Jumat, 07 November 2014

Pemuda, Bersumpah Lestarikan Bahasa Daerah

Pemuda, Bersumpah Lestarikan Bahasa Daerah

Fanny Henry Tondo  ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI) Jakarta
SINAR HARAPAN, 01 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Baru-baru ini kita memperingati Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober. Marilah kita berefleksi dalam perspektif kekinian. Sumpah Pemuda yang diikrarkan para pemuda 86 tahun silam memang perlu didengung-dengungkan terus dalam rangka persatuan bangsa. Namun, kalau dahulu mereka berikrar “menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia” maka tampaknya di era kekinian apalagi dengan adanya pengaruh globalisasi, jangan sampai melupakan pula bahasa etnik atau bahasa daerah.

Bahasa-bahasa daerah yang merupakan identitas para pemuda dewasa ini sudah semakin tergerus. Bahkan, puluhan bahasa diperkirakan mengalami kepunahan.

Tampaknya dalam konteks perkembangan zaman sekarang akibat pengaruh globalisasi yang makin kencang perlu dipertanyakan eksistensi bahasa daerah di Indonesia yang jumlahnya lebih dari 700 bahasa (Lewis 2014).

Di satu sisi, bahasa Indonesia sudah semakin maju dan mendapat perhatian baik di tingkat domestik maupun regional dan bahkan global.

Sayangnya, di sisi lain bahasa-bahasa daerah yang merupakan jati diri para pemuda dan pemerkaya khazanah bahasa Indonesia itu sudah semakin ditinggalkan generasi muda di berbagai pelosok Tanah Air. Tampaknya para pemuda perlu bersumpah lagi, tidak saja menjunjung tinggi bahasa persatuan, tetapi juga bersumpah untuk mulai melestarikan bahasa daerah secara lebih serius!

Realitas Kekinian

Pada zaman prakemerdekaan, saat para pemuda mengikrarkan Sumpah Pemuda, kebutuhan akan bahasa persatuan sangat diperlukan, terutama dalam mencapai kemerdekaan.

Itulah sebabnya bahasa Indonesia dijadikan perekat para pemuda yang berasal dari berbagai latar belakang kebahasaan yang berbeda-beda. Ada yang dari Jawa, Sumatera, Ambon, dan sebagainya.

Di era kekinian, bahasa Indonesia sudah semakin maju. Bahkan, dalam struktur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terdapat Badan Bahasa yang memiliki jaringan luas di seluruh provinsi dengan balai-balai bahasa dan kantor-kantor bahasa yang tugas pokoknya mengembangkan bahasa Indonesia.

Bagaimana dengan bahasa daerah? Memang, terdapat kajian-kajian terhadap bahasa-bahasa daerah tersebut, tetapi tidak semuanya dapat tersentuh. Itu karena kendala dana dan luasnya cakupan geografis para penutur bahasa-bahasa daerah tersebut, apalagi di kawasan timur Indonesia yang sangat sulit dijangkau lantaran medannya yang berat.

Ada kecenderungan kuat bahwa sebagian bahasa-bahasa daerah di Nusantara berada dalam proses kepunahan, baik bahasa-bahasa yang berumpun Austronesia maupun non-Austronesia. Kondisi tersebut sangat dirasakan terutama di kawasan timur negara kita yang sebagian besar, termasuk rumpun non-Austronesia dengan jumlah penutur bahasa yang minim.

Minimnya jumlah penutur tersebut merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bahasa-bahasa berada di ambang kepunahan. Faktor lain yakni adanya migrasi penduduk antardaerah dengan berbagai orientasi seperti untuk memperbaiki kondisi ekonomi, pendidikan, atau ada juga karena kawin campur.

Kondisi-kondisi ini menyebabkan kontak antarbahasa tak terhindarkan. Dalam fenomena kontak bahasa ini, pada umumnya masyarakat termasuk generasi muda lebih cenderung menggunakan bahasa pergaulan antaretnik. Bahasa pergaulan atau disebut juga lingua franca biasanya bahasa Melayu lokal.

Di kawasan timur Indonesia pada umumnya masyarakat lebih memilih menggunakan bahasa Melayu setempat dalam komunikasi sehari-hari. Di Papua, misalnya, ada Melayu Papua, di Maluku ada Melayu Ambon dan Melayu Ternate, di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah ada Melayu Manado, di Nusa Tenggara Timur ada Melayu Kupang, dan lain sebagainya. Bahasa-bahasa Melayu lokal tersebut menjadi bahasa pergaulan dalam komunikasi masyarakat yang beragam latar belakang bahasa dan budayanya.

Pergeseran Bahasa

Fenomena kontak bahasa telah menyebabkan masyarakat menjadi penutur bilingual atau bahkan multilingual. Artinya, menguasai dua atau lebih. Kondisi tersebut dapat menyebabkan pergeseran bahasa (language shift) apabila para penutur berpindah ke bahasa-bahasa Melayu lokal. Pergeseran ini banyak terjadi dalam realitas empiris.

Pergeseran tersebut terjadi karena ranah-ranah pemakaian bahasa, seperti keluarga dan ketetanggaan tidak lagi didominasi bahasa daerah, tetapi didominasi bahasa Melayu lokal. Sebagai contoh yang terjadi di wilayah Maluku Utara. Umumnya, dalam kedua ranah tersebut digunakan bahasa Melayu Ternate. Sementara itu, di ranah pendidikan biasanya digunakan bahasa Indonesia.

Sungguh sangat disayangkan apabila terjadi pergeseran bahasa dalam masyarakat Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya, terutama dalam aspek kebahasaan.

Pergesaran bahasa yang terjadi akibat perpindahan berbagai penutur bahasa daerah ke bahasa Melayu lokal sangat berkontribusi terhadap percepatan kepunahan bahasa-bahasa daerah.

Padahal, bahasa-bahasa daerah menyimpan banyak pengetahuan lokal (local knowledge) yang mengandung nilai-nilai yang berguna bagi pemecahan masalah bangsa. Misalnya, persoalan kebencanaan (disaster) tentunya memerlukan cara pemecahan yang dapat melibatkan berbagai perspektif.

Salah satu di antaranya dapat didekati melalui aspek budaya terkait pengetahuan lokal yang ada dalam sebuah masyarakat. Artinya, bagaimana pengetahuan lokal tersebut digunakan khususnya terkait pencegahan dan manajemen bencana. Hanya melalui bahasa kita dapat mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah kebudayaan etnik.

Hal lain yang menjadi signifikansi keberpihakan terhadap bahasa daerah karena tiap bahasa memiliki hak untuk hidup (linguistic right) dan UNESCO telah menetapkan bahasa sebagai warisan (heritage) yang harus dijaga. Oleh karena itu, marilah kita melestarikan bahasa daerah kita sebagai jati diri bangsa, terutama para generasi muda sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan ke depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar