Sabtu, 08 November 2014

Mengurai Gerakan Kelas Menengah

Mengurai Gerakan Kelas Menengah

Wasisto Raharjo Jati  ;  Peneliti di Pusat Penelitian Politik, LIPI
SINAR HARAPAN, 04 November 2014

                                                                                   


Munculnya tagar #shamedonyouSBY yang muncul dalam trending topic media sosial Twitter sendiri sangatlah menarik unutk diulas dalam menakar kritisisme kelas menengah urban di Indonesia. Kritisisme tersebut dibangun atas kekecewaan publik atas pengesahan DPR terhadap RUU Pemilukada yang poin utamanya adalah mengembalikan marwah suksesi kepemimpinan kepala daerah melalui sistem perwakilan DPRD. Tentunya hal tersebut sangatlah bertentangan dengan spirit demokrasi langsung sebagaimana termaktub dalam nomenklatur UU No.32 Tahun 2004 khususnya pasal 24 maupun pasal 35 yang menegaskan bahwapasangan kepala daerah sendiri dipilih secara berpasangan secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme luber dan jurdil.

Adanya pengkhianatan secara konstitutif itulah yang menimbulkan kekecewaan kelas menengah Indonesia yang hendak untuk mengembalikan demokrasi sesuai dengan track yang benar. Terkait dengan gerakan politik yang marak terhadap Pilkada  tersebut, kita bisa menganalisis bahwa relasi antara pola pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pembentukan new social movement sendiri sudah menemukan sinergisitasnya dalam memperkuat sistem demokrasi. Adanya gerakan politik yang berbasiskan netizenship yang kemudian menjalar pada aksi politik jalanan tersebut mengindikasikan bahwa kritikan publik itu sudah semakin menguat.  Hal tersebut diperkuat dengan adanya hasil survey KOMPAS yang mengindikasikan bahwa partisipasi publik sendiri mencapai 91 persen untuk mendukung pemilukada langsung.  Maka yang menjadi kunci penting kemudian adalah seberapa efektif dan sefiesenkah gerakan kelas menengah tersebut dalam merubah substansi UU Pilkada tersebut.

Karakter Politik Kelas Menengah di Indonesia

Gerakan Politik Kelas Menengah di Indonesia terpolarisasi dalam dua kutub utama yakni by urgent dan juga by needs (Tanter & Young, 1990). Hal ini dikarenakan gerakan politik masyarakat lebih dikarenakan kebutuhan mendesak yang sifatnya artifisial dan segera untuk dieksekusi segera. Pengalaman demonstrasi 1998 menunjukkan bahwa demokrasi yang diinginkan oleh pelbagai elemen masyarakat tersebut menunjukkan gejala kebutuhan mendesak yang ingin segera dilaksanakan. Wacana demokratisasi yang berkembang dalam kelas menengah itulah yang kemudian menghasilkan adanya reformasi sebagai langkah progresif. Bahwa demokrasi adalah kebutuhan mendesak untuk segera dilaksanakan dan didesakann sebagai bagian dari sistem kenegaraan.

Munculnya polemik pilkada yang kemudian menghasilkan kritikan publik baik melalui media sosial maupun demonstrasi sebenarnya merupakan bentuk penegasan repetisi bahwa demokrasi adalah sesuatu esensial untuk diubah. Kelas menengah di Indonesia memahami gerakan politik yang mereka lakukan saat ini adalah manifestasi pengadilan publik yang dilakukan untuk menekan rezim agar tidak kembali pada pola otoritarianisme kembali. Pelajaran demokrasi setelah 16 tahun reformasi menghadapi tantangan adanya reorganisasi politik predator yang hendak membajak demokrasi.

Hadirnya KMP yang berbuah pada pengesahan UU Pemilukada ini merupakan bentuk resistensi elite kepada kelas menengah pengawal demokrasi selama ini. Aura aktivisme ini yang terdeskripsikan oleh publik yang menginginkan bahwa demokrasi adalah harga mati yang sudah selesai untuk diperbincangkan. Dikarenakan permasalahan mengenai demokrasi sendiri sudah membuat publik capek dengan berbagai konstelasi politik elite. Maka adanya gerakan politik yang diinisasi oleh melalui berbagai elemen masyarakat adalah upaya resistensi agar pembangunan politik yang sudah sedemikian progresif semenjak adanya pemilu langsung agar tidak regresif mundur kembali. Inilah tantangan mendasar dalam merumuskan aksi dan gerakan kelas menengah untuk tetap mempertahankan demokrasi sebagai bagian dari sistem politik di Indonesia.

Prognosis mengenai reorganisasi elite ini memang sudah diramalkan bakal terjadi mengingat desain demokrasi yang menganut uniformisasi formal sehingga memungkinkan adanya celah bagi predator untuk bangkit. Munculnya  KMP sendiri adalah hadirnya musuh demokrasi publik yang laten namun kemudian hadir secara manifest.  Inilah yang kemudian banyak disitir oleh Juan Linz yakni dengan menyebutnya sebagai rezim kelas penjahat yang isinya kemudian melahirkan pemerintahan partitokrasi ketimbang demokrasi itu sendiri. Publik tidak lagi dilihat sebagai demos namun lebih sebagai subordinat suara dari partitokrasi tersebut.  Partitokrasi sendiri telah melakukan dikotomisasi antara elite sebagai governing society dengan publik sebagai non governing society yang menghasilkan adanya intrik dan friksi dalam relasi rezim.

Hal penting yang untuk dikuatkan dalam menguatkan politik kelas menengah di Indonesia adalah memperkuat konteks citizen law suit.  Mekanisme seperti ini yang belum ada dalam sistem konstitusi kita untuk melakukan tuntutan peradilan atas ketidakadilan yang dilakukan penyelenggara negara. Konteks citizen law suit yang dilakukan oleh gerakan kelas menengah maupun aktivisme masyarakat sipil sudah jamak dilakukan seperti halnya protes terhadap BBM, BOS, maupun juga penelantaran TKI.

Adapun dalam konteks sekarang ini, CLS sendiri dapat dilakukan dengan cara melakukan judicial review kepada MK sebagai pengadil konstitusi terttinggi. Maka aksi turun ke jalan dan rapatkan barisan merupakan bagian dari keniscyaan yang perlu dilakukan oleh kelas menengah di Indonesia untuk mengawal demokrasi ini. Turun ke jalan sendiri bukanlah berarti melakukan aksi destruktif, namun menampilkan diri sebagai kelompok penekan aktif dalam melihat DPR sebagai manifestasi oligarkis yang perlu direformasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar