Di Balik Target
Narkoba Kalangan Intelektual
Anang Iskandar ; Kepala Badan Narkotika Nasional
|
JAWA
POS, 20 November 2014
PENANGKAPAN
Prof Musakkir pekan lalu menjadi pemberitaan yang terus menuai komentar dari
segala kalangan, mulai masyarakat jelata hingga pimpinan negara. Hampir
seluruh komentar yang muncul bernada kecaman, kekecewaan, dan hal-hal pahit
lainnya. Tentu semua orang bertanya ada apa di balik ini semua.
Lagi-lagi
narkoba menyerang orang yang paham dengan dunia hukum dan boleh dibilang
pakarnya. Tentu ini jadi tamparan keras bagi dunia pendidikan. Betapa tidak,
seorang profesor yang dikenal agamais dan aktif dalam dunia olahraga akhirnya
tersungkur dalam dunia bejat narkoba. Lebih mirisnya lagi, si profesor
bersama seorang perempuan muda saat nyabu di kamar hotelnya.
Dalam
beberapa diskusi yang pernah penulis ikuti, diperoleh sebuah fenomena bahwa
penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu biasanya dibumbui kegiatan seks,
celakanya lagi kebanyakan seks bebas. Artinya, jika dilihat ke dalam kasus
ini, masyarakat wajar bisa banyak berkomentar tentang aksi bejat. Dalam
berbagai media, si profesor memang membantah dirinya melakukan pelanggaran
hukum dengan berbagai dalih. Tapi, urine dan darahnya telah membuktikan bahwa
dalam tubuhnya bersarang racun yang siap mengendalikan dirinya menjadi orang
yang bertingkah buruk.
Tapi,
apakah hujatan dan cacian yang datang bertubi-tubi kepada si profesor akan
menyelesaikan masalah? Apa yang harus kita lakukan adalah mengawal bagaimana
penegak hukum mendudukkan perkara ini dalam porsi yang benar. Artinya, apa
pun yang dilakukan penyidik, asal tidak menyalahi aturan dan bisa memberikan
efek jera, tentu harus kita dukung.
Hujatan
tak akan menyelesaikan masalah. Justru seharusnya kita memperkuat diri dan
keluarga serta lingkungan untuk tidak terperosok ke lubang narkoba. Apa
jadinya jika anak kita, orang tua kita, dan misalnya kebetulan menjadi figur
di tengah masyarakat, dijebak atau dijadikan target sindikat narkoba? Tentu
kejadian pahit bisa saja terjadi.
Jika mengikuti naluri emosi,
masyarakat mungkin puas jika si profesor dijebloskan ke dalam penjara. Tapi,
lagi-lagi, apakah itu bisa menyelesaikan masalah? Hukuman norma sosial
sepertinya sudah cukup menjadikan orang berpendidikan seperti Musakkir
menyesali apa yang telah dikerjakan. Tentu mending jiwa raganya dipulihkan,
baik dengan rehabilitasi maupun terapi lainnya, yang bisa segera membuat
fungsi manusianya kembali bertaji. Selalu ada kesempatan kedua untuk menjadi
orang yang lebih baik.
Menanggapi
kasus tersebut, kembali kita serahkan kepada kepolisian untuk melakukan
penyidikan yang sangat serius. Dan jangan hanya berorientasi pada
penghukuman, namun juga membongkar ada apa di balik motif sindikat ini untuk
menghancurkan orang-orang potensial dalam dunia pendidikan. Ini jauh lebih
penting untuk diungkap sehingga masyarakat semakin melek dan kian peduli akan
bahaya yang mengintai mereka.
Jangan-jangan
semua orang ahli di negeri ini akan jadi target racun narkoba dengan segala
bujuk rayu dan tipu daya. Tanpa sadar potensi intelektualitas akan jadi
mandul dan negara ini akan mudah dijajah serta dilemahkan. Kita pasti ingat
dengan peran candu di Tiongkok. Negeri besar itu akhirnya jatuh dan harus
tertatih-tatih untuk menata kembali. Kita pasti tidak ingin hal tersebut
terjadi di bumi pertiwi.
Saat ini penangkapan
orang-orang terkenal seolah hanya jadi bahan obrolan sepekan dan hilang
seiring dengan munculnya isu lain yang lebih menarik. Tentu bukan itu yang
diharapkan. Kesadaran dan kepedulian masyarakat harus makin tumbuh.
Masyarakat harus paham, masalah penyalahgunaan narkoba bisa menghancurkan
segala sendi kehidupan. Mulai kehancuran karir, rumah tangga, instabilitas
masyarakat, hingga bukan tidak mungkin menjadi duri dalam kemajuan sebuah
bangsa.
Penjara
atau tidak penjara memang selalu jadi pro dan kontra di tengah masyarakat.
Akan tetapi, yang harus kita sadari adalah hukum UU Narkotika yang kita punya
memiliki double track sistem
pemidanaan. Artinya, penyalah guna tersebut bisa dipenjara dan juga bisa
direhabilitasi. Itu adalah pilihan, bergantung bagaimana orientasi penegak
hukum memandangnya.
Namun, jika memang pecandu murni atau pecandu berat, tentu dia harus
segera diselamatkan. Penjara atau rehabilitasi adalah pilihan dan orientasi
penegak hukum akan menentukan hasil vonisnya. Tapi, jika rehabilitasi itu
ternyata lebih mujarab dan bisa mengembalikan Musakkir menjadi pribadi yang
baik serta berkontribusi lagi untuk bangsa, tentu itu harus jadi
pertimbangan. Lantas, bagaimana Anda melihatnya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar