu akan menguntungakan para elite dan merugikan rakyat. Kesadaran politiklah yang akan membuat rakyat dapat menentukan sistem demokrasi yang terbaik bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar