Nasionalisme
Santri
Jamaluddin Mohammad ; Ketua Komunitas Seniman Santri (KSS) Cirebon
|
KOMPAS,
15 November 2014
NASIONALISME adalah konsep
modern yang muncul pada abad ke-17, bersamaan dengan lahirnya konsep
negara-bangsa. Di Barat (Eropa), nasionalisme muncul sebagai wujud perlawanan
terhadap feodalisme (kekuasaan absolute yang dimiliki pemuka agama dan
bangsawan).
Di Barat, sejarah kemunculan konsep nasionalisme biasanya dihubungkan
dengan Perjanjian Westphalia pada 24 Oktober 1648. Perjanjian itu menandai
akhir perang tiga puluh tahun (1618-1648) antara kerajaan-kerajaan di seluruh
Benua Eropa. Salah satu pemicunya adalah agama: protestan vs katolik.
Salah satu butir penting dari
Perjanjian Westphalia adalah perdamaian di antara negara-negara berdaulat dan
setiap negara berkembang secara mandiri dalam bentuk negara-bangsa. Di sini
terjadi pergeseran negara-negara yang tadinya diatur agama (otoritas gereja)
menjadi bebas mengatur dirinya sendiri.
Perjanjian Westphalia ini kemudian melahirkan Zaman Pencerahan di
Eropa. Puncaknya terjadi Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18, yaitu
banyak negara feodal mengintegrasikan diri ke dalam negara-bangsa.
Pada periode ini muncul pemikir-pemikir politik semacam Hobbes, Jhon
Locke, Rousseau yang banyak menyumbangkan pikiran tentang politik dan negara.
Mereka memunculkan teori kontrak sosial sebagai asal-usul negara. Teori ini
merupakan antitesis terhadap teori yang mengatakan, kekuasaan/negara sebagai
penjelmaan kekuasaan Tuhan. Raja adalah manifestasi Tuhan di muka bumi ini.
Teori kontrak sosial menegaskan bahwa negara terbentuk berdasarkan
kesepakatan-kesepakatan tertentu dari sebuah komunitas. Teori ini mau
menggeser negara agama kepada negara sekuler.
Seiring munculnya negara-bangsa, timbullah pemikiran tentang
nasionalisme sebagai basis filosofis terbentuknya negara- bangsa itu. Hans
Kohn, misalnya, mengatakan, yang disebut bangsa adalah himpunan komunitas
yang memiliki persamaan bahasa, ras, agama, dan peradaban. Menurut ahli
etnografi dari Jerman ini, suatu bangsa tumbuh dan berkembang karena adanya
unsur-unsur dan akar-akar sejarah yang membentuknya. Dan, untuk mengukuhkan
itu semua dibutuhkan pikiran bahwa pengabdian paling tinggi adalah untuk
bangsa dan negara yang disebut nasionalisme.
Kalau Kohn lebih menitikberatkan pada adanya perasaan bersama, Ben
Anderson lebih menekankan pada imajinasi bersama. Menurut dia, nasionalisme
adalah imajinasi sebuah kelompok yang mengandaikan suatu bangsa yang mandiri
dan bebas dari kekuasaan kolonial. Suatu bangsa yang diikat oleh media
komunikasi, yaitu bahasa.
Definisi pertama mewakili pengalaman nasionalisme di Eropa, sementara
yang kedua mewakili pengalaman negara-negara jajahan, termasuk Indonesia dan
dunia Islam lainnya.
Respons
umat Islam
Sebagai paham/ajaran yang lahir dari Barat (Eropa), nasionalisme
diserap pelajar-pelajar pribumi yang bersentuhan dengan pendidikan Eropa
sekalipun tesis ini masih banyak yang harus dipertanyakan.
Kemunculan Syarekat Islam (SI), Indische
Partij, dan peristiwa politik-kebudayaan Sumpah Pemuda 1928 merupakan
penanda munculnya semangat nasionalisme di kalangan masyarakat pribumi. Pada
tahun 1925, Tan Malaka menulis Menuju Republik Indonesia. Kemudian, tahun
1933, Soekarno menulis risalah Mencapai Indonesia Merdeka.
Sementara di kalangan umat Islam sendiri, nasionalisme disusupi roh-roh
Islam. Hal ini, misalnya, tecermin dari pendapat Kiai Wahab Chasbullah ketika
ditanya Soekarno tentang nasionalisme. Kata Kiai Wahab, ”Nasionalisme yang ditambah bismillah itulah Islam. Orang Islam yang
melaksanakan agamanya secara benar akan menjadi nasionalis.”
Sepulang dari Mekkah, Arab Saudi, Kiai Wahab bersama Kiai Mas Mansyur,
HOS Tjokroaminoto, Raden Panji Soeroso, Soendjoto, dan KH Abdul Kahar
mendirikan Nahdlatul Wathan (Pergerakan Tanah Air). Bahkan, Kiai Wahab
menggubah sebuah syair untuk menumbuhkan semangat nasionalisme di kalangan
rakyat Indonesia.
//Ya
ahlan wathan, ya ahlal wathan/Wahai bangsaku, wahai bangsaku/Cinta Tanah Air
adalah bagian dari iman/Cintailah Tanah Air ini wahai bangsaku/Jangan kalian
menjadi orang terjajah/Sungguh kesempurnaan dan kemerdekaan/Harus dibuktikan
dengan perbuatan//
Kesadaran nasionalisme Kiai Wahab memang sudah tumbuh sejak di
pesantren. Hal itu bukan suatu kebetulan karena bibit-bibit nasionalisme
sudah ditanamkan ke dalam dada para santri. Salah satunya, kiai melarang para
santrinya meniru (tasyabuh) budaya
Eropa yang dibawa Belanda, seperti memakai dasi dan celana panjang. Sarung
dan kopiah adalah simbol perlawanan santri.
Oleh karena itu, sejak dulu pesantren menjadi basis perjuangan dan
perlawanan terhadap kolonialisme-imperialisme. Begitu memasuki revolusi
kemerdekaan, pesantren-pesantren—melalui Resolusi Jihad Nahdlatul
Ulama—secara serentak bergerak melawan, seperti yang ditujukkan dalam
Pertempuran 10 November di Surabaya. Sumbunya sudah dibuat, tinggal
menyalakan saja.
Kiai Saifuddin Zuhri, pejuang dan mantan Menteri Agama pada era
Soekarno, menulis kesaksian sejarah di bukunya, Guruku Orang-orang Pesantren.
”Sejak Proklamasi 17 Agustus, pondok
pesantren menjadi markas-markas ’Hizbullah-Sabilillah’. Pengajian kitab-kitab
telah berganti menjadi pengajian tentang caranya menggunakan karaben, mortir,
dan cara bertempur dalam medan-medan pertempuran,” demikian antara lain
kesaksian Kiai Saifuddin Zuhri.
Sayangnya, setelah kemerdekaan,
pondok pesantren tak banyak mendapat tempat di negeri ini. Penghargaan yang
diberikan tak sebanding dengan jasa-jasanya. Pondok pesantren baru dianggap
sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional (UU Sisdiknas) pada tahun
2003. Padahal, untuk membangun dan memajukan negeri ini adalah dengan
memajukan pesantren. Sejarah sudah membuktikannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar