Jumat, 21 November 2014

Pendidikan Kembali ke Khitah

                                 Pendidikan Kembali ke Khitah

Z Arifin Junaidi  ;   Ketua Pengurus Pusat Lembaga Pendidikan Ma’arfi NU
KORAN SINDO,  20 November 2014
                                                                                           
                                                                                                                       


Kurikulum 2013 akan dievaluasi, begitulah pernyataan Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah (Menbuddikdasmen) Anies Baswedan, tak lama setelah menjabat menbuddikdasmen sebagaimana dilansir berbagai media.

Sebenarnya tak ada yang aneh dalam pernyataan itu, karena evaluasi untuk suatu kegiatan atau program adalah sesuatu yang sah bahkan suatu keharusan. Namun karena masyarakat kita sudah terbiasa dengan eufemisme, pernyataan itu dipahami sebagai “Kurikulum 2013 akan diganti”.

Maka anggapan bahwa “ganti pejabat ganti kebijakan” pun semakin kental. Kalangan yang selama ini “menentang” diberlakukannya Kurikulum 2013 menyambut gembira pernyataan “Kurikulum 2013 akan diganti”. Namun menurut hemat penulis, seperti halnya kalangan yang beranggapan “ganti pejabat ganti kebijakan”, evaluasi terhadap Kurikulum 2013 hendaknya tidak berujung pada diberlakukannya kurikulum baru.

Hal ini mengingat fakta bahwa Kurikulum 2013 baru saja diberlakukan. Itu pun belum di semua sekolah/ madrasah. Awal Oktober lalu, Kemendikbud menyatakan baru pada tahun ajaran 2015/2016 semua sekolah/madrasah ditargetkan menerapkan Kurikulum 2013.

Kurikulum merupakan suatu yang niscaya dalam pendidikan yang bagi bangsa dan negara kita merupakan amanat konstitusi yang tertuang pada amendemen UUD 1945 Pasal 31. Amanat konstitusi tersebut lebih lanjut dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Kurikulum suatu Keniscayaan

Untuk mencapai tujuan pendidikan sebagaimana amanat konstitusi yang dijabarkan dalam UU Sisdiknas, adanya kurikulum adalah keniscayaan. Karena kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan, sebagaimana batasan UU Sisdiknas.

Dengan demikian, kurikulum memiliki peranan yang sangat strategis dalam pencapaian tujuan pendidikan. Kurikulum merupakan sarana untuk mentransmisikan nilai- nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini bagi generasi muda.

Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan aspek-aspek lainnya senantiasa terjadi setiap saat dan tuntutan masyarakat dan zaman terus berubah, kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan. Selain itu, adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, maka pewarisan dan nilai-nilai dan budaya kepada siswa perlu senantiasa disesuaikan.

Dalam konteks inilah perubahan kurikulum dapat dipahami. Pendidikan mempunyai akar yang sangat panjang dan jauh dalam sejarah bangsa kita, seiring dengan perkembangan bangsa kita. Pada masa Hindu-Buddha, pendidikan dikenal dengan istilah “Karsyan “, sebuah tempat yang diperuntukkan bagi petapa dan untuk orangorang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri kepada dewa tertinggi.

Karsyan sendiri dibagi menjadi dua bentuk, yaitu patapan dan mandala. Patapan adalah tempat mengasingkan diri, atau bertapa, bagi seseorang dengan tujuan mencari petunjuk tentang apa yang dia inginkan. Sedangkan mandala adalah sebuah tempat suci untuk para pendeta, murid, dan pengikutnya untuk kegiatan keagamaan, dan pembaktian diri pada agama dan nagara. (Agus Aris Munandar “Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14-15 (1990)”). Pada masa Islam, pendidikan bisa dikatakan melanjutkan sistem pendidikan yang sudah berjalan pada masa sebelumnya dengan penyesuaian berdasarkan ajaran agamanya.

Pada masa Islam, tempat pendidikan yang semula bernama patapan, disebut pondok pesantren, tempat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman. Pesantren berarti tempat berkumpul atau tempat tinggal para santri yang sedang mencari bekal dan membentuk diri menjadi manusia baik-baik.

Pada masa Hindu-Buddha dan masa Islam, tujuan pendidikan adalah untuk mencari bekal diri dengan ilmu, keterampilan dan akhlak yang mulia untuk mencapai tujuan hidup sebagai manusia baik-baik; memanusiakan manusia. Itulah khitah pendidikan kita.

Pendidikan yang Mendiskriminasi?

Pada masa Hindu-Buddha dan masa Islam, lembaga pendidikan yang bernama sekolah belum dikenal. Sekolah pertama didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1817 di Jakarta, khusus untuk anak-anak Belanda, yang segera diikuti oleh pembukaan sekolah dikota-kota lain di Jawa.

Dalam statuta 1818 disebutkan bahwa sekolah harus dibuka di tiap tempat bila diperlukan oleh penduduk Belanda dan keadaan memungkinkan. Penjajah Belanda menerapkan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan menghalangi pertumbuhan pendidikan lokal masyarakat yang sudah ada, utamanya pondok pesantren.

Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.

Diakui sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda mampu melahirkan cerdik cendekia, yang di kemudian hari menjadi bumerang bagi Belanda dengan perjuangan mereka untuk membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah Belanda. Namun tak dapat dipungkiri, sistem pendidikan yang dikembangkan Belanda itu memorak-porandakan sistem pendidikan yang sudah berjalan sekian lama dan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Dari sistem pendidikan itu, kemudian lahir dualisme lembaga pendidikan, sekolah di satu sisi dan madrasah/pesantren di sisi yang lain. Selain itu, juga mengakibatkan munculnya dikotomi ilmu umum versus ilmu agama. Sistem pendidikan yang mendiskriminasi dan menghasilkan dikotomi yang dikembangkan pemerintah kolonial Belanda itulah yang dilanjutkan oleh pemerintah kita saat kita telah memproklamasikan kemerdekaan, danberlakuhingga sekarang.

Sistem pendidikan yang telah berjalan sebelum Belanda menerapkan sistem pendidikannya terbukti telah melahirkan manusia baik-baik, yang berilmu, berketerampilan, dan berakhlak mulia serta mandiri. Dalam kehidupan bangsa kita, yang harus diakui semakin terdidik sebagai hasil sistem pendidikan yang diterapkan, pelanggaran norma sosial, susila dan hukum semakin marak.

Korupsi makin merajalela dan menjadi- jadi, yang pelakunya kaum terdidik. Pengangguran terdidik semakin meningkat dan jumlah TKI di luar negeri juga jumlahnya terus melonjak dari waktu ke waktu. Kesenjangan kaya-miskin semakin melebar. Tawuran, kekerasan, kasus narkoba, dan pergaulan bebas juga menjamur di kalangan anak didik kita.

Dalam kasus-kasus pelanggaran norma sosial, susila dan hukum itu tak terdengar pelakunya dari kalangan madrasah/pesantren, kalaupun ada mungkin angkanya sangat kecil. Ini membuktikan bahwa sistem pendidikan madrasah/ pesantren, yang sesuai dengan khitah pendidikan bangsa, mampu mewujudkan tujuan pendidikan sesuai UU Sisdiknas, yaitu mengembangkan potensi anak didik untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,masyarakat, bangsa dan negara.

Apakah pemerintah serius ingin melaksanakan amanat UUD 1945 dalam mengusahakan dan menyelenggarakan pendidikan nasional? Kalau itu mau dilakukan, hal itu dilakukan pada tataran kurikulum. Karena pada tataran normatif batasan pengertian dan tujuan pendidikan tidak berbeda. Kembali ke khitah pendidikan, yakni memanusiakan manusia, adalah sebuah alternatif yang patut dipertimbangkan untuk menata pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar