Selasa, 11 November 2014

Kenaikan Harga BBM dan Penghematan APBN

Kenaikan Harga BBM dan Penghematan APBN

Joko Tri Haryanto  ;  Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Kemenkeu
SINAR HARAPAN, 10 November 2014
                                                
                                                                                                                       


Presiden Joko Widodo (Jokowi) hampir dipastikan akan melakukan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Besaran penyesuaiannya masih terus dihitung, namun diperkirakan harga BBM akan dinaikkan maksimal Rp 3.000 per liter atau meningkat 46,1 persen menjadi Rp 9.500. Penyesuaian ini diharapkan mampu menambah anggaran APBN sekitar Rp 20 triliun.

Dengan kewajiban alokasi dana kompensasi Rp 9,3 triliun bagi 20 juta keluarga miskin, dana segar yang betul-betul didapatkan pemerintah sekitar Rp 10,7 triliun. Harapannya simpanan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai potensi menambah alokasi belanja modal demi percepatan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah.

Langkah tersebut menunjukkan keseriusan pemerintahan baru untuk mengurangi beban subsidi BBM yang begitu besar. Pemerintahan Jokowi  mewarisi anggaran yang tidak begitu fleksibel. Oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beban subsidi energi dalam APBN 2015 masih dipatok sekitar Rp 344,7 triliun, dengan besaran subsidi BBM mencapai Rp 276,0 triliun, meningkat dibandingkan alokasi APBN-P 2014 sebesar Rp 246,5 triliun. Sementara itu, alokasi subsidi listrik justru berkurang menjadi Rp 68,7 triliun dari Rp 103,8 triliun di APBN-P 2014.

Beberapa pihak kemudian mempertanyakan periode transisi ini, mengingat besarnya alokasi belanja wajib dalam APBN 2015 membuat ruang gerak fiskal pemerintah baru menjadi terbatas. Dengan persentase belanja wajib yang mencapai sekitar 74 persen di 2015, sisa ruang fiskal 26 persen tentu bukan menjadi modalitas awal yang memadai. Untuk itulah, pemerintahan yang baru dipaksa berpikir keras mengenai cara menciptakan APBN yang kredibel, mandiri, dan memiliki efek memacu pertumbuhan ekonomi. Penyesuaian harga BBM kemudian dipilih menjadi salah satu strategi.

Alternatif Kebijakan

Pemilihan kebijakan untuk menyesuaikan harga BBM bersubsidi sebetulnya pilihan yang sangat berisiko. Pemerintah akan dicap antinasionalis, neoliberal, serta tidak berpihak kepada kepentingan wong cilik, meskipun sejujurnya hasil kajian Bank Dunia dan Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) yang menyebutkan penerima subsidi BBM justru mayoritas golongan masyarakat kelas menengah ke atas juga tidak dapat diabaikan. Di pengujung periodenya, Presiden SBY pun lebih memilih menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada pemerintahan baru.

Dilihat dari sejarahnya, penyesuaian harga BBM sebetulnya bukan pertama kali dilakukan bangsa ini. Hampir di setiap periode presiden dari mulai Orde Baru hingga Reformasi, tercatat pernah mengeluarkan kebijakan tersebut. Di era Kabinet Indonesia Bersatu Jilid I, Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 2008 bahkan pernah menerapkan kebijakan menaikkan sekaligus menurunkan harga BBM bersubsidi. Artinya, penyesuaian harga BBM bukan hal yang tabu untuk dilakukan.

Secara teori, pemerintah sebetulnya memiliki alternatif strategi lainnya, misalnya kebijakan pembatasan konsumsi yang memiliki tekanan politik yang lebih rendah. Namun, output yang dihasilkan justru terkadang tidak optimal karena terkendala infrastruktur yang kurang memadai. Kebijakan terbaru mengenai pengurangan alokasi solar bersubsidi 5-10 persen di beberapa daerah di Provinsi DKI Jakarta, misalnya, menjadi contoh  kebijakan pembatasan konsumsi yang kemudian tidak berdampak optimal.

Karena itu, opsi menaikkan harga BBM bersubsidi memang menjadi pilihan yang paling rasional. Namun, pemerintah juga harus berhati-hati dengan kebijakan tersebut. Tahun 2005, pemerintah pernah menaikkan harga BBM per 1 Maret, dengan rincian Premium menjadi Rp 2.400 per liter, solar Rp 2.100 per liter, dan minyak tanah Rp 2.200 per liter. Karena fluktuasi harga minyak internasional yang makin tak terkendali, pemerintah kembali menaikkan harga BBM per 1 Oktober 2005, yang berdampak inflasi naik hingga 8,7 persen.

Sayangnya, meski sudah menaikkan harga BBM hingga dua kali dalam periode setahun, realisasi konsumsi BBM tahun 2005 masih saja melonjak hingga Rp 95,6 triliun atau 138,6 persen dibandingkan realisasi tahun sebelumnya sebesar Rp 69 triliun. Ini sekaligus mematahkan teori yang menyebutkan instrumen harga merupakan solusi terbaik dalam mengendalikan konsumsi BBM.

Oleh karena itu, penyesuaian harga BBM yang nantinya ditempuh Presiden Jokowi sepertinya lebih ditujukan untuk kepentingan menambah alokasi anggaran dalam APBN dibandingkan kepentingan membatasi konsumsi BBM di level masyarakat.

Berdasarkan kesepakatan APBN 2015, kuota subsidi BBM ditetapkan sebesar 48 juta kiloliter (kl), lebih besar dibandingkan 2014 yang mencapai 46 juta kl. Bagaimana menjaga supaya kuota ini tidak melonjak di akhir tahun, selalu menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah.

Presiden sebetulnya memiliki alternatif lain untuk memperlebar ruang fiskal pemerintah dalam APBN tanpa harus menyesuaikan harga BBM via penghematan belanja negara, khususnya belanja barang, pegawai, perjalanan dinas, dan belanja modal. Namun, semuanya membutuhkan ketegasan yang kuat serta kepemimpinan seorang presiden. Gerakan penghematan APBN serta subsidi BBM yang tepat sasaran harus langsung di bawah kendali presiden. Jokowi harus cepat, tepat, dan tegas dalam mengambil kebijakan sekaligus menjadi contoh utama. Kebijakan implementasi nantinya wajib dijabarkan secara detail oleh para menteri yang berwenang.

Jika seluruh modalitas dan persyaratan tersebut dijalankan, penulis yakin kebijakan penyesuaian harga BBM bersubsidi akan memiliki dampak yang optimal dengan tingkat penerimaaan yang lebih tinggi. Semoga peraturan tersebut juga menjadi cikal bakal terselesaikannya persoalan subsidi BBM yang selama ini selalu membebani APBN. Jika permasalahan subsidi BBM ini dapat diatasi, penulis yakin APBN dapat menjalankan fungsi pertumbuhan secara optimal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar