Minggu, 09 November 2014

Antisipasi Ebola

Antisipasi Ebola

Tjandra Yoga Aditama  ;  Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian Kesehatan
KORAN TEMPO, 08 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Baru-baru ini perhatian kita tertuju kepada dua warga Jawa Timur yang baru pulang dari Liberia dan kemudian mengalami demam. Walaupun demam banyak penyebabnya (malaria, DBD, flu, dan lainnya), karena pasien tersebut baru pulang dari Liberia, dugaan ebola juga dipertimbangkan. Kita bersyukur bahwa hasil laboratorium dalam kedua kasus ini ternyata negatif.

Sampai awal November 2014, sudah lebih dari 13.000 kasus ebola terjadi di delapan negara (di Afrika, Eropa, dan Amerika) dan sekitar 5.000 orang meninggal dunia. Sejauh ini sudah terjadi 250 mutasi pada virus penyebab ebola ini, dan belum ada vaksin serta antivirus yang benar-benar teruji.

Melihat tingkat penyebarannya, negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi empat kategori. Yang pertama adalah negara episentrum ebola 2014, yaitu Liberia, Guinea, dan Sierra Leonne, yang sudah mengalami penularan luas dalam masyarakatnya. Kategori kedua adalah negara-negara yang berbatasan darat dengan negara episentrum. Contoh kategori kedua adalah Mali, yang pada pertengahan Oktober menjadi negara tertular ebola karena ada seorang anak naik bus dari negara terjangkit dan datang di Mali dengan gejala mimisan dan lainnya. Ini kasus ebola pertama di Mali.

Kategori ketiga adalah negara yang punya hubungan penerbangan langsung dengan negara terjangkit. Selama ini ada 39 penerbangan langsung dari tiga negara terjangkit, dan penerbangan langsung itu hanya ke negara Afrika lain, Eropa, dan Amerika Serikat. Dengan penerbangan langsung inilah dua warga Amerika Serikat itu terbang, lalu sesudah beberapa hari di Amerika Serikat baru gejala ebolanya muncul. Bahkan perawat yang menangani salah seorangnya tertular.

Kategori keempat adalah negara-negara lain yang tidak berbatasan langsung dan tidak ada penerbangan langsung dari tiga negara terjangkit. Asia, termasuk Indonesia, termasuk dalam kategori ini.

Risiko tertular tentu jauh lebih tinggi pada kelompok negara-negara kategori kedua dan ketiga. Dan, pada kenyataannya, mereka (Amerika Serikat dan Spanyol) memang sudah tertular. Kita masih akan mengikuti bagaimana perkembangan situasi epidemiologi dan penyebaran ebola dari waktu ke waktu. Namun kesiapan antisipasi setiap negara yang sesuai dengan proporsinya sangatlah penting.

Di negara-negara yang menjadi episentrum penyakit, koordinator nasional bahkan dipimpin oleh kepala negara, atau pejabat tinggi tertentu yang mampu melakukan koordinasi lintas sektor dengan baik. Menghadapi wabah yang meluas di suatu negara, sektor kesehatan harus didukung oleh sektor lain di pemerintahan dan swasta. Untuk Indonesia, skenario hampir serupa pernah dilakukan pada pembentukan Komite Nasional Pengendalian Flu Burung beberapa tahun lalu, serta Komando Pembasmian Malaria yang diluncurkan Presiden Sukarno dulu.

Sementara itu, kelompok kerja atau pos komando harus dikendalikan oleh tim kesehatan masyarakat yang punya pengetahuan dan kepemimpinan penanggulangan penyakit menular yang luas. Tim ini akan melakukan kegiatan sehari-hari di lapangan, terkoordinasi dengan baik dari tingkat nasional sampai daerah.

Di lapangan, setidaknya harus ada lima kegiatan penting. Pertama adalah mekanisme di bandara atau pintu masuk negara, seperti yang sudah dilakukan bandara kita. Beberapa negara malah merapkan pembatasan atau pelarangan visa dari negara terjangkit ebola, seperti yang pernah dilakukan pemerintah Arab Saudi pada musim haji lalu, atau juga pada minggu-minggu ini yang dilakukan pemerintah Kanada dan Australia. Contoh yang agak ekstrem dilakukan pemerintah Korea Utara, yang pada akhir Oktober menyebutkan akan mengkarantina semua penumpang (dari negara mana pun) selama 21 hari sejak mendarat di negara itu.

Di Indonesia sudah ada sekitar 100 rumah sakit yang tadinya disiapkan untuk flu burung, yang kini juga dapat digunakan untuk penyakit seperti ebola ini. Ada tiga aspek yang harus dijamin dalam pelayanan di rumah sakit, yaitu petugas yang berdedikasi (karena penyakit amat menular) dan terlatih, gedung dan alat yang memadai (termasuk alat pelindung diri APD), dan standar kerja (SOP), termasuk mekanisme pengumpulan dan pembuangan bahan menular berbahaya yang sudah dibuat dengan jelas, rinci, dan dikuasai semua pihak terkait.

Kegiatan ketiga yang penting adalah laboratorium yang akan memastikan ada-tidaknya virus ebola. Selain kemampuan staf, alat dan aspek sarana biocontainment, biosafety, dan biosecurity harus terjamin. Harus disiapkan pula mekanisme pengiriman sampel dari rumah sakit ke laboratorium pemeriksa.

Selanjutnya, surveilans epidemiologi dan penelusuran kontak, atau pelacakan siapa saja yang pernah bersama pasien selama dia sakit sehingga mungkin sudah tertular. Kegiatan ini memerlukan ketekunan dan kecermatan seperti seorang detektif, agar semua potensi penularan penyakit dalam masyarakat ditemukan.

Last but not least, penjelasan intensif ke masyarakat. Pemahaman masyarakat akan membuat kita semua waspada tanpa perlu takut berlebihan. Pada situasi krisis kesehatan, media biasanya memerlukan sumber berita resmi yang selalu memberi informasi sahih dan tepat waktu, serta memiliki strategi risiko komunikasi yang memadai.

Kita semua tentu perlu waspada!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar