Agama
dan Warga Negara
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog UniversitasMalikussaleh, Lhokseumawe;
Pegiat Jaringan
Antariman Indonesia
|
KOMPAS,
15 November 2014
BERAPA agama yang ada di Indonesia? Jika Anda menjawab enam, berarti
masih harus dipertanyakan pengetahuan Anda terhadap bangsa ini.
Indonesia tidak semata negara berbenteng maritim dengan belasan ribu
pulau dan ratusan etnis, tetapi juga juntaian mutiara agama dan keyakinan yang
begitu banyak, beragam, dan berwarna. Dalam perjalanan sejarah, agama dan
keyakinan yang banyak itu tumbuh bersamaan dengan etnis dan kebudayaan
tempatan menjadi oase peradaban Nusantara yang harmonis.
Gambaran kerukunan dan saling menghormati bukan sekadar legenda untuk
membagus-baguskan lembar sejarah. Hubungan antara ”agama arus utama”—yang
biasanya menjadi agama kerajaan lokal–dan agama minoritas tidak tersekat oleh
hubungan resmi-nonresmi, tetapi hubungan saling memerlukan dan menjaga.
Politisasi
agama resmi
Sejarah mencatat, eksistensi umat Hindu dan Khonghucu di dalam naungan
Kerajaan Aceh atau komunitas Muslim di Bali berlangsung mesra. Hampir tidak
ada nila sejarah terkait aksi pasifikasi, diskriminasi, dan terminasi.
Kampoeng Tjina dan Kampoeng Keling telah dikenal sejak era Kerajaan Aceh abad
XVII serta menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan.
Di Bali, komunitas Muslim Sasak Lombok menggelari penggawa atau
bangsawan kerajaan Karangasem Bali, Ratu Made Bengkel, dengan Baginda Ali.
Mereka pun menggelari anak Made Bengkel, I Goesti Bagoes Oka, yang pernah
menjadi Gubernur Sunda Kecil pada era Republik Indonesia Serikat (RIS),
dengan Baginda Usman. Itu terjadi karena jejak kebajikan mereka di Pulau
Lombok. Usman dan Ali adalah dua nama khalifah empat (Khilafat al-Rasyidah) dalam sejarah Islam yang terkenal karena
ide-ide reformisnya.
Ironisnya, ketegangan malah terjadi ketika negara Indonesia modern dan
birokrasi pemerintahan menguat. Negara gagal memahami kemajemukan agama-agama
historis-endemis itu. Pada era Orde Baru, agama resmi negara hanya lima. Di
luar itu, dipaksa masuk ke dalam gugus ”induk” atau menjadi gugus
”kepercayaan” di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001),
Khonghucu menjadi agama resmi keenam dan dibina oleh Kementerian Agama.
Namun, masih saja terjadi ketegangan karena reformasi status kewarganegaraan
(citizenship status) tidak bergerak
secepat perubahan sosial-politik nasional. Masih terlihat kekerasan legal,
kultural, dan sosial yang menimpa agama-agama non-enam. Padahal, posisi
mereka otonom, bukan sub-sekte atau mazhab yang boleh diindukkan ke dalam
agama enam.
Contoh yang paling nyata ialah masih kuatnya gerakan penolakan terhadap
Ahmadiyah dan Syiah untuk beribadah. Mereka juga tidak diakui sebagai bagian
dari keluarga besar Islam. Penolakan itu wujud dari ketidakpahaman atas dua
”mazhab” itu dalam sejarah Islam, termasuk kehadirannya di Indonesia. Sejarah
organisasi Ahmadiyah sesungguhnya lebih tua dibandingkan dengan Nahdlatul
Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia. Dalam catatan disebutkan, Ahmadiyah
Qadian masuk melalui Tapaktuan, Aceh, 2 Oktober 1925, dan kemudian menyebar
ke Sumatera Barat serta seluruh Indonesia.
Demikian pula ketakpahaman atas agama minoritas lainnya. Agama
Kaharingan pada masa Orde Baru dimasukkan sebagai agama Hindu. Diskusi saya
dengan Pak Ayal, tokoh Kaharingan Dayak Meratus, saat konferensi nasional
Jaringan Antariman Indonesia di Sentani, Papua, Mei lalu, menunjukkan
pengelompokan Kaharingan ke dalam Hindu sangat ceroboh. Menurut Pak Ayal,
agamanya mengenal sosok Adam sebagai ”manusia suci”, seperti dalam kitab
agama-agama Ibrahim.
Komunikasi saya dengan Pak Ongko Wijaya, pimpinan Majelis Tinggi Agama
Khonghucu Indonesia (Matakin), membuka pikiran tentang sejarah Khonghucu yang
lebih tua daripada sejarah Buddha Tiongkok. Ia terentang tali sejarah lebih
dari 5.000 tahun. Ini tentu saja menakjubkan, bagaimana agama historis setua
itu baru dipahami dan diakui sebaru ini di Indonesia. Ketidakpahaman publik
nasional atas keberadaan agama-agama minoritas itu berpadu dengan tindakan
komunikasi banal publik di sosial media sehingga muncul distorsi atas
agama-agama yang kebetulan mendiami tubuh etnis minoritas menjadi agama
ilegal. Komunikasi kebencian itu menjadi jalan pembenaran kemarahan dan
pameran brutalisasi dan penyesatan, baik verbal maupun fisikal (Thomas W Simon, Ethnic Identity and
Minority Protection, 2012: 269).
Pintu
darurat
Masalah kini, ketegangan masih berlanjut terutama wacana agama resmi
versus agama tak resmi. Jika memakai nalar kewarganegaraan, penganut agama
resmi secara normatif akan mendapatkan haknya sebagai warga negara.
Sebaliknya, penganut agama tidak resmi memperoleh derita akibat terputusnya
kewajiban negara kepadanya. Sebagai warga negara penganut agama resmi, saya tidak pernah
merasakan dilema itu. Namun, bayangkan, jika Anda adalah penganut agama yang
tidak resmi itu. Berapa ton derita yang akan menimpa pundak dan pikiran?
Hasrat untuk menikah, beribadah, membeli properti, dan hubungan sosial
kerap menjadi aksi kriminal dibandingkan dengan urusan domestik-ekonomika
biasa. Status agama tidak resmi otomatis tidak teregistrasi ke dalam status
kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akan menjadi problem hukum,
sosial, dan budaya yang harus ditanggung seumur hidup. Problem-problem inilah
yang sebenarnya ingin diurai melalui kebijakan pemerintah untuk tidak
memaksakan status agama pada kolom KTP.
Sikap pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri dalam mewujudkan kebijakan
itu pun bukan serta-merta. Kebijakan itu adalah konklusi imperatif
undang-undang yang seharusnya dieksekusi sejak lama. Keputusan boleh
mengosongkan kolom status agama dalam KTP sudah termaktub dalam UU No 23/2006
Pasal 64 tentang Administrasi Kependudukan. Ketika UU itu diamandemen jadi UU
No 24/2013, pasal itu masih dipertahankan dengan sedikit perubahan
redaksional yang tak mengubah substansi (Pasal 64 Ayat (5)). Keliru ketika
pemerintahan Susilo bambang Yudhoyono tak menjalankannya.
Pilihan itu harus dilihat sebagai langkah taktis menangani hilirisasi
dampak pengabaian negara atas agama-agama tidak resmi itu. Terobosan sudah
dilakukan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pada akhir masa pemerintahan
SBY dengan mengakui agama Bahai sehingga bisa jadi pintu darurat untuk
mengakui agama-agama lainnya sebagai agama resmi negara. Untungnya, Lukman
kembali terpilih pada Kabinet Kerja Jokowi–JK sehingga bisa meneruskan
pekerjaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak agama-agama yang
”diminoritaskan” itu.
Pilihannya sebenarnya sederhana, bagaimana semua keyakinan dan
agama-agama historis yang lahir dari degup teologis dan kultural bangsa ini
bisa hidup nyaman di Indonesia: rumah bagi kita semua. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar