Tamak
Eh Kartanegara ; Wartawan
|
KORAN
TEMPO, 29 Oktober 2014
Ambil dan amatilah sekerat tahu. Jika tampak montok, kenyal,
putih bersemu kuning menggoda selera, curigailah; jangan-jangan ia bukan
jenis makanan yang layak disantap. Apalagi setelah disimpan beberapa hari
tidak juga basi, nah, itu dia, di dalamnya tersembunyi ketamakan ekonomi.
Dalam buku Uncomman Wisdom
(1988) yang dinapasi kearifan menjaga keseimbangan ekologi, Fritjof Capra
tidak sedang mengecam pembuat tahu. Fokus telaah fisikawan Austria yang di
Indonesia dikenal lewat The Tao of
Physics itu adalah liturgi gaya hidup Amerika; menghalalkan segala cara
bukan perbuatan cela, asal memperoleh laba berlipat ganda.
Maka, Capra menuliskan, terjadilah berbagai manipulasi tak
terpuji produk-produk pabrik yang membanjiri pasar. Dari berbagai jenis roti
yang dimekarkan dengan zat-zat kimia, buah-buahan disemprot lilin agar tampak
segar dan mengkilap, warna-warni dan aneka rasa buatan, hingga produk
fashion, kosmetik, mobil, dan rumah.
Konsumsi material berlebihan, naiknya laba yang menjulang,
ternyata berujung bukan pada kemakmuran dan kesejahteraan, melainkan ironi.
Membetot keuntungan sebanyak-banyaknya di satu pihak, mengakibatkan
merosotnya mutu barang di lain pihak. Dalam skala yang jauh lebih besar dan
luas, naiknya angka pertumbuhan ekonomi dikuntit oleh naiknya tingkat
kerusakan lingkungan hidup.
Tak kurang serunya manipulasi korporasi, perbankan, sihir angka-angka
oleh para perancang keuangan di bursa saham, seperti banyak dikritik ekonom
penerima anugerah Nobel, Joseph E. Stiglitz. Mereka hanya asyik dengan utopi;
mengutak-atik angka pertumbuhan tanpa mendengar suara arus bawah yang selama
ratusan tahun berada pada posisi tertindas. Mereka sepertinya tak mendengar
sarkasme ketamakan bahwa ekonomi di tangan orang rakus bukan sekadar
kelihaian perampok hak-hak hidup manusia, tapi juga tega menggangsir dan
mengeduk kekayaan tanah.
Singkatnya, laku ekonomi pada akhirnya juga laku moral. Ketika
ia tidak lagi mengenal kearifan, lekas atau lambat, akan berakhir pada
kehancuran. Inilah salah satu trauma politik ekonomi warisan rezim Orde Baru
yang entah sampai kapan menghantui anak-cucu di masa depan; sudah miskin masih
harus menanggung rente utang yang terus menggunung dan kerusakan lingkungan
yang sangat parah pula.
Bencana terbesar ketamakan entah itu lewat kapitalisme,
materialisme, globalisme, atau apa pun namanya digambarkan sejarawan
Kuntowijoyo sebagai "meluapnya
banjir lautan sampai jauh ke anak-anak sungai di ujung desa". Segala
potensi kearifan, yang sejak berabad lampau tumbuh di kampung-kampung desa,
musnah disapu air bah lautan. Bukankah realitas semacam itu yang kita
saksikan dengan cemas di lingkungan dekat kita sehari-hari?
Dalam konteks kearifan itu antara lain agar sungai-sungai
kembali mengalir mengikuti takdirnya ke lautan Fritjof Capra menyegarkan kembali ingatan kita pada pemikiran
E.F. Schumacher, Small is Beautiful,
yang meski terdengar sayup-sayup, masih akan terus bergaung jauh ke masa
depan. Romantisme kearifan lama yang mengajak kita menemukan "masa depan alternatif"
dengan pemahaman ekologis sederhana, bahwa "ketamakan yang menghamba pada pertumbuhan ekonomi yang tak
terbatas dalam dunia yang terbatas adalah kemustahilan". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar