Kartu
Pintar, Pemerintah Keminter?
Ahmad Baedowi ; Direktur
Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 17 November 2014
DARI
segi waktu, ke munculan kartu Indonesia pintar, sehat, dan sejahtera (KIP,
KIS dan KIS) terbilang supercepat. Kurang dari sebulan setelah pelantikan,
pemerintahan Jokowi sudah berhasil merilis secara terbatas ketiga jenis kartu
yang menjadi andalan sejak masa kampanye dulu. Sontak polemik bermunculan,
sesuatu yang tidak bisa dihindari siapa pun yang memerintah negeri ini. Bagi
yang mendukung, kemunculan kartu-kartu itu menunjukkan keseriusan pemerintah
dalam memenuhi janji untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan. Yang kontra lebih banyak
mempertanyakan dari mana muasal dana yang digunakan Jokowi, padahal
pembahasan anggaran belum pernah dilakukan oleh dan dengan DPR.
Sebagai
sebuah program yang berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, tentu
saja unsur kehati-hatian harus diperhatikan dengan baik. Apalagi jika
kemudian muncul persepsi bahwa Jokowi menggunakan dana yang berasal dari
masyarakat, yaitu dana CSR (corporate
social responsibility) beberapa BUMN.
Pertanyaan yang menggelitik kemudian
ialah apakah bisa pemerintah sebagai pemilik dana CSR menggunakan dana
tersebut untuk program formal pemerintah? Bukankah dana CSR sebenarnya harus
dikembalikan kepada masyarakat yang terkena dampak langsung dari sebuah
proyek korporasi tempat mereka beroperasi? Dua pertanyaan bodoh itu mungkin
bisa dimanipulasi atas nama kepentingan politik.Namun, logika publik tetap
tak bisa ditipu karena seperti jeruk makan jeruk, tak sepantasnya pemerintah
menggunakan dana yang seharusnya menjadi milik masyarakat.
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang tanggung jawab sosial dan
lingkungan perseroan terbatas, Pasal 4 ayat 1 disebutkan `Tanggung jawab
sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja
tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS
sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam
peraturan perundang-undangan'. Dari pasal itu, secara iseng saya pun membuat
pertanyaan lagi, apakah program KIP, KIS, dan KIS memang sudah masuk
rancangan program tahunan BUMN sejak setahun lalu? Saya berharap program ini
bukan akal-akalan pemerintah, atau pemerintah merasa keminter dengan semua
urusan yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Peran serta
masyarakat, bukan hanya BUMN, harus didorong agar program sejenis kartu
Indonesia pintar dapat berdaya tahan lama.
Terkait
dengan kartu Indonesia pintar, salah satu kesalahan pemerintah dalam
mendesain dan mengelola sistem pendidikan selama ini ialah ketiadaan sandaran
berjangka panjang yang melibatkan masyarakat secara terus-menerus. Sekolah
seringkali diposisikan sebagai `kerangkeng' penitipan anak-anak dari para
orangtua yang sibuk bekerja, tetapi bukan merupakan bagian dari proses
pemberdayaan masyarakat. Masyarakat, sejak era Soeharto, telanjur kalah jika
berargumentasi tentang posisi sekolah; milik mereka atau milik negara.
Fenomena kegagalan sekolah sebagai basis perubahan masyarakat itu diperparah
superioritas negara dalam mendistribusi uang negara untuk bidang pendidikan,
yang seakan-akan menafikan peran masyarakat di dalamnya.
Membangun
sekolah sebagai basis pengembangan masyarakat tampaknya perlu lebih
diperhatikan negara. Gaung tentang sekolah sebagai sebuah agen perubahan
sosial (school as an agent of social
change) perlu diperlihatkan secara sungguh-sungguh oleh negara melalui
program pemberdayaan masyarakat yang berimplikasi kepada dukungan
penyelenggaraan pendidikan di lingkungan mereka. Pemerintah dapat
memanfaatkan seluruh domain program corporate
social responsibility (CSR) yang dimiliki perusahaan negara dan swasta,
kecil maupun besar, untuk mendorong terciptanya kesadaran masyarakat dalam
membangun sekolah yang sesuai dengan cita-cita mereka secara bersama-sama.
Bukan sebaliknya, malah menggunakan uang CSR untuk program negara seperti
kartu Indonesia pintar dan sejenisnya.
Dalam World Business Council for Sustainable
Development, CSR dikatakan sebagai `The
continuing commitment by business to behave ethically and contribute to
economic development while improving the quality of life of the workforce,
and their families, as well as of the local community and society at large'.
Secara implisit definisi itu menempatkan organisasi perusahaan sebagai
penanggung jawab sosial tidak hanya kepada konsumen atau pengguna produknya,
tetapi pekerja, shareholder dan masyarakat yang berada di lingkungan
perusahaan sebagai suatu `keharusan ekologis'. Maknanya kegiatan CSR harus
melampaui komitmen ekonomi atau politik yang bersifat pragmatis dan sesaat.
Dana
CSR, dengan demikian, harus digunakan secara amat serius untuk pengembangan
masyarakat (community development),
terutama dalam memberdayakan peran dan tanggung jawab masyarakat dalam jangka
panjang terhadap sekolah dan atau pendidikan anak-cucu mereka ke depan.
Meskipun definisi umum tentang CD sangat beragam, dari sejarahnya kita dapat
belajar dari gagasan awal Robert Owen yang menawarkan konsep community
planning untuk menciptakan masyarakat yang sempurna (James B Cook: 2009). Jika konsep itu dielaborasi secara luas
dengan masyarakat dilibatkan dalam setiap perencanan pembiayaan dan program
pendidikan, kecerdasan masyarakat dalam mengembangkan konsep sekolah yang
sustain able akan tercipta. Karena itu, dibutuhkan partnership seperti perusahaan-perusahaan yang memiliki program
CSR untuk aktif terlibat dalam memberikan pendampingan dan advokasi
peningkatan kualitas sekolah.
Dalam
skema andragogi Flo Frank dan Anne Smith (1999), tujuan akhir program CD
sesungguhnya ialah perbaikan kualitas hidup masyarakat. Karena itu, CD yang efektif
akan menghasilkan manfaat bersama dan adanya pembagian rasa tanggung jawab
bersama di antara anggota masyarakat. Mendorong masyarakat dan perusahaan-perusahaan
agar mau bekerja dalam kerangka yang sama, yaitu membangun kualitas
pendidikan yang berjangka panjang, adalah sebuah keniscayaan yang harus
diinisiasi pemerintah. Program itu juga akan efektif jika terdapat respons
masyarakat atas tantangan dan kesempatan dalam satu waktu tertentu yang
diberikan partner atau perusahaan tertentu dalam skema CSR.
Nah, lagi-lagi dalam konteks KIP dan KIS, pemerintah merasa
keminter sendiri, tanpa ada usaha untuk mengajak serta masyarakat terlibat
dalam perumusan kebijakan populis ini. Hati-hati, ya, Pak Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar