Sisa
Subsidi BBM : Tetap Salah Sasaran
Bambang Setiaji dan Muslich
Hartadi ;
Bambang Setiaji - Rektor Universitas
Muhammadiyah Surakarta (UMS); Muslich Hartadi - Ketua Pusat Studi Transportasi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
|
KORAN
SINDO, 20 November 2014
Masalah
utama subsidi BBM seperti disampaikan berulang kali oleh pemerintah adalah
“salah sasaran”. Jadi dengan hanya menaikkan harga secara sama, masalah salah
sasaran dari sisa subsidi sama sekali belum teratasi.
Artinya
bahwa kelompok atas tetap menikmati sisa subsidi yang diperkirakan masih
sebesar hampir 150 triliun. Dengan peningkatan harga BBM ini supaya tidak
berulang di masa depan harus diakhiri dengan mendefinisikan target group.
Subsidi di masa depan akan membengkak lagi karena dua hal.
Pertama,
penurunan nilai rupiah yang selalu terjadi terhadap dolar sebagai patokan
harga impor BBM; dan kedua, kenaikan permintaan akan BBM dalam negeri.
Kenaikan harga BBM terjadi secara periodik sejak zaman Soekarno, Soeharto,
Gus Dur, Megawati, SBY, dan sekarang pada pemerintahan Jokowi-JK.
Sebesar
50% BBM bersubsidi dibeli kelompok atas, sisanya diduga digunakan kelompok
menengah, menengah-bawah, dan bawah yang pada masa depan setengahnya tidak
perlu disubsidi lagi. Dengan pengidentifikasian, subsidi BBM bisa dikurangi
pada tahap pertama 50% dan pada tahap berikutnya tinggal 25% lagi atau
sekitar di angka 70-100 triliun.
Apa yang
selalu disuarakan oleh gerakan anti neoliberalisasi adalah perlunya membuat
diferensiasi bahwa rakyat memiliki daya beli yang berbeda. Lebih-lebih
melihat Indonesia jurang antara kaya dan miskin, Indonesia barat dan timur,
kota dan desa semuanya menunjukkan tanda jual ekonomi yang tidak makin reda,
tetapi makin hebat.
Hal
tersebut diperlihatkan oleh Gini rasio yang semakin meningkat pula. Dengan
demikian membuat target group untuk diberi perlakuan harga yang berbeda
adalah masuk akal dan sesuai dengan tata cara penggunaan uang negara. Di
sektor listrik dan gas, juga diberlakukan harga yang berbeda.
Peran BBM dalam Defisit Neraca
Berjalan
Dengan
bermain pada kesamaan harga dan membuka berapa pun jumlah konsumsi, dalam
jangka pendek efek harga tersebut akan mengurangi konsumsi BBM. Namun dalam
beberapa bulan, konsumsi diduga akan normal kembali karena BBM adalah
kebutuhan hampir pokok yang memiliki elastisitas harga tidak terlalu besar.
Dalam
lima tahun ke depan diprediksi bahwa lifting minyak dalam negeri akan terus
menurun dari 850.000 barel ke hanya 500.000 barel, sementara konsumsi akan
terus meningkat mungkin mendekati 2 juta barel per hari, seiring dengan
meningkatnya industri dan terutama konsumsi kendaraan bermotor.
Penjualan
mobil pada 2013 dan 2014 sekitar 1,2 juta setahun dan penjualan sepeda motor
lebih dari 8 juta setahun. Impor migas yang selalu meningkat menjadi sumber
defisit neraca berjalan, menurut Bank Indonesia, pada akhir2011neraca
berjalan masih positif USD1,6 miliar, dan pada 2012 turun menjadi minus
USD24,4 miliar dan memburuk lagi menjadi USD28,4 miliar pada 2013 dan terus
memburuk pada 2014.
Pada
komoditi nonmigas, neraca perdagangan sebenarnya selalu positif, tetapi
surplus itu tidak cukup untuk menutup defisit neraca migas dan juga neraca
jasa yang secara tradisional selalu negatif. Sampai berapa lama kita dapat
menanggung defisit ini? Jika konsumsi migas tidak dibatasi, dalam lima tahun ke
depan defisit neraca berjalan bisa mencapai USD50 miliar (Rp600 triliun).
Defisit
neraca berjalan akan ditutup dengan menyewakan aset kita yang berhubungan
dengan kekayaan alam, misal batu bara dan perkebunan yang keduanya dengan
cara membabat hutan, mengundang investasi asing untuk mengeksploitasi potensi
industri yang tentu saja dipilih yang paling menguntungkan.
Solusi yang Dimungkinkan
Perbedaan
era Jokowi dan presiden-presiden sebelumnya dalam hal BBM, bahwa; Pertama,
konsumsi BBM sudah sedemikian tinggi disertai penurunan produksi dalam
negeri. Kedua, bahwa BBM menjadi sumber defisit neraca berjalan.
Oleh
karena itu, Jokowi-JK tidak bisa hanya meniru presiden sebelumnya dengan
secara periodik menaikkan harga BBM bila subsidi sudah membengkak. Jokowi-JK
tidak mengalami permasalahan yang sama dengan presiden sebelumnya yang
diselamatkan bukan hanya APBN, melainkan neraca berjalan yang bersumber
migas. Apa inti dari defisit neraca berjalan?
Intinya
adalah mengonsumsi melebihi kemampuan menghasilkan, bangsa kita hidup terlalu
enak dibanding hasil karyanya. Malangnya bahwa hidup enak itu ditutup dengan
menjual komoditi berbasis alam dan menambahnya dengan menjual atau menyewakan
aset. Sambil
menunggu perbaikan atau transformasi produksi, masalah riil defisit neraca
berjalan yang disebabkan oleh neraca BBM tidak ada jalan lain kecuali dengan pembatasan konsumsi, hal yang tidak populer dalam era
ekonomi liberal berbasis kebijakan harga.
Pertama
setengah dari konsumen BBM bersubsidi adalah kelompok atas, ini harus
dikeluarkan lebih dulu dari daftar konsumen BBM bersubsidi. Dengan kata lain,
mereka ini harus membeli BBM nonsubsidi di pasar atau diberi wadah dengan
premium plus pada harga keekonomian.
Subsidi
yang masih Rp150 triliun bisa dikurangi lagi hanya Rp100 triliun saja, tetapi
diperuntukkan untuk kalangan bawah. Misalnya pemilik kendaraan roda dua dan
kendaraan umum. Jadi, kebijakan nonharga juga ampuh untuk menyelamatkan APBN.
Inti dari kebijakan nonharga adalah membatasi konsumsi walaupun hal itu
dibeli di pasar oleh konsumen swasta.
Kantor pajak kendaraan atau Samsat dengan bantuan kartu elektronik
dimungkinkan menjalankan misi yang cukup rumit ini. Namun demikian, kantor
ini sudah memiliki data yang lengkap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar