Kartu
Sakti Jokowi dan Dukungan Data
Ferdinandus S Nggao ; Peneliti
Lembaga Manajemen FEUI,
Alumnus Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI
|
MEDIA
INDONESIA, 11 November 2014
PRESIDEN Jokowi baru saja meluncurkan
tiga kartu `sakti', yaitu kartu Indonesia pintar (KIP), kartu Indonesia sehat
(KIS), dan kartu keluarga sejahtera (KKS). Sebagai program yang bertujuan
meringankan beban masyarakat miskin, tentu kita berharap program itu bisa
terlaksana dengan tepat sasaran. Persyaratan dasar untuk mencapai tepat
sasaran ialah ketersediaan data yang akurat tentang sasaran program sebagai
sisi input sebuah program. Sebaik apa pun program didesain dan dengan tujuan
yang sangat mulia, kalau sasarannya tidak didefinisikan secara jelas, program
tersebut berpotensi untuk diselewengkan dan gagal mencapai tujuannya.
Selama ketersediaan data itu
belum jelas, maka pelaksanaan distribusi kartu sakti yang tujuannya sangat
mulia itu akan mengalami nasib yang sama dengan berbagai program sejenis
sebelumnya seperti BLT, Raskin, PKH, dan sebagainya. Pendataan merupakan
salah satu penyebab program pengentasan kemiskinan sering kali tidak tepat
sasaran. Pada gilirannya menimbulkan kekecewaan pada masyarakat yang
semestinya menjadi sasaran program.Memang agak kontradiktif, kemiskinan
diakui sebagai persoalan besar bangsa ini, tetapi data tentang warga miskin
itu sendiri tidak ditangani secara serius. Data yang dimaksud bukanlah
sekadar angka jumlah penduduk miskin, melainkan siapa saja orang miskin yang
termasuk dalam angka itu. Profil itu sangat dibutuhkan karena menjadi target
program.
Ada beberapa persoalan terkait
pen dataan sasaran yang terjadi selama ini. Pertama dan yang utama, kita
tidak memiliki lembaga yang secara permanen bertanggung jawab dalam menangani
data profil masyarakat miskin, termasuk menentukan batasan kemiskinan.
Akibatnya, sering kali terjadi saling lempar tanggung jawab bila terjadi
protes masyarakat atas kekacauan data itu. Masyarakat menjadi pasrah dalam
kebingungan. Selama ini data yang ada dikelola TNP2K (Tim Nasional Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan) di sekretariat wapres. Tim itu sifatnya sementara
(ad hoc) bukan lembaga permanen. Penanganan data seperti itu tidak bisa
ditangani institusi yang sifatnya ad hoc karena program penanganan kemiskinan
itu bersifat jangka panjang.
Kedua, kita tidak punya pusat
data terpadu dan transparan yang bisa diakses dan digunakan publik.
Transparansi data itu penting agar publik bisa melakukan kontrol atas akurasi
data. Ketersediaan data secara terpadu menjadi penting untuk memudahkan
setiap program penanggulangan kemiskinan menemukan sasarannya. Ketersediaan
data terpadu itu juga bisa mengeliminasi terjadinya tumpang tindih kelompok sasaran.
Selama ini setiap lembaga yang melaksanakan program penanganan kemiskinan
memiliki kriteria sendiri untuk mengidentifikasi warga miskin yang menjadi
sasarannya dan melakukan pendataan sendiri.
Ketiga, tingkat akurasi data
yang dinilai kurang karena proses pembaruan data tidak dilakukan secara
berkala dan berkelanjutan. Basis data yang digunakan dalam pembagian tiga
kartu `sakti', misalnya ber dasarkan hasil Sensus 2011. Basis data yang
digunakan sudah kadaluwarsa, sehingga berpotensi salah sasaran. Dua persoalan
terakhir sebetulnya terjadi sebagai akibat , lanjutan dari persoalan pertama.
Kita tidak memiliki lembaga yang secara permanen menyediakan data profil
warga miskin secara terpadu, transparan, serta diperbaharui secara berkala
dan berkelanjutan.
Siapa berwenang
Pertanyaan berikutnya, siapa
yang harus menangani ketersediaan data itu? Kebi jakan tentang data terpadu
itu sebetulnya sudah diatur dalam UU No 13/2011 tentang Fakir Miskin. UU itu
mengatur tentang pendataan fakir miskin dalam 4 pasal (8-11). Poin penting
yang disampaikan dalam UU itu ialah bahwa instansi yang bertanggung jawab
dalam pengadaan data fakir miskin yaitu kementerian yang menangani bidang
sosial, dalam hal itu ialah Kementerian So sial. Kementerian itu diberi
mandat untuk menetapkan kriteria fakir miskin melalui koordinasi dengan
instansi terkait. Sejak UU itu disahkan, Kementerian Sosial yang harus
bertanggung jawab menangani ma salah data itu.
Dalam pelaksanaannya, proses
pendataan awal dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan kriteria
yang ditetapkan Kemensos. Selanjutnya, data itu divalidasi dan diverifikasi
Kemensos yang dilakukan secara berkala minimal dalam waktu dua tahun.
Kemudian, Kemensos menyusun data terpadu berbasis teknologi dan dapat diakses
seluruh masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Warga yang tercatat dalam data
terpadu diberi kartu identitas. Hal penting lainnya, data itu menjadi sumber
bagi lembaga lain baik pusat maupun daerah dalam menyelenggarakan program penanggulangan
kemiskinan. Instansi yang menggunakan data tersebut sebagai sasaran program
harus melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Kemensos. Di samping itu, mandat
yang diberikan penyediaan data terhadap Kemensos juga berdasarkan PP No 101
tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. PP itu merupakan
ketentuan pelaksanaan UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ruang
lingkup pendataannya tidak hanya mencakup fakir miskin, tetapi juga orang
yang tidak mampu, yaitu orang yang mempunyai sumber mata pencaharian, gaji
atau upah, yang hanya mampu memenuhi kebutuhan dasar yang layak namun tidak
mampu membayar iuran bagi dirinya dan keluarganya. Data itu yang digunakan
sebagai dasar untuk menentukan jumlah PBI Jaminan Kesehatan.
Karena itu, hal penting yang
perlu dilakukan ke depan ialah langkah konkret pemerintah untuk mewujudkan
data terpadu itu. Sebagai lembaga yang diberi tugas untuk menangani
penyediaan data itu, Kemensos perlu mendapat dukungan baik dari sisi
pendanaan maupun struktur kelembagaan serta sumber daya pendukung lainnya.
Selama ini fungsi pendataan itu
belum berjalan di Kemensos. Peluncuran tiga kartu sakti dan berbagai program
sejenis lainnya, Kemensos harus segera menjalankan fungsi pendataan terpadu
itu. Hal itu juga bisa menjadi sebuah tonggak baru dalam perjalanan
penanganan masalah kemiskinan di Indonesia. Selama ini kekacauan data orang
miskin menjadi salah satu persoalan yang tidak pernah diatasi secara serius.
Secara struktural perlu ada unit khusus yang menangani pendataan itu, lengkap
dengan fasilitas teknologinya. Unit khusus karena data yang ditangani cukup
banyak, berskala nasional, harus bisa diakses publik, digunakan berbagai
pihak, dan proses pembaruan secara berkala.
Ada beberapa titik kritis yang
perlu diperhatikan. Pertama, penetapan kriteria sebagai starting point harus
benar-benar mempertimbangkan berbagai aspek. UU 13 Tahun 2011 telah
menentukan batasan umum tentang fakir miskin, sehingga selanjutnya perlu
dituangkan dalam bentuk indikator yang operasional. Kedua, proses pembaruan
data bisa dilakukan secara transparan dengan melibatkan potensi yang ada
serta aparatur pemerintah pada tingkat paling bawah. Dari sisi waktu, proses
pembaruan itu minimal dilakukan setiap tahun atau seperti ketentuan PP No
101/ 2012 yang menentukan pembaruan data PBI dilakukan dalam setiap enam
bulan.
Ketiga, perlu juga
dipertimbangkan apakah KKS bisa menjadi kartu identitas atau dibuatkan kartu
tersendiri lagi. Semakin banyak kartu justru akan membingungkan masyarakat. Kita
berharap agar presiden mampu mewujudkan data fakir miskin terpadu, sehingga
penanganannya bisa fokus, terarah, dan tepat sasaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar