Jumat, 07 November 2014

Kepemimpinan Kaum Muda

Kepemimpinan Kaum Muda

Andriadi Achmad  ;  Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik FISIP UI
SINAR HARAPAN, 30 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


“Beri aku sepuluh pemuda dan dengan kesepuluh pemuda itu aku akan mengguncang dunia. Dengan seratus pemuda, aku akan memindahkan Gunung Semeru.”

Ungkapan heroik di atas pernah dilontarkan Soekarno dalam suatu kesempatan berpidato di hadapan pemuda Indonesia. Soekarno menggambarkan dengan bahasa kiasan, betapa peran dan kehadiran pemuda sangat penting dalam sejarah panjang bangsa Indonesia. Dalam kesempatan lain Soekarno mengakui, tanpa peran pemuda revolusi kemerdekaan Indonesia belum tentu tercapai.

Membolak-balik lembaran sejarah perjuangan bangsa Indonesia, kita akan senantiasa menemui kisah-kisah perjuangan hebat yang dimotori kaum muda. Bermula dari gerakan Kebangkitan Nasional Budi Utomo (1908), Sumpah Pemuda (1928), Revolusi Kemedekaan Indonesia (1945), menumbangkan rezim Orde Lama (1966), peristiwa Malari (1974), sampai penurunan paksa rezim Orde Baru (1998).

Lebih jauh, kisah perjuangan pemuda Indonesia terekam dalam sebuah catatan harian Yozar Anwar (mantan Ketua Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia/KAMI Pusat, 1966).

Di sana ternukilkan kehadiran pemuda Indonesia merupakan suatu bagian tidak terpisahkan dari sejarah pergerakan bangsa; menderita dan berharap; pemuda Indonesia adalah hati nurani bangsa yang berbicara, jiwa bangsa yang menyala, yang akan mewarnai bangsa; partisipasi pemuda memberi wajah baru kepada perjuangan rakyat; semangat pemuda membawa radikalisme dalam gerakan politik, serta patriotisme mewarnai semua bidang kegiatan. Karena itu, pandangan pemuda selalu menggetarkan masyarakat dan membangkitkan semangat juang.

Selain itu, keterkaitan kaum muda dan bangsa sebagaimana dalam buku Revolusi Politik Kaum Muda (2008), Umar Syadat Hasibuan menjelaskan, dalam setiap fase perubahan dan perkembangan negara bangsa di pelbagai belahan dunia, kehadiran kaum muda memiliki posisi dan kekuatan strategis, baik ditinjau dari perspektif sosiologi, biologis, politik, demografis, dan historis.

Sebagaimana presiden muda, Evo Morales (Presiden Bolivia dari 2006—saat itu 47 tahun) dan Hugo Chavez (Presiden Venezuela dari 1999—saat itu 45 tahun) mengangkat isu nasionalisasi perusahaan asing—khususnya pertambangan—dan anti-imprealisame-kapitalisme. Bagaimana langkah fenomenal yang mengantarkan Barack Hussein Obama—usia 47 tahun dan Apro-Amerika pertama—sebagai Presiden ke-44 AS, dengan mengusung jargon perubahan dunia dan AS, dan lain sebagainya.

Regenerasi Kepemimpinan

Lebih dari tiga dasawarsa, 32 tahun, kepemimpinan Soeharto tidak memberikan ruang gerak regenerasi kepemimpinan. Bahkan, wacana suksesi kepemimpinan masa Orde Baru adalah suatu hal sangat tabu. Trauma psikologis kaum muda pada masa Orde Baru adalah catatan kelam. Ini akhirnya menancapkan sebuah paradigma “kaum muda belum pengalaman dan punya kemampuan untuk memimpin Indonesia”.

Slogan tersebut ampuh mengimpotenkan bangsa kita untuk melahirkan para tokoh muda di pentas kepemimpinan nasional. Tergores dalam catatan sejarah panjang bangsa kita, dalam 53 tahun kemerdekaan (1945-1998), RI hanya melahirkan dua pemimpin bangsa, yaitu Soekarno (1945-1966) dan Soeharto (1966-1998). Pertanyaannya adalah, apakah periode panjang masa kepemimpian Soekarno dan Soeharto merupakan kehendak rakyat dan tak tergantikan?

Secara sederhana, dapat dibahasakan experience is the best teacher (pengalaman adalah guru paling berharga), kaum tua tentu memiliki segudang pengalaman ketimbang kaum muda. Namun, sebuah sikap kesatria dan kepahlawanan bagi kaum tua adalah dengan memberikan ruang dan kesempatan serta kepercayaan kepada kaum muda untuk memimpin bangsa ini.

Inti sebuah kepercayaan adalah “semangat kaum muda harus diiringi kebijaksanaan kaum tua”, dalam artian “saatnya yang muda bicara”. Amendemen UU 1945 pada 1999, dengan keluarnya perubahan yang mengatur batas jabatan presiden hanya dua periode, setidaknya telah memberikan angin segar dan peluang bagi kaum muda untuk memimpin bangsa ini.

Sebuah harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi akan kesiapan kaum muda baik segi kapasitas, kualitas, maupun kapabilitas dalam rangka membangun eksistensi dan image di kancah kepemimpinan Indonesia dewasa ini. Selain sudah teruji, menurut pendapat penulis, tokoh-tokoh kaum muda harus mempunyai visi-misi kebangsaan unggulan, kreatif, visioner, dan inovatif. Ke depan, regenerasi kepemimpinan harus berjalan sempurna demi perbaikan dan pembangunan bangsa secara berkesinambungan.

Hemat penulis, untuk memunculkan kaum muda sebagai pemimpin bangsa Indonesia masa depan, ada beberapa hal yang sangat mendesak perlu diperhatikan. Pertama, menumbuhkan self confidence (kepercayaan diri) bagi kaum muda. Kesiapan dan kemampuan kaum muda merupakan modal utama untuk menumbuhkan kepercayaan diri dalam memimpin bangsa besar Indonesia.

Sebagaimana kita ketahui, pelbagai laboratorium sebagai fasilitator dan katalisator bagi kuam muda untuk mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa. Ini seperti organisasi sosial kemasyarakatan (Muhammadiyah, NU, Persis, PUI, dan lain-lain); organisasi sosial kepemudaan (KNPI, KAMMI, HMI, IMM, GMNI, PMKRI, PMII, BEM, organisasi pemuda kedaerahan, dan seterusnya); partai politik (Golkar, PDIP, PPP, PKB, PD, PKS, PAN, PBB, PKPI, PBB, Nasdem, Hanura, Gerindra, dan lain-lain); institusi pendidikan/kampus (kaum intelektual atau akademikus); militer (Akabri, Akpol, dan lain-lain).

Berbicara lebih jauh, secara ideal para pemimpin bangsa Indonesia ke depan adalah kaum muda—berumur di bawah 50 tahun—yang masih mempunyai energi lebih dan semangat dalam menjalankan pelbagai aktivitas dan tugas berat. Belajar dari perjalanan sejarah Indonesia pada awal berdirinya republik ini, bangsa kita dipimpin kaum muda Soekarno (44 tahun) dan Soeharto (45 tahun).

Padahal, kedua pemimpin tersebut memimpin bangsa dalam kondisi memprihatinkan. Soekarno memimpin bangsa yang baru saja merdeka, sudah barang tentu memiliki segudang permasalahan. Soeharto memimpin bangsa dalam keadaan ekonomi rusak parah (inflasi sampai 600 persen).

Namun, terlepas dari noda-noda hitam masa kepemimpinannya, tak dapat dimungkiri mereka bisa memimpin dan mempertahankan keberlangsungan bangsa ini.

Pasca-Soeharto, presiden rata-rata berusia di atas usia 50 tahun, seperti BJ Habibie menggantikan Soeharto pada 1998 dalam usia 62 tahun; Abdurrahman Wahid diangkat tahun 1999 pada usia 59 tahun; Megawati duduk di kursi presiden tahun 2001 dalam usia 54 tahun; Susilo Bambang Yudhoyono terpilih tahun 2004 pada usia 55 tahun; Joko widodo terpilih pada usia 53 tahun. Menilik fenomena ini, meminjam istilah Hanta Yudha, kepemimpinan ‘Angkatan Kakek Gue’.

Kedua, menjadikan momen penting kebersatuan dan semangat kaum muda pada era 1908, 1928, 1945, 1974, 1966, 1998 dalam mengukir sejarah besar dalam perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai tolok ukur, cerminan dan rujukan penting dalam membangun konsolidasi, serta kekuataan kaum muda untuk memimpin bangsa ini pada masa mendatang. Keseriusan kita bersama dalam membangun bangsa ini, penulis yakin bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa terhormat di hadapan dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar