Jumat, 07 November 2014

“Mission Impossible” Menteri Pertanian

“Mission Impossible” Menteri Pertanian

MT Felix Sitorus  ;  Praktisi Agribisnis dan Peneliti Sosial Independen,
Alumnus Program Doktoral Sosiologi Pedesaan IPB
SINAR HARAPAN, 31 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Mission impossible swasembada pangan 2018 sudah menanti Amran Sulaeman, menteri pertanian (mentan) Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) periode 2014-2019, segera setelah pelantikannya, Senin (27/10). Tidak ada waktu mengambil napas karena Presiden Jokowi sudah tegas memerintahkan, “Kerja, kerja, kerja!”

Pesan mission impossible itu keras: pantang mundur, pantang gagal. Karakter Amran Sulaeman agaknya sesuai untuk mengemban pesan itu sehingga posisi mentan dibebankan kepadanya. Amran tampaknya adalah petarung yang banyak kerja sedikit bicara, penganut nilai-nilai siri na pacce yang pantang mundur dan pantang gagal saat suatu amanah sudah diemban.

Itu terbukti dari sejarah hidup yang menempanya menjadi sosok komplet, yaitu akademikus, praktisi bisnis, sekaligus politikus. Sebagai akademikus, ia telah meraih gelar pendidikan tertinggi (doktor), pernah mengajar, dan aktif meneliti khususnya tentang pemberantasan hama tikus.

Sebagai praktisi bisnis, ia adalah pemilik sekaligus Direktur Utama PT Grup Tiran, meliputi 10 perusahaan yang sukses bergerak di berbagai bidang. Salah satunya bisnis produk racun dan alat pemberantasan hama tikus.

Sebagai politikus, ia anggota DPR dari Partai Amanat Rakyat (PAN) periode 2009-2014. Ia kemudian Ketua Tim Sahabat Rakyat Jokowi (relawan) untuk Indonesia tengah dan timur ketika kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014.

“Impossible”, tapi Bisa

Dalam serial televisi Mission Impossible, semua misi adalah impossible, tapi selalu bisa dicapai. Demikian pula dengan swasembada pangan 2018, pasti bisa dicapai asalkan, seperti dipertontonkan dalam film Mission Impossible, Kementerian Pertanian (Kementan) tidak bekerja dengan langgam business as usual seperti selama ini.

Karena itu, Mentan Amran Sulaeman yang berlatar praktisi bisnis sekaligus politikus plus akademikus diharapkan berpikir out of the box sehingga tidak terbawa ke langgam dan hasil kerja yang sama.

Swasembada pangan 2018, sebagaimana dicanangkan Jokowi di hadapan Seknas Tani pada 4 September 2014, adalah pemenuhan seluruh kebutuhan pangan pokok nasional, khususnya beras, jagung, kedelai, dan gula secara domestik, tanpa impor sama sekali. Artinya, dalam tempo paling lambat empat tahun, Amran harus mampu memimpin Kementan untuk menjadi fasilitator sekaligus katalisator peningkatan produktivitas dan produksi pangan nasional. Jadi. taraf swasembada dapat tercapai pada 2018.

Revolusi Manajemen

Prestasi swasembada beras pada 1984 gagal dipertahankan menjadi swasembada berkelanjutan karena revolusi hijau pada 1970-an gagal mentransformasikan pola manajemen usaha tani dari “tradisi” menjadi “(agri)bisnis”.

Revolusi itu hanya berhasil mentransfer pengetahuan teknis budi daya modern berupa paket panca-usaha tani; benih unggul, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yg tepat, pengendalian hama/penyakit, dan pengairan. Akibatnya ketika Soeharto mengendurkan kendali militeristik atas petani sejak 1985, petani tak mampu menangani teknologi panca-usaha sesuai rekomendasi baku sehingga produktivitas dan produksi padi nasional melandai. Hasilnya, Indonesia kembali menjadi importir beras sampai sekarang.

Karena itu, untuk mencapai sasaran swasembada pangan 2018, revolusi sistem manajemen pertanian pangan dari “tradisi” ke “agribisnis (kerakyatan)” merupakan keharusan. Ini merupakan revolusi mental untuk transformasi radikal perilaku manajerial petani dari “tradisi repetitif” menjadi “inovasi progresif”. Dengan demikian, target usaha tani akan berubah radikal, dari sekadar “cukup” menjadi “surplus” yang meningkat. Usaha tani pangan lantas dikelola sebagai unit agribisnis modern, sarat inovasi dan modal, yang memungkinkan peningkatan produktivitas, produksi, dan akhirnya pendapatan petani.

Untuk transformasi manajerial tersebut, Mentan Amran Sulaeman dan Kementan perlu mengambil sejumlah langkah. Pertama, perlu ada transformasi organisasi petani dari kelompok tani/gapoktan menjadi Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Ini sebagai wujud institusional agribisnis kerakyatan. Dengan menjadi BUMP, usaha tani pangan berubah dari unit-unit individualistik (banyak, tapi kecil-kecil) menjadi unit perusahaan skala menengah. Ini membuat posisi tawarnya seimbang dengan perusahaan-perusahaan agribisnis hulu (perbenihan, pupuk, pestisida), hilir (perdagangan dan pengolahan), serta pendukung (perbankan dan penelitian).

Kedua, menghubungkan (bridging) BUMP dengan BUMN bidang pertanian (Pupuk Indonesia, Sang Hyang Seri, Pertani, Bulog, BRI) dalam skema kemitraan bisnis. Ini memungkinkan peningkatan akses petani kepada benih, sarana produksi, modal, dan pasar hasil. Kinerja petani akan terdongkrak karena ada jaminan ketersediaan asupan (input) dan pemasaran hasil (output).

Ketiga, membangun kerja sama segitiga BUMP, Balai Penyuluhan Pertanian, dan Balitbang Pertanian untuk membangun sistem pertanian presisif sebagai wujud manajemen agribisnis kerakyatan modern. Sistem yang didukung oleh pemetaan pertanaman berdasarkan data pengindraan jauh (satelit/foto udara) ini memungkinkan petani menerapkan teknologi budi daya terbaik dan dapat mengambil keputusan tentang perlakuan teknis yang efisien dan efektif untuk meningkatkan produktivitas dan produksi usaha tani.

Keempat, menjalankan program asuransi gagal panen tanaman pangan untuk memberi perlindungan bagi petani dari kemungkinan kerugian gagal panen. Program insentif ini mendorong peningkatan kinerja pertanian tanaman pangan.

Empat langkah revolusioner tersebut akan mewujudkan sistem agribisnis kerakyatan yang kuat, pilar utama penyokong swasembada pangan 2018. Target impossible ini adalah harga mati sebab kalau tidak tercapai, sebagaimana Soekarno dan Soeharto telah jatuh akibat; antara lain masalah rawan pangan, pemerintahan Jokowi-JK bisa bernasib sama. Tentu saja tidak ada yang menginginkan hal tersebut terjadi, kecuali mungkin lawan politik Jokowi-JK yang bernafsu merebut kekuasaan pada 2019.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar