Jumat, 21 November 2014

Pengalihan Subsidi BBM

                                          Pengalihan Subsidi BBM

Marwan Batubara  ;   Direktur Eksekutif IRESS
KORAN SINDO,  20 November 2014
                                                                                           
                                                                                                                       


Akhirnya sejak Selasa 18 November 2014, pukul 00.00 WIB pemerintah menaikkan harga BBM, premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 (30,77%) dan solar Rp5.500 menjadi Rp7.500 (36,36%).

Dalam pengumuman, pemerintah masih coba menghindari menggunakan kata “menaikkan harga”, dengan ungkapan “mengalihkan subsidi BBM untuk program produktif”. Tulisan ini membahas apakah waktu penaikan harga dengan janji kampanye sudah tepat dan pengalihan subsidi untuk program produktif memang akan terlaksana.

Masih melekat dalam ingatan kita bahwa saat kampanye Pilpres 2014 Jokowi pernah berjanji akan memberantas mafia dan membenahi tata niaga migas. Saat ini karena masih berperannya mafia migas dan belum transparannya perhitungan harga pokok produksi BBM, nilai subsidi BBM yang harus ditanggung APBN akan lebih besar dari nilai sebenarnya. Apalagi, cukup banyak kalangan yang meyakini bahwa kerugian negara akibat keterlibatan mafia dalam tata niaga migas berkisar antara Rp40 triliun hingga Rp50 triliun per tahun.

Pengalaman dari pemerintahan sebelumnya menunjukkan masalah mafia migas sering mengemuka dalam ranah publik menjelang dikeluarkannya kebijakan kenaikan harga BBM. Namun setelah penaikan harga BBM dieksekusi, pemerintah kembali surut untuk memberantas. Bahkan DPR periode 2004-2009 pernah membentuk Pansus BBM, yang salah satu tujuannya adalah untuk memperbaiki tata niaga migas dan memberantas mafia. Ternyata Pansus BBM DPR ini pun terbukti gagal mencapai tujuan mulia yang dicanangkan.

Fakta di atas menunjukkan bahwa peran mafia migas memang sangat kuat sehingga dapat memengaruhi kebijakan pemerintah hingga pusat-pusat kekuasaan, bahkan hingga level tertinggi. Oleh sebab itu, sudah sepantasnya kita menagih janji kampanye Jokowi untuk bersikap sangat serius memberantas mafia migas.

Kebijakan BBM dan sektor energi sangat vital bagi negara dan dapat berpengaruh pada hampir seluruh sektor kehidupan rakyat. Karena itu, Jokowi seharusnya memulai pemberantasan mafia migas terlebih dahulu sebelum menetapkan kebijakan penaikan harga BBM. Apalagi, dengan terjadinya penurunan harga BBM dunia akhir-akhir ini dan bahkan untuk beberapa bulan ke depan, tersedia cukup waktu bagi Jokowi dan anggota kabinetnya untuk bekerja terlebih dahulu memberantas mafia migas dibanding menaikkan harga BBM.

Ternyata Jokowi lebih memilih membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat dibanding membasmi parasit yang menggerogoti uang rakyat puluhan triliun rupiah setiap tahun. Alih-alih mengintensifkan upaya pemberantasan mafia migas, ternyata Jokowi memulai bulan pertama pemerintahannya dengan rencana impor minyak dari Angola yang ditengarai “berbau mafia” pula.
                                                                                                         
Kita sangat khawatir, jangan-jangan sikap pemerintahan Jokowi terhadap mafia migas sama pula dengan sikap pemerintahan sebelumnya, sehingga mafia migas tetap eksis menjalankan agendanya dan rakyat terus menjadi korban. Karena harga BBM telah telanjur dinaikkan, kita hanya tinggal berharap Presiden Joko Widodo yang mengaku pro “wong cilik“ tetap konsisten berupaya maksimal memenuhi janji memberantas mafia migas.

Program Produktif

Terkait dengan rencana pengalihan sebagian besar subsidi BMM ke sektor produktif, tadinya penulis pun bersikap sama dengan masalah pemberantasan mafia migas. Penulis meyakini bahwa seharusnya pemerintah menyiapkan dulu berbagai blueprint dan daftar program-program konkret sektor produktif tersebut berikut target pencapaian dan perkiraan anggarannya, sebelum kenaikan harga dilakukan.
                                          
Dalam hal ini pun, program-program tersebut harus memprioritaskan solusi masalah energi, transportasi dan infrastruktur dasar dibandingkan menjalankan program-program tanpa arah, apalagi jika ditumpangi dengan program pencitraan. Pada 2006, pemerintah menerbitkan Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Bauran Energi, yang antara lain mencanangkan porsi penggunaan gas dan energi baru terbarukan (EBT) yang terus meningkat.

Dalam kebijakan tersebut, pada 2025, porsi EBT dan gas akan meningkat masing- masing menjadi 25% dan 30%, dari porsi bauran 6% dan 20% pada saat ini. Agar target bauran EBT tercapai, antara perlu disiapkan rencana produksi listrik panas bumi, bahan bakar nabati (BBN), sel surya, listrik tenaga air secara masif dan berkelanjutan.

Dalam kurun waktu tersisa yang tinggal 10 tahun, tampaknya mustahil target produksi porsi EBT yang saat ini masih pada level 78 juta setara barel minyak (SBM) menjadi 545 juta SBM pada 2025 (peningkatan 700%). Target hanya dapat dicapai jika pemerintah berkomitmen sangat kuat dan melakukan berbagai program terobosan, termasuk memprioritaskan penggunaan penghematan subsidi BBM untuk memproduksi EBT secara masif.

Untuk energi gas, porsinya dalam energy mix dicanangkan meningkat dari sekitar 300 SBM (2013) menjadi 500 SBM (2025). Agar penggunaan gas untuk industri, PLN dan transportasi darat meningkat signifikan, misalnya dari sekitar 30.000 kendaraan saat ini menjadi 2-3 juta dalam lima tahun ke depan maka perlu dibangun ribuan kilometer jaringan pipa transmisi dan distribusi gas, sejumlah terminal penerima LNG, serta ribuan SPBG.

Dengan demikian, target bauran energi dapat dicapai dan impor BBM dan minyak mentah pun berkurang. Namun, seperti halnya untuk memproduksi EBT, target tersebut hanya dapat dicapai jika pemerintah mempunyai komitmen yang kuat untuk menetapkan blueprint, program yang berkelanjutan dan anggaran yang besar dari penghematan subsidi BBM.

Uraian di atas menunjukkan bahwa jika ingin mengamankan diri dari potensi krisis energi dan krisis ekonomi akibat defisit perdagangan minyak/BBM, defisit neraca berjalan dan defisit APBN, langkah solusi masalah energi secara komprehensif sangat dibutuhkan. Program-program produktif yang dicanangkan Jokowi mestinya justru lebih diprioritaskan untuk mengatasi masalah energi dibandingkan hal-hal yang tidak terarah atau bahkan sarat pencitraan politik.

Selama ini saat penaikan harga BBM pada 2003, 2005, 2008, dan 2013, pada umumnya pemerintah hanya fokus pada program perlindungan sosial berupa BLT dan BLSM, serta pencitraan politik. Presiden dan menteri-menteri seolah berlomba menggunakan dana dari penghematan subsidi BBM tanpa arah, tidak memperhatikan program prioritas, dan abai pada sektor energi dan transportasi yang seharusnya menjadi prioritas. Akibatnya telah kita rasakan sekarang, bahwa impor migas akibat tidak tercapainya bauran energi telah menyebabkan triple deficit dan nilai tukar rupiah terus merosot.

Pengalaman di atas menjadi alasan mengapa kita menuntut agar pemerintah menyiapkan terlebih dahulu berbagai blueprint dan program-program produktif berkelanjutan berikut kebutuhan anggaran, terutama pada sektor energi, dibandingkan langsung menaikkan harga BBM.

Jika tidak, karena “ruang fiskal” membesar dan masing-masing sektor saling berlomba memanfaatkan, maka pengalihan subsidi BBM yang diakui akan digunakan untuk sektor produktif tidak akan bermanfaat optimal. Apalagi jika sudah disusupi kepentingan pencitraan seperti halnya program tiga kartu, KIP, KKP dan KIS, yang diusung Jokowi.

Bukankah anggaran pendidikan yang mencapai 20% APBN (Rp400 triliun) dapat mengakomodasi kebutuhan anggaran KIP? Maka akhirnya kita akan kembali terjebak ke dalam lingkaran permasalahan energi dan ekonomi yang tak terselesaikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar