Pendidikan
(Tanpa) Beretika
Arifandi Pakih Sati ; Studi
Pascasarjana Hukum Islam UIN Sunan Kalijaga
|
HALUAN,
12 November 2014
‘Manusia itu tidak akan menjadi manusia yang hakiki, kecuali dengan pendidikan.” Itulah kata Muhammad Abduh.
Tidak ada yang memungkiri bahwa
pendidikan itu penting untuk membentuk manusia, termasuk di Indonesia ini.
Masalahnya, dari tahun ke tahun, produk yang dihasilkan oleh pendidikan
Indonesia, masih perlu dipertanyakan. Anda tentu masih ingat dengan kasus
bully yang terjadi di sekolah dasar di Sumatera Barat. Anda tentu tidak akan
lupa dengan tawuran-tawuran yang dilakukan oleh para pelajar di Jakarta
dan berbagai daerah lainnya.
Kemudian, Anda juga mungkin
pernah menyaksikan sebuah photo yang beredar luas di dunia maya, dimana guru
sedang mengajar di depan kelas (sepertinya setingkat SMA), kemudian para
muridnya asyik dengan kegiatannya masing-masing. Ada yang tiduran, ada
yang main smartphone, dan ada yang leyeh-leyeh, tanpa memperhatikan sama
sekali penyampaian gurunya.
Dan belum lama ini, tersebar
berita di dunia maya di berbagai media online tentang beberapa anak
perempuan berjilbab yang pesta miras dan merokok di dalam angkot, yang di
bagian belakang angle photonya ada tulisan tauhid (laa ilaha illallah). Jikalau diruntut lebih jauh, tentu masalah
dan kasus produk pendidikan Indonesia ini, lebih banyak lagi.
Pendidikan yang berjalan di
negeri ini belum mampu membuat anak-anaknya menjadi manusia dalam artian
yang sebenarnya, yang mengenal ilmu dengan baik namun dengan etika yang
tinggi. Malahan, semakin “bergengsi” nama kurikulum yang diajarkan,
anak-anaknya semakin kehilangan etikanya.
Guru yang dalam kesehariannya
dikenal dengan pahlawan tanpa tanda jasa, tidak lagi mendapatkan penghormatan
selayaknya dari para muridnya. Bahkan, kerapkali diremehkan dan diacuhkannya,
layaknya pembantu yang dibayar tiap bulannya oleh majikannya. Mereka tidak
lagi memposisikan guru itu sebagai insan yang mulia, yang layak mendapatkan
segala bentuk penghormatan karena ilmu yang dimilikinya.
Jikalau diflash back ke zaman
dahulu, ditengah keterbatasan sarana-sarana pendidikan, orang-orang tetap
memposisikan guru dengan posisi yang terhormat. Jikalau bertemu, disapa.
Jikalau sakit, dibezuk. Bahkan, jikalau ia marah, maka para murid akan
menerimanya dan tidak berani membantahnya.
Sekarang, justru sebaliknya,
jikalau seorang murid bertemu dengan gurunya di jalan, maka ia mengabaikannya
saja seolah-olah tidak kenal. Bahkan, tidak ada lagi rasa segan kepada
gurunya. Jikalau ada rokok, maka ia akan mengeluarkannya dan sengaja menyalakannya
di hadapan kedua mata gurunya. Jikalau anak ini dinasehati atau diberikan
sedikit “pelajaran”, maka Hak Azazi Manusia (HAM) akan lansung dijadikan
tameng.
Membentuk Manusia
Indonesia Beretika
Kata Muhammad Quthb, pendidikan
adalah Fann Tasykil al-Insan (seni membentuk manusia). Yah, ia adalah seni
bagaimana membentuk manusia yang baik dan beretika, berilmu namun beradab.
Dalam konteks ke Indonesiaan,
gagalnya pendidikan etika ini, saya rasa bisa dilihat dilihat dari dua sisi:
Pertama, Pengajarnya. Saya
tidak meragui ada guru yang ikhlas mendidik anak-anaknya, dan kenyataannya
guru seperti inilah yang berhasil membuat anak muridnya menjadi sosok yang
sukses di masa depan. Namun, ada juga guru yang mengajar itu hanya untuk
mengejar materi belaka. Baginya, yang penting pelajaran tersampaikan, diterima
atau tidak diserahkan kepada para muridnya.
Tidak ada ketulusan agar para
muridnya menjadi manusia yang sukses dan beretika. Ia hanya mentransfer ilmu
(Transfer of Knowledge) namun tidak
mentransfer etika dan kepribadian (transfer
of personality).
Kesejahteraan guru itu penting,
dan ini adalah tugas pemerintah untuk memperhatikannya. Namun, jangan sampai
masalah ini merusak ketulusan seorang guru menjalankan kewajibannya
kepada para muridnya.
Kedua, Lingkungan. Kata Ibn
Khaldun, “ar-Rajulu Ibn Biatihi (seseorang itu anak lingkungannya).
Lingkungan yang didiami oleh seorang anak harus diperhatikan dengan baik.
Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang tidak beretika, walaupun gurunya sudah
bercapek-lelah mengajarkan etika, maka ia tidak akan mampu beretika dengan
baik. Namun, jikalau lingkungannya baik, walaupun gurunya tidak begitu baik
mengajarkan etika, maka ia tetap akan tampil dengan etika yang mulia.
Media juga harus diperhatikan.
Di zaman yang serba canggih ini, berbagai tontonan dan video tidak layak,
banyak ditonton oleh anak-anak yang belum layak untuk menontonnya.
Tayangan-tayangan itu bukannya mendidik para penontonnya menjadi sosok yang
lebih baik, baik dari segi ilmu maupun dari segi etika, malah membuatnya
semakin buruk.
Jikalau Anda menghidupkan televisi,
kemudian Anda mendapati tayangan kekerasan dan sejenisnya yang tidak layak
ditonton, maka matikan saja. Anda tidak usah menontonnya. Jangan merusak
pikiran keluarga Anda dan anak-anak Anda dengan tontonan seperti itu.
Inilah yang harus direnungkan
dalam kehidupan berbangsa. Generasi muda harus diselamatkan. Mereka
adalah asset masa depan bangsa. Jikalau mereka tumbuh dengan keadaan yang
tidak mengenal etika, maka lama-kelamaan bangsa ini akan berubah menjadi
bangsa yang “bejat”. Ya, bangsa yang “bejat”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar