Selasa, 18 November 2014

Kartu Pintar, Pemerintah Keminter?

Kartu Pintar, Pemerintah Keminter?

Ahmad Baedowi  ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 17 November 2014

                                                                                                                       


DARI segi waktu, ke munculan kartu Indonesia pintar, sehat, dan sejahtera (KIP, KIS dan KIS) terbilang supercepat. Kurang dari sebulan setelah pelantikan, pemerintahan Jokowi sudah berhasil merilis secara terbatas ketiga jenis kartu yang menjadi andalan sejak masa kampanye dulu. Sontak polemik bermunculan, sesuatu yang tidak bisa dihindari siapa pun yang memerintah negeri ini. Bagi yang mendukung, kemunculan kartu-kartu itu menunjukkan keseriusan pemerintah dalam memenuhi janji untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Yang kontra lebih banyak mempertanyakan dari mana muasal dana yang digunakan Jokowi, padahal pembahasan anggaran belum pernah dilakukan oleh dan dengan DPR.

Sebagai sebuah program yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, tentu saja unsur kehati-hatian harus diperhatikan dengan baik. Apalagi jika kemudian muncul persepsi bahwa Jokowi menggunakan dana yang berasal dari masyarakat, yaitu dana CSR (corporate social responsibility) beberapa BUMN. 

Pertanyaan yang menggelitik kemudian ialah apakah bisa pemerintah sebagai pemilik dana CSR menggunakan dana tersebut untuk program formal pemerintah? Bukankah dana CSR sebenarnya harus dikembalikan kepada masyarakat yang terkena dampak langsung dari sebuah proyek korporasi tempat mereka beroperasi? Dua pertanyaan bodoh itu mungkin bisa dimanipulasi atas nama kepentingan politik.Namun, logika publik tetap tak bisa ditipu karena seperti jeruk makan jeruk, tak sepantasnya pemerintah menggunakan dana yang seharusnya menjadi milik masyarakat.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan lingkungan perseroan terbatas, Pasal 4 ayat 1 disebutkan `Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan'. Dari pasal itu, secara iseng saya pun membuat pertanyaan lagi, apakah program KIP, KIS, dan KIS memang sudah masuk rancangan program tahunan BUMN sejak setahun lalu? Saya berharap program ini bukan akal-akalan pemerintah, atau pemerintah merasa keminter dengan semua urusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Peran serta masyarakat, bukan hanya BUMN, harus didorong agar program sejenis kartu Indonesia pintar dapat berdaya tahan lama.

Terkait dengan kartu Indonesia pintar, salah satu kesalahan pemerintah dalam mendesain dan mengelola sistem pendidikan selama ini ialah ketiadaan sandaran berjangka panjang yang melibatkan masyarakat secara terus-menerus. Sekolah seringkali diposisikan sebagai `kerangkeng' penitipan anak-anak dari para orangtua yang sibuk bekerja, tetapi bukan merupakan bagian dari proses pemberdayaan masyarakat. Masyarakat, sejak era Soeharto, telanjur kalah jika berargumentasi tentang posisi sekolah; milik mereka atau milik negara.  
Fenomena kegagalan sekolah sebagai basis perubahan masyarakat itu diperparah superioritas negara dalam mendistribusi uang negara untuk bidang pendidikan, yang seakan-akan menafikan peran masyarakat di dalamnya.
Membangun sekolah sebagai basis pengembangan masyarakat tampaknya perlu lebih diperhatikan negara. Gaung tentang sekolah sebagai sebuah agen perubahan sosial (school as an agent of social change) perlu diperlihatkan secara sungguh-sungguh oleh negara melalui program pemberdayaan masyarakat yang berimplikasi kepada dukungan penyelenggaraan pendidikan di lingkungan mereka. Pemerintah dapat memanfaatkan seluruh domain program corporate social responsibility (CSR) yang dimiliki perusahaan negara dan swasta, kecil maupun besar, untuk mendorong terciptanya kesadaran masyarakat dalam membangun sekolah yang sesuai dengan cita-cita mereka secara bersama-sama. Bukan sebaliknya, malah menggunakan uang CSR untuk program negara seperti kartu Indonesia pintar dan sejenisnya.

Dalam World Business Council for Sustainable Development, CSR dikatakan sebagai `The continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce, and their families, as well as of the local community and society at large'. Secara implisit definisi itu menempatkan organisasi perusahaan sebagai penanggung jawab sosial tidak hanya kepada konsumen atau pengguna produknya, tetapi pekerja, shareholder dan masyarakat yang berada di lingkungan perusahaan sebagai suatu `keharusan ekologis'. Maknanya kegiatan CSR harus melampaui komitmen ekonomi atau politik yang bersifat pragmatis dan sesaat.

Dana CSR, dengan demikian, harus digunakan secara amat serius untuk pengembangan masyarakat (community development), terutama dalam memberdayakan peran dan tanggung jawab masyarakat dalam jangka panjang terhadap sekolah dan atau pendidikan anak-cucu mereka ke depan. Meskipun definisi umum tentang CD sangat beragam, dari sejarahnya kita dapat belajar dari gagasan awal Robert Owen yang menawarkan konsep community planning untuk menciptakan masyarakat yang sempurna (James B Cook: 2009). Jika konsep itu dielaborasi secara luas dengan masyarakat dilibatkan dalam setiap perencanan pembiayaan dan program pendidikan, kecerdasan masyarakat dalam mengembangkan konsep sekolah yang sustain able akan tercipta. Karena itu, dibutuhkan partnership seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki program CSR untuk aktif terlibat dalam memberikan pendampingan dan advokasi peningkatan kualitas sekolah.

Dalam skema andragogi Flo Frank dan Anne Smith (1999), tujuan akhir program CD sesungguhnya ialah perbaikan kualitas hidup masyarakat. Karena itu, CD yang efektif akan menghasilkan manfaat bersama dan adanya pembagian rasa tanggung jawab bersama di antara anggota masyarakat. Mendorong masyarakat dan perusahaan-perusahaan agar mau bekerja dalam kerangka yang sama, yaitu membangun kualitas pendidikan yang berjangka panjang, adalah sebuah keniscayaan yang harus diinisiasi pemerintah. Program itu juga akan efektif jika terdapat respons masyarakat atas tantangan dan kesempatan dalam satu waktu tertentu yang diberikan partner atau perusahaan tertentu dalam skema CSR. 

Nah, lagi-lagi dalam konteks KIP dan KIS, pemerintah merasa keminter sendiri, tanpa ada usaha untuk mengajak serta masyarakat terlibat dalam perumusan kebijakan populis ini. Hati-hati, ya, Pak Jokowi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar