Minggu, 02 November 2014

Tamak

Tamak

Eh Kartanegara  ;  Wartawan
KORAN TEMPO, 29 Oktober 2014
                                                
                                                                                                                       


Ambil dan amatilah sekerat tahu. Jika tampak montok, kenyal, putih bersemu kuning menggoda selera, curigailah; jangan-jangan ia bukan jenis makanan yang layak disantap. Apalagi setelah disimpan beberapa hari tidak juga basi, nah, itu dia, di dalamnya tersembunyi ketamakan ekonomi.

Dalam buku Uncomman Wisdom (1988) yang dinapasi kearifan menjaga keseimbangan ekologi, Fritjof Capra tidak sedang mengecam pembuat tahu. Fokus telaah fisikawan Austria yang di Indonesia dikenal lewat The Tao of Physics itu adalah liturgi gaya hidup Amerika; menghalalkan segala cara bukan perbuatan cela, asal memperoleh laba berlipat ganda.

Maka, Capra menuliskan, terjadilah berbagai manipulasi tak terpuji produk-produk pabrik yang membanjiri pasar. Dari berbagai jenis roti yang dimekarkan dengan zat-zat kimia, buah-buahan disemprot lilin agar tampak segar dan mengkilap, warna-warni dan aneka rasa buatan, hingga produk fashion, kosmetik, mobil, dan rumah.

Konsumsi material berlebihan, naiknya laba yang menjulang, ternyata berujung bukan pada kemakmuran dan kesejahteraan, melainkan ironi. Membetot keuntungan sebanyak-banyaknya di satu pihak, mengakibatkan merosotnya mutu barang di lain pihak. Dalam skala yang jauh lebih besar dan luas, naiknya angka pertumbuhan ekonomi dikuntit oleh naiknya tingkat kerusakan lingkungan hidup.

Tak kurang serunya manipulasi korporasi, perbankan, sihir angka-angka oleh para perancang keuangan di bursa saham, seperti banyak dikritik ekonom penerima anugerah Nobel, Joseph E. Stiglitz. Mereka hanya asyik dengan utopi; mengutak-atik angka pertumbuhan tanpa mendengar suara arus bawah yang selama ratusan tahun berada pada posisi tertindas. Mereka sepertinya tak mendengar sarkasme ketamakan bahwa ekonomi di tangan orang rakus bukan sekadar kelihaian perampok hak-hak hidup manusia, tapi juga tega menggangsir dan mengeduk kekayaan tanah.

Singkatnya, laku ekonomi pada akhirnya juga laku moral. Ketika ia tidak lagi mengenal kearifan, lekas atau lambat, akan berakhir pada kehancuran. Inilah salah satu trauma politik ekonomi warisan rezim Orde Baru yang entah sampai kapan menghantui anak-cucu di masa depan; sudah miskin masih harus menanggung rente utang yang terus menggunung dan kerusakan lingkungan yang sangat parah pula.

Bencana terbesar ketamakan entah itu lewat kapitalisme, materialisme, globalisme, atau apa pun namanya digambarkan sejarawan Kuntowijoyo sebagai "meluapnya banjir lautan sampai jauh ke anak-anak sungai di ujung desa". Segala potensi kearifan, yang sejak berabad lampau tumbuh di kampung-kampung desa, musnah disapu air bah lautan. Bukankah realitas semacam itu yang kita saksikan dengan cemas di lingkungan dekat kita sehari-hari?

Dalam konteks kearifan itu antara lain agar sungai-sungai kembali mengalir mengikuti takdirnya ke lautan Fritjof Capra menyegarkan kembali ingatan kita pada pemikiran E.F. Schumacher, Small is Beautiful, yang meski terdengar sayup-sayup, masih akan terus bergaung jauh ke masa depan. Romantisme kearifan lama yang mengajak kita menemukan "masa depan alternatif" dengan pemahaman ekologis sederhana, bahwa "ketamakan yang menghamba pada pertumbuhan ekonomi yang tak terbatas dalam dunia yang terbatas adalah kemustahilan".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar