Selasa, 11 November 2014

Opsi Pengurangan Subsidi BBM

Opsi Pengurangan Subsidi BBM

Iman Sugema  ;  Ekonom IPB
REPUBLIKA, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Selama dua minggu kemarin, isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) telah memicu berbagai aksi demonstrasi di beberapa kota. Antrean motor dan mobil di SPBU terekam di mana-mana sebagai bentuk antisipasi kalau-kalau memang harga BBM jadi dinaikkan.

Selain itu, harga berbagai kebutuhan pokok mulai merambat naik. Sebagaimana biasa, pedagang dan spekulan berupaya ambil untung duluan sebelum kenaikan harga BBM. Nanti, setelah harga BBM dinaikkan, harga barang-barang terpicu naik lagi. Jadinya ada dua kali kenaikan harga barang. Masyarakat terbebani oleh tiga hal: kenaikan harga BBM dan dua kali kenaikan harga barang lainnya.

Pertanyaannya, dengan waktu yang sangat mendesak, apakah pemerintah sanggup mendesain program kompensasi untuk melindungi masyarakat miskin? Pasti tidak bisa karena tak ada program kompensasi yang tercantum dalam APBN Perubahan 2014. Kalau ingin melakukan APBN Perubahan yang kedua kalinya, pemerintah harus mendapatkan persetujuan paripurna DPR.

Tampaknya, persetujuan semacam itu agak kurang memungkinkan dalam situasi gonjang-ganjing politik yang seperti kita tonton di televisi. Maka, kalau betul harga BBM dinaikkan, tampaknya masyarakat miskin tak akan mendapatkan skema perlindungan tambahan. Angka kemiskinan hampir bisa dipastikan akan naik.

Mempertimbangkan risiko naiknya angka kemiskinan, apakah ada alternatif lain selain menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi secara permanen? Pasti ada jalan lain. Coba kita lihat angka berikut ini.

Dari data Susenas September 2013, kita bisa tahu bahwa setengah dari BBM bersubsidi "diminum" oleh mobil pribadi. Selain itu, 95 persen mobil dimiliki oleh 40 persen keluarga "terkaya" di Indonesia. Yang dimaksud "terkaya" di sini adalah yang pengeluarannya lebih tinggi dari 60 persen rata-rata penduduk. Lebih hebatnya lagi, 66 persen mobil dimiliki oleh hanya 20 persen penduduk terkaya. Tentunya tak ada mobil yang dimiliki oleh orang miskin, bukan?

Melihat data seperti ini, akan menjadi aman buat orang miskin bila subsidi BBM dicabut untuk kendaraan mobil pribadi. Mobil berpelat hitam dilarang mengisi tangkinya dengan BBM bersubsidi, baik solar maupun bensin. Mobil berpelat merah sudah lebih duluan dilarang "meminum" BBM bersubsidi.

Bagaimana dengan angkot, truk, dan bus umum? Mereka merupakan angkutan rakyat jelata dan tulang punggung logistik darat. Kalau tidak diperbolehkan menggunakan BBM bersubsidi, tarif angkot dan bus harus dinaikkan dan ongkos logistik darat akan juga naik. Karena itu, sebaiknya mereka tetap disubsidi. Selain itu, ongkos logistik yang murah sangat penting untuk menopang perekonomian yang sekarang ini sedang melambat.

Bagaimana dengan sepeda motor? Pada 2012, populasi motor di Indonesia telah mencapai 75 juta unit. Pada 2014, mungkin populasinya telah mencapai 90 juta unit. Itu berarti rata-rata setiap keluarga memiliki 1,4 motor. Yang menarik adalah sekitar 40 persen penduduk termiskin sekalipun memiliki sepeda motor. Ada yang dipakai untuk ojek, jualan sayur, bakso, roti, dan untuk menyabit rumput ternak. Melihat realitas ini, sebaiknya sepeda motor masih dibolehkan menggunakan BBM bersubsidi.

Kesimpulannya, kalau pemerintah ingin menghemat anggaran subisdi BBM, hanya mobil berpelat hitam dan merah yang tidak boleh lagi menggunakan BBM bersubsidi. Motor dan kendaraan berpelat kuning tetap disubsidi.

Dengan langkah ini, ada beberapa manfaat yang langsung dapat terlihat. Manfaat yang pertama adalah berkurangnya subsidi BBM sebesar 50 persen. Pada 2015, pemerintah dapat menghemat sekitar Rp 110 triliun. Dana sebesar itu dapat dipakai untuk memperbaiki saluran irigasi, membuat bendungan baru, membangun jaringan infrastruktur gas untuk transportasi, dan tentunya untuk membangun sistem logistik kemaritiman yang lebih efisien.

Manfaat yang kedua tentunya dalam bentuk tidak terjadinya kenaikan harga barang lainnya. Karena truk, bus, dan angkot tetap mendapat subsidi BBM seperti sekarang, biaya logistik dan tarif angkutan darat tidak perlu disesuaikan. Masyarakat umum terlindung dari kenaikan harga.

Manfaat yang ketiga adalah tidak perlunya pemerintah memberikan kompensasi kenaikan harga BBM. Karena ongkos angkutan tidak naik dan harga barang juga tidak naik, penduduk termiskin tidak terpapar oleh dampak pencabutan subsidi BBM terhadap mobil pribadi.

Tentu Anda akan bertanya, bagaimana implementasinya? Gampang kok. Buat jalur khusus untuk motor, angkot, bus, dan truk di setiap SPBU. Bukankah selama ini di banyak SPBU sudah ada jalur khusus motor yang bisa berjalan baik? Selamat mencoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar