Meredam
Inflasi Pangan
Toto Subandriyo ; Alumnus IPB dan Magister Manajemen Unsoed;
Asisten Administrasi Pembangunan Sekda Kabupaten Tegal
|
SUARA
MERDEKA, 17 November 2014
BADAN
Pusat Statistik belum lama ini mengumumkan angka inflasi bulan Oktober 2014
mencapai 0,47 persen. Laju inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2014
tercatat 4,19 persen. Salah satu pemicu laju inflasi itu berasal dari
komponen harga bergejolak, terutama kelompok bahan pangan. Fluktuasi harga
cabai merah/cabai keriting, dan cabai rawit yang terjadi hampir merata di
Tanah Air menyumbang angka inflasi masing-masing 0,18 persen dan 0,02 persen.
Kenaikan harga beras pada saat memasuki bulan paceklik lalu juga punya andil
inflasi 0,03 persen.
Beberapa
bulan ke depan pemerintah harus mewaspadai kemungkinan terjadinya lonjakan
harga beras dan komoditas pangan lainnya. Selain menghadapi Natal dan Tahun
Baru 2015 yang berisiko mendongkrak harga kebutuhan pokok, beberapa bulan ke
depan sesuai siklus tahunan juga masih berlangsung musim paceklik.
Musim
paceklik beras ditandai kondisi defisit pasokan ke pasar karena produksi
beras petani pada sangat sedikit, seperti pada September, Oktober, November,
Desember, Januari, dan Februari. Gabah/beras yang disimpan petani kurang dari
1 persen/bulan dari total produksi setahun. Besarnya defisit pasokan
gabah/beras selama September-Desember berturut-turut adalah 3,53 persen, 5,69
persen, 6,81 persen, dan 6,97 persen (Syafaat, 2002).
Pangan
merupakan kebutuhan paling mendasar sehingga meningkatnya angka inflasi yang
disebabkan oleh melonjaknya harga pangan menggerus daya beli. Berbagai studi
dan analisis menyebutkan angka inflasi tinggi akan meningkatkan jumlah
penduduk miskin. Analisis BPS menyebutkan bahwa tiap kenaikan laju inflasi 1
persen, meningkatkan jumlah penduduk miskin 0,8 persen.
Studi
Bank Pembangunan Asia (ADB) pada April 2011 juga mendapati bahwa kenaikan
harga pangan 10 persen di negara berkembang Asia akan menambah penduduk
miskin baru 64 juta orang. Studi ini menggunakan dasar perhitungan garis
kemiskinan 1,25 dolar AS/hari.
Lebih Kompleks
Kondisi
gejolak harga pangan kali ini lebih kompleks dibanding tahun-tahun
sebelumnya. Gejolak kali ini merupakan resultante dari berbagai faktor, di
antaranya anomali iklim yang belum sepenuhnya dapat diadaptasi petani,
ekspekstasi kenaikan harga akibat berbagai kebijakan pemerintah, serta faktor
rutinitas menjelang Hari Natal dan tahun baru, serta musim paceklik.
Selain
mengacaukan sistem budi daya, anomali iklim memicu serangan hama dan penyakit
tanaman, serta kekeringan. Beberapa waktu lalu organisme pengganggu
tanaman seperti wereng batang cokelat,
penyakit Antraknose dan penyakit karena jamur menyerang padi dan sayur di
beberapa sentra produksi sehingga terjadi gagal panen. Kekeringan di beberapa
daerah juga menggagalkan panen ribuan hektare tanaman padi.
Ekspektasi
kenaikan harga terjadi karena dalam waktu hampir bersamaan pemerintah
mewacanakan berbagai kebijakan ekonomi. Beberapa hari terakhir, masyarakat
harap-harap cemas menunggu kenaikan harga BBM bersubsidi. Sebelumnya
pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL), serta kenaikan harga elpiji
12 kilogram dan 50 kilogram.
Celakanya,
kenaikan harga berbagai kebutuhan pangan tidak diikuti kenaikan upah riil
petani, buruh bangunan, dan pekerja informal lainnya. Penderitaan kelompok
miskin ini makin berat ketika harus menghadapi kenyataan biaya hidup
sehari-hari lainnya, seperti biaya kesehatan dan biaya transpor terdongkrak
naik. Gejolak harga cabai merah dan cabai rawit ini tidak perlu terjadi jika
budi daya tanaman sayuran tersebut terjadwal dengan baik.
Pemerintahan
Orde Baru selalu melakukan antisipasi menghadapi perayaan hari besar nasional
dan keagamaan seperti Idul Fitri, Natal dan tahun baru. Miliaran rupiah dana
dari APBN dikucurkan ke kelompok tani untuk modal budi daya sayuran, seperti
bawang merah, bawang putih, cabai merah, dan cabai rawit di luar musim (off season). Budi daya itu dirancang
agar panen terjadi menjelang dan saat permintaan masyarakat melonjak seperti
saat puasa/ Lebaran, Natal, dan tahun baru. Meski ditinjau dari ilmu agronomi
cara ini berisiko gagal panen, kawalan intensif dari petugas teknis pertanian
bisa menghindarkan dari kegagalan panen.
Pemerintah
kala itu juga gencar memasyarakatkan teknologi tepat guna berupa budi daya
tanaman buah dan sayuran dalam pot (tabusalampot),
budi daya vertikal (vertikultur), budidaya hidroponik, dan kebun atap (roof garden). Pada lahan yang terbatas
semua rumah tangga dapat menanam cabai rawit, cabai merah, bawang merah,
dengan stimulan benih unggul dari Dinas Pertanian. Cara ampuh meredam gejolak harga sayuran menjelang
Puasa/Lebaran serta hari-hari besar lainnya.
Upaya lain yang harus ditempuh pemerintah adalah menjaga kelancaran
distribusi bahan pangan. Satu lagi hal penting yang perlu dilakukan adalah
penguatan cadangan pangan nasional di
berbagai tingkatan. Pada era otda, pemprov/pemkab/pemkot bisa bekerja
sama dengan Bulog supaya memiliki stok pangan di wilayah masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar