Sabtu, 01 November 2014

Mewujudkan Booming Negarawan

Mewujudkan Booming Negarawan

Misranto  ;  Guru Besar dan Rektor Universitas Merdeka Pasuruan
MEDIA INDONESIA, 31 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


PERTANYAAN sederhana namun `menggemaskan' ialah mengapa tidak sedikit kekuatan politik, khususnya dari kelompok oportunis, yang tidak menyukai Joko Widodo (Jokowi) menjadi presiden? Atau mengapa Jokowi yang dipilih rakyat untuk menjadi presiden? Atau mengapa harus Jokowi yang dipilih rakyat untuk menjadi presiden?

Ketakutan komunitas elite oportunis itu sejatinya dilandasi ketakutan kalau Jokowi akan gencar mewujudkan program-program strategis yang bertajuk perubahan. Jika perubahan itu sampai gencar dilakukan Jokowi, pola oportunisme menjadi kehilangan `lahan' atau sumber-sumber kriminalisasi yang selama ini menguntungkannya, menjadi tergusur.

“Orang yang paling tidak bahagia ialah mereka yang paling takut pada perubahan,“ demikian pernyataan Mognon Me Lauhlin, yang menunjukkan kesejatian hubungan antara perubahan dan keba hagiaan. Jika berbagai perubahan gencar digalakkan Jokowi, seperti soal kesehatan, ekonomi kerakyatan, layanan publik, dan lainnya, otomatis rakyat diantarkan menuai kebahagiaan.

Dari perubahan yang digalakkan Jokowi, kebahagiaan bisa dihadirkan dan disejarahkan. Kalau setiap menteri dan `pasukan di bawahnya' memahami dan gencar mewujudkan idealitas presidennya, kebahagiaan akhirnya membumi. Kebahagiaan rakyat, yang sebelum era Jokowi menjadi barang mahal, berubah menjadi hak yang murah dan mudah dinikmatinya.

Sayangnya, di tengah masyarakat masih banyak ditemukan kekuatan elitis yang lebih menyukai mempertahankan mental oportunistisnya. Mereka tidak ingin mengubah dirinya menjadi negarawan, padahal sekarang ini, Republik Indonesia sedang membutuhkan booming negarawan.

Komunitas elite oportunis itu memang bisa memuaskan kepentingan diri atau egoisme sektoralnya, namun gagal memberikan atau menumbuhsuburkan kebahagiaan bagi bangsa dan rakyat. Ironisnya lagi, mereka masih mengawetkan gaya `koboi' dalam pergulat an mewu judkan ambisi politiknya. `Radikalisme' politik eksklusifnya dapat terbaca dalam persidangan-persidangan DPR belakangan ini.

Seharusnya mereka bisa membaca dengan cerdas dan cepat, seperti yang dilakukan Jokowi bahwa rakyat negeri ini membutuhkan tangantangan kuat yang dibuktikan dengan etos kerja tinggi, dan bukan syahwat berkelahi yang menguras energi. Mereka selayaknya paham kalau sudah sekian lama rakyat teralienasi dari kebahagiaan.

Pemburu kekuasaan

Para elitis itu gampang terbaca kalau mentalitasnya masih bukan sebagai pengubah (pejuang) yang gigih membahagiakan rakyat atau berjiwa negarawan, tetapi oportunis yang sibuk memburu kekuasaan dan membuka celahcelah yang mendatangkan kekayaan berlimpah.

Mereka itu barangkali tergiur dengan pesona para oportunis terdahulu yang lihai membuat `terobosan'. Berkat sepak terjang mereka ini, berbagai bentuk keuntungan berlimpah bisa diraih, meskipun dengan risiko berhadapan dengan pertanggungjawaban hukum.

Itu terbukti, saat oportunis terdahulu baru 2-3 tahun bertualang merambah rimba gelap birokrasi dan kolaborasi proyek, indeks prestasi kekayaannya melambung tinggi.Kekayaan yang dinilai imposible ini tentu saja membuat rakyat miskin bertanya-tanya, mengapa jadi politisi di negeri ini gampang memperkaya diri?

Itu bisa terjadi akibat kuatnya budaya KKN atau neokleptokratisme di rezim terdahulu yang mencengkeram. Dalam buku yang ditulis Eko Prasetio yang berjudul Kejahatan Negara misalnya, ia menunjukkan satu contoh kasus tentang kekayaan salah seorang selebritas politik Indonesia, yang semula sebelum jadi politikus, hanya tinggal di kos-kosan bertarif sangat murah. Namun, tidak lebih dari 2 tahun menjabat, kekayaannya sudah miliaran rupiah. Mengapa ke kayaan bisa cepat melangit?

Selebritas politik itu sukanya membawa atau menghadapkan rekanan ke berbagai daerah. Pola makelar itu berbuah fee atau kompensasi yang tidak sedikit. Dia bukan hanya mendapatkan hadiah atas jasa-jasanya, melainkan juga mampu menciptakan kondisi yang membuat rekanan merasa takut dan bergantung kepadanya, sehingga gratifikasi terus mengalir secara rutin.

Pola lama itu ialah aji mumpung, alias begitu tersedia peluang strategis, para oportunis itu gampang sekali mengajukan tawaran hubungan baik dengan pihak-pihak tertentu yang dinilai menguntungkannya secara ekonomi dan politik. Ironisnya, saat kesempatan tidak terbuka, elitis itu berusaha menciptakan kondisi yang memungkinkan para pejabat di daerah tergiring mengamini tawarannya.
Pola memburu, mengumpulkan, dan menimbun kekayaan saat menempati posisi strategis di DPR, merupakan salah satu mentalitas mendarah daging, pola pembudayaan yang menyatu dengan dimensi patronasi struktural, atau jalan pragmatis yang dibuatnya menjadi logis dan patut.

Gaya DPR seperti itu, jelas jika dipertahankan di era sekarang, akan menghambat booming negarawan. Sebagai pilar negara, mereka berkewajiban mengasah kecerdasan batin agar komitmen mereka pada kepentingan rakyat menguat.Sementara hasrat (nafsu) mementingkan egoisme sektoral atau kelompok menjadi melemah.

Kekuatan utama

Komitmen kerakyatan yang menguat merupakan roh negarawan. Saat program-program perubahan yang digencarkan Jokowi ternyata menemui banyak batu sandungan, itu artinya para elitis yang belum bermental negarawan tidak berusaha mengonstruksi negeri ini menjadi Indonesia Hebat.

Franz Magnis Suseno menyatakan, bahwa moral merupakan kekuatan utama dan fondasi normatif yang menyangga kehidupan kemasyarakatan dan kebangsaan. Kalau moral ini tidak digunakan setiap pilar bangsa, bangunan bangsa itu akan keropos. Moral itulah yang menentukan kenegarawanan seseorang berstatus elitis.

Para oportunis yang tidak back to moral merupakan penyakit serius bangsa ini sekarang dan masa mendatang. Mereka yang bangga memerangkapkan dirinya di ranah ini tidak akan pernah bisa memberi yang terbaik pada bangsa ini. Dalam pikiran dan aksi-aksi politik mereka lebih dicenderungkan pada upaya menjarah segala sumber daya yang terbaik dari bangsa ini.

Negara ini memang kaya politisi bergelar edukasi tinggi. Sayangnya gelar yang disandangnya tidak diikuti dengan menegakkan tingginya komitmen moral berelasi kerakyatan dan kebangsaan. Komitmen pribadi secara eksklusif berupa nafsu memperkaya diri, kelompok, dan keluarga jauh lebih ditinggikan jika dibandingkan dengan keinginan memperkaya (baca: menyejahterakan) kehidupan rakyat.

Rakyat sudah demikian berat akibat menanggung beban arogansi penyimpangan kekuasaan yang dilakukan segelintir elite politisi di rezim terdahulu yang berkolaborasi dengan oknum pengusaha dan eksekutif. Rakyat dalam kondisi ini jelas membutuhkan booming negarawan untuk melakukan perubahan di banyak sektor strategis.

Ketika politisi masih mengeksplorasikan syahwat memperkaya diri dan kelompok masing-masing, rakyatlah yang menjadi korban berkepanjangan. Saat politisi yang seharusnya mengawal pembangunan justru jadi makelar dan koboi mengikuti irama keinginan kelompok mereka, jelas sulit diharapkan mereka punya kecerdasan untuk membaca dan mengapresiasi aspirasi rakyat. Bagaimana mungkin pikiran mereka masih bening dan kecerdasan mereka masih istimewa, kalau kalkulasi gratifikasi lebih mendominasi dan memperbudak diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar