Kenaikan
Harga BBM dan Penghematan APBN
Joko Tri Haryanto ; Peneliti
Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
|
SINAR
HARAPAN, 10 November 2014
Presiden Joko Widodo (Jokowi) hampir dipastikan akan melakukan
penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Besaran penyesuaiannya
masih terus dihitung, namun diperkirakan harga BBM akan dinaikkan maksimal Rp
3.000 per liter atau meningkat 46,1 persen menjadi Rp 9.500. Penyesuaian ini
diharapkan mampu menambah anggaran APBN sekitar Rp 20 triliun.
Dengan kewajiban alokasi dana kompensasi Rp 9,3 triliun bagi 20
juta keluarga miskin, dana segar yang betul-betul didapatkan pemerintah
sekitar Rp 10,7 triliun. Harapannya simpanan tersebut dapat dimanfaatkan
sebagai potensi menambah alokasi belanja modal demi percepatan pembangunan
infrastruktur di berbagai daerah.
Langkah tersebut menunjukkan keseriusan pemerintahan baru untuk
mengurangi beban subsidi BBM yang begitu besar. Pemerintahan Jokowi mewarisi anggaran yang tidak begitu
fleksibel. Oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beban
subsidi energi dalam APBN 2015 masih dipatok sekitar Rp 344,7 triliun, dengan
besaran subsidi BBM mencapai Rp 276,0 triliun, meningkat dibandingkan alokasi
APBN-P 2014 sebesar Rp 246,5 triliun. Sementara itu, alokasi subsidi listrik
justru berkurang menjadi Rp 68,7 triliun dari Rp 103,8 triliun di APBN-P
2014.
Beberapa pihak kemudian mempertanyakan periode transisi ini,
mengingat besarnya alokasi belanja wajib dalam APBN 2015 membuat ruang gerak
fiskal pemerintah baru menjadi terbatas. Dengan persentase belanja wajib yang
mencapai sekitar 74 persen di 2015, sisa ruang fiskal 26 persen tentu bukan
menjadi modalitas awal yang memadai. Untuk itulah, pemerintahan yang baru
dipaksa berpikir keras mengenai cara menciptakan APBN yang kredibel, mandiri,
dan memiliki efek memacu pertumbuhan ekonomi. Penyesuaian harga BBM kemudian
dipilih menjadi salah satu strategi.
Alternatif Kebijakan
Pemilihan kebijakan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi
sebetulnya pilihan yang sangat berisiko. Pemerintah akan dicap
antinasionalis, neoliberal, serta tidak berpihak kepada kepentingan wong
cilik, meskipun sejujurnya hasil kajian Bank Dunia dan Survei Sosial dan
Ekonomi Nasional (Susenas) yang menyebutkan penerima subsidi BBM justru
mayoritas golongan masyarakat kelas menengah ke atas juga tidak dapat
diabaikan. Di pengujung periodenya, Presiden SBY pun lebih memilih
menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada pemerintahan baru.
Dilihat dari sejarahnya, penyesuaian harga BBM sebetulnya bukan
pertama kali dilakukan bangsa ini. Hampir di setiap periode presiden dari
mulai Orde Baru hingga Reformasi, tercatat pernah mengeluarkan kebijakan
tersebut. Di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, Menteri Keuangan Sri
Mulyani pada 2008 bahkan pernah menerapkan kebijakan menaikkan sekaligus
menurunkan harga BBM bersubsidi. Artinya, penyesuaian harga BBM bukan hal
yang tabu untuk dilakukan.
Secara teori, pemerintah sebetulnya memiliki alternatif strategi
lainnya, misalnya kebijakan pembatasan konsumsi yang memiliki tekanan politik
yang lebih rendah. Namun, output yang dihasilkan justru terkadang tidak
optimal karena terkendala infrastruktur yang kurang memadai. Kebijakan terbaru
mengenai pengurangan alokasi solar bersubsidi 5-10 persen di beberapa daerah
di Provinsi DKI Jakarta, misalnya, menjadi contoh kebijakan pembatasan konsumsi yang kemudian
tidak berdampak optimal.
Karena itu, opsi menaikkan harga BBM bersubsidi memang menjadi
pilihan yang paling rasional. Namun, pemerintah juga harus berhati-hati
dengan kebijakan tersebut. Tahun 2005, pemerintah pernah menaikkan harga BBM
per 1 Maret, dengan rincian Premium menjadi Rp 2.400 per liter, solar Rp
2.100 per liter, dan minyak tanah Rp 2.200 per liter. Karena fluktuasi harga
minyak internasional yang makin tak terkendali, pemerintah kembali menaikkan
harga BBM per 1 Oktober 2005, yang berdampak inflasi naik hingga 8,7 persen.
Sayangnya, meski sudah menaikkan harga BBM hingga dua kali dalam
periode setahun, realisasi konsumsi BBM tahun 2005 masih saja melonjak hingga
Rp 95,6 triliun atau 138,6 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya
sebesar Rp 69 triliun. Ini sekaligus mematahkan teori yang menyebutkan
instrumen harga merupakan solusi terbaik dalam mengendalikan konsumsi BBM.
Oleh karena itu, penyesuaian harga BBM yang nantinya ditempuh
Presiden Jokowi sepertinya lebih ditujukan untuk kepentingan menambah alokasi
anggaran dalam APBN dibandingkan kepentingan membatasi konsumsi BBM di level
masyarakat.
Berdasarkan kesepakatan APBN 2015, kuota subsidi BBM ditetapkan
sebesar 48 juta kiloliter (kl), lebih besar dibandingkan 2014 yang mencapai
46 juta kl. Bagaimana menjaga supaya kuota ini tidak melonjak di akhir tahun,
selalu menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.
Presiden sebetulnya memiliki alternatif lain untuk memperlebar
ruang fiskal pemerintah dalam APBN tanpa harus menyesuaikan harga BBM via penghematan
belanja negara, khususnya belanja barang, pegawai, perjalanan dinas, dan
belanja modal. Namun, semuanya membutuhkan ketegasan yang kuat serta
kepemimpinan seorang presiden. Gerakan penghematan APBN serta subsidi BBM
yang tepat sasaran harus langsung di bawah kendali presiden. Jokowi harus
cepat, tepat, dan tegas dalam mengambil kebijakan sekaligus menjadi contoh
utama. Kebijakan implementasi nantinya wajib dijabarkan secara detail oleh
para menteri yang berwenang.
Jika seluruh modalitas dan persyaratan tersebut dijalankan,
penulis yakin kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi akan memiliki dampak
yang optimal dengan tingkat penerimaaan yang lebih tinggi. Semoga peraturan
tersebut juga menjadi cikal bakal terselesaikannya persoalan subsidi BBM yang
selama ini selalu membebani APBN. Jika permasalahan subsidi BBM ini dapat
diatasi, penulis yakin APBN dapat menjalankan fungsi pertumbuhan secara
optimal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar